I’m the one who’s fighting. Not you, not you, and not you ~ Micky Ward

Ranah Hollywood tampaknya tidak akan pernah merasa lelah mengangkat tema olahraga untuk dijadikan sebuah film, khususnya film yang kisahnya memang diangkat dari cerita nyata atau diinpirasi dari kisah hidup seorang atlet olahraga yang hebat. Olahraga basket, baseball, dan olahraga kebanggaan Amerika, American Football, biasanya yang paling sering dilirik untuk difilmkan. Namun bukan berarti olahraga lain dianggap anak tiri, tinju misalnya, “The Fighter” pun bukan yang pertama kali memakai ring tinju sebagai arena untuk menghibur penonton, olahraga tinju sudah beberapa kali jadi pertunjukan utama di Hollywood, Film-film seperti “Raging Bull” (Martin Scorsese) dan “Cinderella Man” (Ron Howard) atau “Rocky” (John G. Avildsen) yang bukan “true story” tetapi didasarkan cerita dan karakter fiksi, sudah terlebih dahulu membuktikan jika olahraga tinju—yang memang cukup populer di Amerika—juga bisa menjual mimpi, menawarkan kisah inspiratif, dan berbagai variasi pelajaran hidup.

Arena ring tinju pun bukan satu-satunya yang film-film seperti “The Fighter” dan kawan-kawan sesama petarung bisa tawarkan, film-film tentang tinju bukan melulu soal kekerasan dan kemenangan di atas ring tinju, tetapi kita bisa diajak memasuki kehidupan mereka. Sebuah kehidupan yang selama ini sembunyi di balik jubah yang menutupi tubuh dan wajah mereka ketika memasuki arena pertarungan. Melalui medium sebuah filmlah, cerita kehidupan mereka yang ternyata lebih keras dan kelam ketimbang ring tinju bisa terkuak, terkadang menang di atas ring tinju bukanlah segala-galanya ketika para petarung yang rela babak belur demi “glory” ini justru kalah dalam kehidupan mereka. Seorang petinju yang terlihat gagah di sorotan lampu ring tinju dan dielu-elukan para penonton yang haus hiburan, ternyata hanya manusia biasa ketika tidak berada di atas ring, bisa sakit dan sangat rapuh, bisa punya hati dan menyayangi keluarga, bisa putus asa dan hilang semangat, bisa marah dan memaafkan. Selalu ada yang menarik ketika film membicarakan soal hidup dan mati atas nama olahraga, khususnya tinju, saya pun tidak akan pernah lelah menonton kisah-kisah seperti “The Fighter”, kita semua perlu sebuah alarm, kita butuh untuk diingatkan, dan selalu haus akan kisah yang inspiratif.

“The Fighter” yang terkemas layaknya sebuah dokumenter ini akan menceritakan Micky Ward (Mark Wahlberg) seorang keturunan Irlandia-Amerika berumur 30 tahun yang sedang menapaki karirnya sebagai petinju kelas menengah. Tinggal di kawasan keluarga kelas pekerja di Lowell, Massachusetts, Micky punya mimpi suatu saat gelar juara dunia akan berada ditangannya dan untuk mencapai itu semua dia tidak sendirian. Alice Ward (Melissa Leo), ibu sekaligus manajernya dan kakaknya Dicky Eklund (Christian Bale) yang juga adalah pelatihnya berada dibelakang Micky untuk mendukungnya. Namun batu loncatan menuju juara dunia bukan perkara yang mudah, bukan hanya datang dari lawan-lawan petinju yang lebih tangguh yang harus dia kalahkan, tetapi halang rintang yang makin menyulitkan Micky untuk meloncat datang dari keluarganya sendiri, khususnya dia melihat permasalahan tersebut dalam diri ibu dan kakaknya, yang keduanya seperti lebih konsen dengan obsesi mereka masing-masing. Kakaknya, Dicky, tidak bisa lepas dari kecanduannya akan kejayaan masa lalu, seorang mantan petinju yang dahulu pernah menjatuhkan Sugar Ray Leonard dan menjadi kebanggaan kota Lowell.

Karir Dicky sebagai petinju sudah tamat karena kecanduannya akan kokain, dan dia ingin memanfaatkan Micky untuk membalas kegagalannya, kepercayaannya bisa kembali ke dunia tinju pun, “comeback”-nya seorang Dicky Eklund, seperti direstui oleh sang ibu dan juga HBO yang kala itu sedang menyorot kehidupan Dicky untuk sebuah dokumenter yang diyakininya tentang dia dan tinju. Micky juga tidak hanya terbebani oleh obsesi kakaknya namun oleh keterlibatan besar ibunya sebagai manajer yang di satu sisi ingin Micky sukses besar namun di sisi lainnya ‘mengurung’ kebebasan anaknya, ditambah keinginan ibu yang mempunyai 9 anak ini untuk melihat Dicky juga kembali berjaya dan justru seperti tidak peduli dengan anaknya yang perlahan membunuh dirinya dengan obat terlarang. Ketika pertarungan yang sudah disiapkan ternyata tidak berlangsung sesuai dengan rencana dan Micky harus melawan lawan yang lebih besar darinya, itupun berkat desakan ibu dan kakaknya, Micky pun melangkah berat memikul janji untuk menang tidak hanya kepada keluarga tetapi seluruh kota Lowell. Micky kalah! beruntung di saat dia tenggelam dengan kekecewaan, muncul Charlene Fleming (Amy Adams), gadis MTV—sebutan yang diberikan oleh ibu dan saudari-saudari Micky—yang bekerja di bar dan memberikannya semangat. Hubungan mereka pun kelak menambah masalah baru dan konflik demi konflik akan mewarnai perjalanan Micky menuju ke ring tinju.

“The Fighter” betul-betul seperti mengajak saya masuk ke dunia “keras” olahraga tinju, tidak hanya di atas ring tetapi juga bisnis tinju itu sendiri. Tidak mudah bagi seorang petinju untuk menapaki jalannya menuju puncak, mereka harus melompati jejeran batu loncatan yang tidak hanya cukup untuk satu kaki mereka namun juga licin dan beresiko membuat mereka tergelincir, bangkit kembali dan memulai lagi dari nol. Kerasnya tinju bisa diartikan sebagai sebuah siklus kehidupan, nyatanya film olahraga manapun selalu identik dengan kedekatan ceritanya yang berbanding lurus dengan “permainan” lain yang bernama kehidupan. Mungkin disitulah kenapa film bertema olahraga, selalu mampu membuat saya dan mungkin para penonton lain untuk terinspirasi, seberapa pun besar atau kecilnya inspirasi yang bisa kita ambil, apalagi jika pada akhirnya film tersebut secara keseluruhan tampil apik dengan nilai memuaskan.

David O. Russell pun membentuk “The Fighter” agar senantiasa dekat dengan penonton, mengijinkan kita untuk mengenal dengan baik siapa itu Dicky Eklund dan Micky Ward, kedua kakak-beradik yang punya takdir berbeda namun disatukan dengan olahraga yang sama, tinju, dan juga jika kita mampu melihat lebih dalam, kasih sayang mereka satu sama lain sebagai saudara sepertinya tidak akan pernah bisa dikalahkan oleh petinju manapun, bahkan dari neraka sekalipun. Terkemas layaknya sebuah dokumenter tentang Dicky dan Micky (tetapi bukan mock-documentary) kedekatan kita dengan mereka makin terasa pada saat konflik demi konflik mulai dilayangkan oleh Russell, kita bersimpati dengan mereka dan keluarganya, kita kesal bersama Micky, kita kasihan dengan Dicky, dan kita ingin gelar juara itu pada akhirnya dipegang oleh Micky. Saya tidak peduli jika kenyataannya saya sedang melahap cerita yang punya citarasa mirip dengan film-film serupa, karena toh Russell menghidangkannya dengan berbeda untuk sanggup menarik mata ini untuk menontonnya sampai selesai, “The Fighter” pun dengan kesederhanaanya dalam bercerita, bisa dibilang down-to-earth, sudah cukup pada akhirnya untuk melepas tinjunya tepat di hati saya dan membuat saya mengibar-ngibarkan bendera bertanda KO.

Saya mencintai film ini apa adanya, seperti saya mencintai keluarga Dicky dan Micky yang bagi saya adalah model keluarga yang ajaib sekali dengan segala macam masalah yang nantinya menghampiri satu-persatu. Sebuah model kehidupan keluarga yang punya banyak masalah namun pada akhirnya memberikan pelajaran, sebaik-baiknya orang luar berusaha memperbaiki masalah mereka, tidak ada yang paling baik daripada keluarga itu sendiri yang mencoba untuk memperbaiki apa yang “rusak. Saya selalu percaya ini, jika kita punya masalah, apapun nasehat terbaik yang diberikan oleh orang lain, di akhir cerita pilihan kita sendirilah yang sebenarnya paling terbaik, bukan karena orang lain sebab bagi saya hasilnya tidak sempurna. Orang lain boleh memberikan kita input namun apa yang menjadi output betul-betul harus datang dari hati kita sendiri dan itu lebih berharga dari apapun juga. “The Fighter” memang bukan sekedar film olahraga yang biasa namun film yang seutuhnya sanggup menggerakkan dan di akhir memeluk kita dengan hangat.

“The Fighter” sudah lebih dari cukup dalam menghadirkan drama diluar ring maupun di dalam ring. Di luar ring, saya tidak mengharapkan drama yang berlebihan hanya untuk menghasilkan dramatisasi murahan yang mungkin hanya akan direspon dengan kepalan tinju sesaat. Apa yang disajikan film ini, rangkaian cerita yang ditulis oleh Keith Dorrington, Paul Tamasy dan Eric Johnson, sudah menampilkan drama dengan level pas, konflik demi konfliknya, Dicky vs. Micky, Micky vs. Alice, dan setiap orang versus diri mereka sendiri sudah terbangun dengan arah yang tidak nyasar kemana-mana. Fokus dalam arena yang sudah ditentukan dan sanggup menjaga penonton untuk tetap terhibur dengan atau tanpa sebuah aksi tinju, karena bagi saya Alice yang melempar berbagai macam barang pecah belah termasuk teflon adalah sebuah aksi langka yang kadang lebih menarik dari adegan tinju itu sendiri. Sedangkan di dalam ring, pertandingan tinju demi pertandingan justru terlihat sangat nyata walaupun porsinya bagi saya hanya ditampilkan sebagai pelengkap kehidupan drama Micky dan keluarga. Namun dengan batasan slot yang diberikan pada adegan tinju, Russell masih sanggup mengemas pertandingan tinju terlihat seperti saya melihat pertandingan tinju sesungguhnya. Setiap kombinasi pukulan yang dilepaskan Micky ataupun lawannya benar-benar ikut mengundang saya untuk mengeluarkan respon-respon seperti: “aw”, “ouch”, dan beberapa kata sumpah serapah. Tanpa dramatisasi berlebihan “The Fighter” masih bisa terlihat “ganas” di atas ring.

Tidak adil rasanya jika saya tidak membicarakan peran Mark Wahlberg, Christian Bale, Melissa Leo, dan Amy Adams sebagai nyawa di dalam “The Fighter”, kombinasi akting merekalah yang menghidupkan film ini menjadi sebuah kisah yang lengkap. Wahlberg yang sebelumnya juga pernah memerankan karakter berdasarkan tokoh asli bernama Vince Papale di film bertema american football “Invincible”, kali ini memerankan Micky dengan sangat maksimal baik secara fisik maupun akting. Berbicara soal fisik, Christian Bale pada akhirnya memang jadi pusat perhatian, yah karena dia kembali berbadan kurus kering karena diceritakan karakternya adalah pecandu narkoba akut. Namun tidak hanya dalam urusan menguruskan badan yang lagi-lagi membuat saya terpana (dari seorang batman yang kekar sekarang jadi seperti scarecrow kelaparan), Bale sekali lagi sanggup bertransformasi luar biasa menjadi seorang Dicky. Saya tidak lagi melihat Bale tetapi dari ujung rambut sampai kotoran di kakinya saya hanya bisa melihat sosok Dicky yang nyeleneh, bermulut “busuk”, kelakuan semaunya, dan juga lucu di beberapa momennya.

Saya awalnya mengira Bale membawakan karakter Dicky dengan berlebihan tetapi ketika melihat sosok asli Dicky di footage yang diperlihatkan di credit, Bale betul-betul sudah membuat imitasi terbaik dari seorang Dicky yang sekarang sudah tua. Wahlberg dan Bale, menyatukan kedua orang ini dalam satu film adalah langkah tepat yang dilakukan “The Fighter”, karena tidak hanya mereka menampilkan kualitas akting yang cemerlang tetapi juga menghasilkan chemistry yang kuat, tepat disaat film ini memang sangat butuh kekuatan dari hubungan kakak beradik. Melissa Leo sebagai ibu dari kedua petinju juga tidak boleh diremehkan, aktingnya sebagai seorang perempuan yang lebih “ganas” dari seorang petinju sangat meyakinkan dan luar biasa memukau. Melissa Leo menampilkan sisi kehangatan seorang ibu yang sekaligus juga kerasnya dia ketika berurusan dengan obsesinya dan mempertahankan sikap. Sedangkan Amy Adams, well kita tidak akan melihat Amy sebagai gadis yang biasa kita lihat di film-filmnya sebelumnya, yah dia masih terlihat cantik, manis, dan seksi, namun disini Amy adalah Charlene, seorang mantan juara lompat galah yang tidak sungkan menghajar siapa saja yang merendahkan dirinya, ditambah mulutnya yang mudah mengeluarkan kata-kata kotor. Semudah itu juga saya mencintai “The Fighter”, film yang mengandalkan kombinasi drama yang tidak berlebihan, aksi tinju yang dikemas meyakinkan, dan akting luar biasa.

http://twitter.com/#!/raditherapy/status/34130250765963264