Saya mau tahu Pak, Pak Pur hidup untuk apa? ~ Surya

Kecintaan seorang Mathias Muchus kepada perfilman tanah air sepertinya tidak hanya dibuktikan dengan pengabdiannya yang begitu tinggi selama hampir tiga dekade bermain di film-film Indonesia, terhitung sejak era 80an. Sekarang pembuktian tersebut bertambah satu lagi ketika pria kelahiran Pagar Alam, Sumatera Selatan, 53 tahun yang lalu tersebut mulai merambah ke dunia penyutradaraan, “Rindu Purnama” pun menjadi debut film pertama yang ia sutradarai. Jam terbangnya yang tinggi dan pengalamannya di dunia film selama puluhan tahun seperti menjadi taruhan bagi Mathias Muchus, apakah ia mampu sukses di film pertamanya? pertanyaan tersebut seolah lenyap ditelan menit demi menit durasi, setelah keluar dari bioskop, saya langsung berteriak dalam hati, “inilah film yang harus saya rekomendasikan ke semua orang untuk ditonton”, kira-kira begitu. “Rindu Purnama” adalah film tentang cinta, secanggung apapun, sesederhana apapun itu, film ini berhasil menyampaikan pesan bahwa cinta dapat mengubah setiap orang, semua orang, siapapun. Mathias Muchus seakan menaburkan kecintaannya terhadap film Indonesia ke setiap jengkal kisahnya, sebuah potret yang lagi-lagi menyuguhkan getirnya kehidupan jalanan dan lapangnya jurang pemisah antara si kaya dan si miskin, namun dengan cinta, getir berubah jadi senyum dan jurang tersebut mampu disebrangi.

“Rindu Purnama” akan mengawali kisahnya dengan kehidupan sehari-hari Rindu yang dimainkan oleh Salma Paramitha, beserta teman-teman sesama anak jalanan, termasuk si cilik Akbar yang tiada hentinya menghiasi wajahnya dengan ingus. Jalanan adalah tempat mereka mengais rejeki dengan mengamen, setelah seharian mencari receh demi receh bocah-bocah ini akan kembali ke tempat tinggal mereka, sebuah rumah singgah yang “nyaman”, lengkap dengan seorang ibu yang menjaga mereka, Ibu Sarah (Ririn Ekawati). Terkadang Rindu dan teman-teman tidak jarang harus berhadapan dengan orang-orang berseragam yang kerjanya “menertibkan”, seperti pada hari itu dimana mereka harus lari pontang-panting menghindari kejaran aparat ketertiban. Mengenal medan perkampungan kumuh dengan baik, anak-anak ini dengan mudah lepas kesana-kemari, licin seperti belut sulit untuk ditangkap, dan aparat-aparat ini pun seperti tidak punya kerjaan lain yang lebih urgent ketimbang susah payah sampai kecebur kali hanya untuk menangkap bocah yang bau kencur dan tidak bersalah. Ketika yang lain selamat, Rindu justru mengalami kecelakaan, dia ditabrak mobil ketika berusaha kabur dari kejaran aparat, teman-temanya hanya bisa melihat saat Rindu dibawa oleh orang yang menabraknya.

Beruntung Pak Pur (Landung Simatupang) mau bertanggung jawab dan tidak asal tabrak lari, pria tua yang bekerja sebagai supir ini pun membawa Rindu ke rumah sakit setelah itu membawa pulang ke rumah dimana Pak Pur bekerja. Tentu saja ada anak kecil tidak jelas membuat Pak Surya (Tengku Firmansyah), majikannya, berang dan berteriak-teriak ketika adzan Magrib berkumandang. Pak Pur hanya bisa berkilah dia tidak tahu harus membawa anak tersebut kemana sambil memberikan surat dokter yang menyatakan anak ini mengalami hilang ingatan. Pak Surya sepertinya tidak peduli dan meminta supirnya tersebut untuk membawa anak yang tidak diketahui namanya ini keluar dari rumahnya, tapi Pak Pur yang tidak tega meninggalkan anak ini akhirnya kembali kena omelan Pak Surya karena Purnama, nama yang kelak diberikan oleh Pak Pur, ternyata masih berada di rumahnya. Walau terlihat betah, Purnama tahu dia tidak diinginkan oleh Pak Surya untuk tinggal dirumahnya, maka dia pun melarikan diri. Menghilangnya Purnama justru membuat Pak Surya sadar jika dia selama ini telah salah memperlakukan Purnama, maka tergerak oleh rasa cinta, Pak Surya mulai mencari Purnama kesana-kemari dengan bantuan gambar-gambar yang digambar Purnama dengan krayon. Sibuk mencari kemana-mana keberadaan Purnama membuat Pak Surya pun lupa dengan proyek yang sedang dikerjakannya bersama anak bos besar, Monik (Titi Sjuman), yang terang-terangan suka dengan dia. Pencarian Purnama pun kelak mempertemukan Pak Surya dengan takdirnya, Ibu Sarah, apakah mereka berhasil menemukan Purnama a.k.a Rindu?

Awalnya saya kira “Rindu Purnama” hanya tentang menemukan Rindu atau Purnama—jadi bingung mau panggil yang mana—tapi tidak mungkin juga karena film baru saja berjalan separuh, ternyata film ini menyisakan separuhnya lagi untuk menceritakan cinta-cinta yang lain, tidak hanya cinta Pak Surya dan Bu Sarah kepada Rindu tetapi juga ada cinta Rindu dengan adiknya Akbar yang terus menangis memanggil nama Kak Rindu. Ada juga cinta yang berubah menjadi obsesi untuk memiliki dengan segala cara, film ini memang perlu karakter “The Evil”, maka pilihan itu jatuh kepada anak bos yang baru datang dari sekolahnya di Amerika, Monik. Terakhir cinta juga yang menemukan Surya dengan Sarah, dari pertemuan di rakit yang menyebrangkan mereka sampai pertemuan canggung demi pertemuan canggung lainnya. Surya dan Sarah memang tidak sanggup mengungkapkannya dengan kata-kata tetapi mata keduanya tidak pernah mampu untuk berbohong. Mathias Muchus pun mengemas semua kisah cinta ini dengan sederhana, di latar belakangi pekarangan perkampungan kumuh, dibalut dengan masalah-masalah lama tentang orang miskin yang selalu jadi korban penggusuran.

Mathias Muchus tidak perlu taman bunga untuk membuat “Rindu Purnama” jadi romantis, cukup dengan kali kotor dan sebuah rakit, rasa romansa tersebut mampu dia munculkan. Film ini tidak perlu hal-hal dramatis untuk mengungkapkan kehangatan arti sebuah cinta, arti sebuah kepedulian akan sesama, lewat adegan Rindu dan kawannya yang membagi-bagikan makanan pada penghuni kolong jembatan, saya rasa sudah cukup untuk menyampaikan pesan cinta tersebut. Jika dibilang “Rindu Purnama” punya jalan cerita yang klise dan mudah ditebak, saya akan mengiyakan, tapi biarlah film ini nampak lusuh layaknya anak-anak jalanan ini dengan ceritanya yang terkesan itu lagi itu lagi, karena toh apa yang akhirnya patut menjadi catatan adalah bagaimana Mathias Muchus yang juga menuliskan cerita film ini bersama Ifa Isfansyah mampu membalut cerita lama menjadi terkemas baru.

Mathias Muchus mampu menghadirkan pesan-pesan sederhana tentang cinta tersebut dengan apa adanya, sesekali menyisipkan melodrama, namun tak berlama-lama film ini mampu bangkit dengan keceriaan anak-anak. Tampaknya hadirnya Ifa Isfansyah mampu membawa atmosfir menyenangkan yang ia tawarkan di “Garuda di Dadaku” untuk terasa kembali di film yang menghadirkan aktor-aktor cilik yang aslinya memang anak jalanan ini. Ifa Isfansyah memang tidak lagi membawa keceriaan anak-anak di lapangan sepakbola tapi sanggup menggiring keceriaan kembali ke tanah-tanah lapang gersang penuh sampah, kolong-kolong jembatan yang lembab, dan perkampungan kumuh yang padat dan sesak. “Rindu Purnama” sanggup menampilkan wajah-wajah polos malaikat kecil yang tidak tercemar oleh keangkuhan dan ketamakan. Walaupun terpojok, tersudut, terpinggirkan ke bagian paling “kotor” di kota yang menjual mimpi-mimpi ini, anak-anak ini tetap tidak termakan oleh kondisi mereka yang sebenarnya serba kekurangan. Mathias Muchus ingin memperlihatkan film tidak harus selalu mengeksploitasi kekelaman yang terjadi di dunia kumuh jalanan, tetapi bagaimana jika memperlihatkan penonton sesuatu yang menyenangkan, sebuah cerita yang tidak pernah “miskin” kebahagiaan.

Ketika “Rindu Purnama” memaparkan ceritanya dengan nyaman, enak untuk dicerna, dan membuat saya betah menyaring setiap makna demi makna dalam film ini. Tatanan visual pun berhasil memancing mata ini untuk terus terpaku pada layar, potret-potret lingkungan kumuh disulap menjadi layaknya arena wisata ditangan Gunnar Nimpuno. Tak pelak jika “Rindu Purnama” akhirnya memiliki sederet adegan yang disajikan dengan gambar-gambar yang indah, pengambilan gambar yang menyegarkan mata, semua keindahan ini bahkan sudah dimulai sejak adegan pembuka yang cantik itu. Tidak salah jika saya sudah punya jagoan untuk “opening terbaik tahun ini”, karena “Rindu Purnama” telah membuat sebuah adegan kejar-kejaran menjadi begitu menarik dan sangat berkesan. Ditambah kehadiran musik yang ditangani Titi dan Aksan Sjuman, terbilang sangat unik di opening tersebut dan di sepanjang film ini tentunya.

“Rindu Purnama” juga tidak ketinggalan menghadirkan jajaran pemain yang berakting apik, walau di beberapa bagian kadang kurang memaksimalkan letupan-letupan emosi yang diharapkan. Khususnya saya masih merasa canggung dengan chemistry yang dihadirkan aktor Tengku Firmansyah dengan Purnama. Sedangkan untuk Salma Paramitha yang memerankan Rindu/Purnama, walau masih terlihat kaku tapi tetap mencuri perhatian dan kekakuannya tersebut justru malah menambah keluguan karakternya. Saya berharap sekali bisa berjumpa Salma di film-film Indonesia selanjutnya karena bakatnya sangat menjanjikan. Cukuplah sepertinya saya berbasa-basi panjang lebar hanya untuk mengatakan akhirnya ada lagi film Indonesia yang bisa ditonton seluruh keluarga, film yang menyenangkan dan kaya akan pesan sederhana tentang cinta, “Rindu Purnama” adalah film tersebut.

http://twitter.com/#!/raditherapy/status/35712267509047296