Their escape was just the beginning

Beruntung sekali “The Way Back” bisa “mampir” ke bioskop di Indonesia berbarengan dengan tanggal rilisnya di Amerika Serikat (sesuatu yang jarang untuk film-film yang bisa dibilang non-komersil seperti ini), bahkan disana film ini hanya mendapat porsi tayang yang terbatas, sekitar 650 bioskop saja. Bandingkan dengan film komersil macam “No Strings Attached” misalnya, yang dirilis bersamaan pada Jumat, 21 Januari 2011, film ini dirilis di lebih dari 3000 bioskop Amerika. Jadi sekali lagi saya bersyukur sekali bisa melihat “The Way Back” di layar lebar, karena film ini memang pantas untuk dilihat di bioskop dengan segala kemegahan sinematografinya. Selain deretan nama pemain, seperti Jim Sturgess, Colin Farrell, Ed Harris dan Saoirse Ronan, yang tampak “menjual” ketika disatukan dalam film yang pastinya membutuhkan kolaborasi akting yang menarik dan maksimal, nama lain yang menjadi magnet film ini tentu saja orang yang duduk di bangku sutradara: Peter Weir. Untuk mengingatkan saja, sutradara berusia 66 tahun ini telah mengoleksi 6 nominasi Oscar, termasuk untuk “Dead Poets Society”, “The Truman Show”, dan “Master and Commander: The Far Side of the World”, film terakhirnya di tahun 2003 lalu. Setelah 7 tahun, akhirnya kita kembali bisa melihat Peter Weir beraksi, yang sayangnya bukan di sekuel Master and Commander, sebagai gantinya dalam “The Way Back” kita akan kembali melihat sekumpulan orang yang terombang-ambing di lautan… lautan padang pasir lebih tepatnya, tidak lagi terlihat kapal perang besar berlayar namun hanya kaki-kaki kelelahan yang berperang dengan medan yang ekstrim.

“The Way Back” akan berlatar belakang masa-masa awal perang dunia ke-2 dimana Polandia pada saat itu diinvasi oleh dua negara, dari barat oleh Nazi Jerman dan dari Timur oleh tentara merah Uni Soviet, Polandia pun akhirnya terbagi dua, dibawah rejim nasional-sosialisme dan komunis. Ditengah kekacauan tersebut, seorang Polandia yang bernama Janusz (Jim Sturgess) dituduh melakukan mata-mata dan juga sabotase terhadap rejim komunis yang sedang berkuasa di sebelah timur. Janusz menolak mengakui apa yang tidak dia lakukan, namun melalui istrinya (yang sebelumnya disiksa) dia akhirnya hanya bisa pasrah dengan tuduhan mengkritisi partai komunis dan Stalin, serta menjadi mata-mata untuk aliansi asing. Janusz pun dikirim ke Gulag untuk menjalani 20 tahun hukumannya. Jika Jerman pada masa Perang Dunia ke-2 memiliki apa yang dinamakan kamp-kamp konsentrasi yang tersebar di wilayah kekuasaannya—Auschwitz, yang paling terkenal tidak hanya kamp terbesar yang dimiliki Nazi Jerman, tetapi juga di tempat ini sekitar 3 juta orang meninggal. Soviet juga tidak mau kalah, kala itu mereka mempunyai kamp penahanan dan kerja paksa yang dinamakan Gulag, dikhususkan bagi mereka yang menentang rejim komunis dan tahanan politik, nantinya mereka dipaksa untuk bekerja di tambang, memotong kayu, dan lain-lain. Janusz dikirim ke salah-satu Gulag ini, tepatnya yang berada di Siberia, tidak hanya ia akan mencicipi kekejaman kamp kerja paksa ini tetapi juga ekstrimnya alam Siberia yang membeku.

Janusz tentu saja tidak ingin berlama-lama di Siberia, apalagi menghabiskan 20 tahun di tempat yang bisa saja membunuhnya kurang dari setahun. Setelah bertemu teman sesama tahanan bernama Khabarov (Mark Strong) yang membicarakan soal melarikan diri dari kamp tersebut, Janusz akhirnya bersikukuh untuk melakukan aksi kabur yang bisa saja membahayakan dirinya jika tertangkap kembali. Maka dengan perencanaan yang matang, sambil menyiapkan perbekalan, Janusz pun bersiap kabur bersama teman-temannya yang lain, termasuk seorang penjahat Rusia, Valka (Colin Farrell), Tamasz yang yang tidak hanya makir menggambar tetapi juga koki yang handal, pemuda berusia 17 tahun asal Polandia bernama Kazik, pendeta asal Latvia bernama Voss, seorang Yugoslavia yang pintar melawak bernama Zoran, dan terakhir Mr Smith (Ed Harris). Suatu hari saat terjadi badai salju, Janusz memutuskan untuk memanfaatkan badai tersebut untuk pelariannya, maka dia, Mr Smith, Valka, dan yang lain akhirnya berhasil kabur di tengah badai. Berkat terjangan badai dan kepintaran Janusz dalam membaca arah dan memanfaat apa yang disediakan alam, mereka bisa terbebas dari kejaran penjaga. Gulag sekarang berada di belakang mereka, namun bukan berarti mereka sudah bebas dari bahaya, selain penduduk sekitar yang akan diberi imbalan untuk satu kepala tahanan yang kabur, mereka masih berada di Siberia yang alamnya dengan mudah bisa membunuh Janusz dan kawan-kawan kapan saja. Tujuan Janusz adalah selatan, melewati danau Baikal untuk akhirnya sampai di Mongolia, dimana mereka percaya tidak ada komunis disana.

Jangan bayangkan kita akan disuguhkan drama penjara layaknya di film “The Shawshank Redemption”, kenyataannya di “The Way Back” porsi yang memotret kehidupan Gulag bisa dibilang hanya sebagai pelengkap, hanya untuk memperkenalkan kita dengan satu persatu karakter yang nantinya akan diajak Janusz untuk melarikan diri, termasuk juga memperkenalkan Valka yang dimainkan Colin Farrell, seorang gangster Rusia bertato Stalin-Lenin yang sanggup membunuh orang hanya untuk mengambil baju hangat yang nantinya dipakai untuk membayar hutang judi. Gulag pun disini tidak sekejam apa yang saya bayangkan diawal—mungkin karena ingin mengejar rating PG-13, yah saya akan diperlihatkan tahanan kelaparan yang meminum air sup sisa yang dibuang ke tanah, lalu gua tambang yang mengintimidasi Janusz. Namun Gulag disini terkesan lebih bersahabat ketimbang film-film yang berbasis kamp-kamp konsentrasi milik Nazi, okay Peter Weir mungkin ingin melewati (tidak memasukkan) bagian-bagian kekejaman penjara, seperti perkelahian antara tahanan atau penjaga penjara yang biasanya bertindak kejam. Penjaga penjara pun disini diperlihatkan begitu soft, itu bisa disaksikan ketika adegan Mr. Smith yang menolak untuk berhenti ketika dia diacungi pistol, dia terus berjalan ke hutan karena ingin selamat dari badai salju, sampai akhirnya sang komandan penjara melunak dan menyuruh tahanan lain berlindung ke hutan menyusul Mr. Smith. Kehidupan penjara yang terlalu mudah sebagai alasan untuk melarikan diri, karena di luar penjara, Janusz justru menemukan kurungan ekstrim yang lebih mengerikan ketimbang Gulag di Siberia, namun kebebasan dan menjadi orang bebas memang lebih baik dan sangat berharga.

“The Way Back” nantinya memang akan memfokuskan kisahnya pada bagaimana Janusz dan kawan-kawannya bisa selamat melewati dinginnya Siberia, lalu ratusan kilometer menuju Danau Baikal, selanjutnya beratus-ratus kilometer lagi menjelajahi keringnya padang pasir Gobi untuk sampai ke Tibet. Perjalanan Janusz inilah yang akan menjadi panggung utama film yang diinspirasi dari kisah nyata, disadur bebas dari buku karya Sławomir Rawicz ini. Peter Weir nantinya dengan detil menceritakan bagian demi bagian upaya Janusz untuk bisa sampai ke tempat yang betul-betul bebas dari komunis, dari kehilangan salah-satu teman mereka, kehabisan makanan, bersitegang antara satu dengan yang lainnya, dan semangat mereka yang lama-kelamaan mulai terkikis oleh kilo demi kilo perjalanan yang tidak hanya melelahkan kaki tetapi juga batin. Peter Weir benar-benar bisa memperlihatkan betapa tujuan yang sama bisa membuat sekelompok orang yang berbeda asal bisa bersatu, dan terkadang diselipkan dengan argumen-argumen yang bisa saja menghancurkan persahabatan mereka yang sudah terbentuk berbulan-bulan, yah ketika manusia tersudut kadang yang muncul adalah ego yang kelaparan dan hanya ingin selamat sendiri.

Pelarian Janusz tidak hanya melelahkan bagi mereka, bayangkan saja berjalan kaki untuk menempuh jarak yang tidak dekat, 4000 kilometer lebih! perjalanan ini bisa juga terasa melelahkan bagi penonton yang harus melahap 2 jam lebih durasinya. Beruntung Peter Weir mampu menjadikan ketidakberuntungan Janusz dan kawan-kawan menjadi kisah yang tidak membosankan, sebaliknya kita akan diajak ikut merasakan dinginnya Siberia merasuk kedalam tulang dan panasnya gurun Gobi yang menghancurkan semangat dan juga dibuat haus dengan jarak matahari yang terasa begitu dekat. Peter Weir berhasil mengajak kita untuk ikut serta dengan perjalanan ini sejak pertama kali kita datang ke Gulag dan mengikat simpati kita dengan masing-masing karakternya. Peter Weir dengan baik mampu membuat kita merasa dekat dengan Janusz dan kawan-kawan dengan segala kelebihan mereka dalam menarik perhatian penonton, Tamasz misalnya yang membuat kita lupa akan durasi karena lawakannya yang menghibur, walau kadang terlalu kelam di saat yang tidak tepat. Karakter-karakter yang dikumpulkan Peter Weir saling mengisi satu sama lain, tidak hanya nantinya di film mereka bisa kuat sampai ke Danau Baikal yang merupakan tujuan awal perjalanan ini, tapi juga bersama-sama, mereka juga mampu membuat penonton terpikat dengan mereka dan secara tidak langsung kita akan terus ingin menempel mengikuti cerita, mengetahui apa yang akan terjadi selanjutnya dengan Janusz, Mr Smith, Valka dan yang lain.

“The Way Back” juga mampu memikat tidak hanya dari setiap karakter yang ada tetapi juga dari keindahan lanskap-lanskapnya, dari Siberia sampai ke Tibet. Peter Weir mampu memanfaatkan alam menjadi aksesoris indah untuk mempercantik filmnya, menjadikan alam yang kadang baik dan kadang sangat ekstrim menjadi latar belakang yang megah untuk menyokong perjalanan Janusz yang hebat ini. Dari kelebihan Peter Weir mengemas film ini, saya rasa titik lemah “The Way Back” ada pada sisi dramatisasi—biasanya amat diperlukan untuk film-film sejenis ini, saya tidak melihat perubahan yang terjadi pada Janusz dan yang lainnya, ketika mereka kelaparan, yah seharusnya mereka kelaparan hebat ketika persediaan makan sudah habis, tidak satupun dari mereka yang terlihat kurus atau diperlihatkan mengalami penyakit yang mengkhawatirkan akibat kelaparan. Satu-satunya yang berubah adalah rambut mereka yang kembali tumbuh lebat, dari yang sebelumnya botak, itu menandakan lamanya mereka di alam liar. “The Way Back” juga “pelit” dalam menghadirkan tensi ketegangan yang awalnya saya bayangkan akan terjadi, misalnya bagaimana proses Janusz bisa keluar dari Gulag, Peter Weir ternyata lebih memilih untuk tidak memperlihatkan proses tersebut dan lansung ke upaya kabur mereka ketika sudah berada di luar Gulag. Kekurangan-kekurangan itu pun sekali lagi tertutupi dengan mumpuninya karakter yang dibangun oleh Peter Weir di film ini, didukung juga oleh akting para pemainnya yang tampil maksimal.

Jim Sturgess mampu menjadi “pemimpin” di dalam kelompoknya dan sekaligus bermain meyakinkan di setiap porsi adegan yang dia perankan, begitu pula Colin Farrell dengan akses Rusianya yang tampil baik memerankan karakter Valka yang ternyata tidak seperti yang saya bayangkan sebelumnya, well film ini tepat sekali memilih Colin Farrell untuk melakonkan “bocah brengsek dari Rusia” ini, Colin Farrell makin berada di trek yang tepat, melihat pemilihan film-filmnya yang memang tidak sembarangan belakangan ini. Ed Harris yang pernah dinominasikan untuk kategori pendukung pria terbaik di Oscar untuk perannya di “The Truman Show”, yang juga sama-sama disutradarai oleh Peter Weir ini, kembali memainkan karakter yang bisa dibilang paling berkembang. Aktor berusia 60 tahun ini mampu melakonkan karakter yang awalnya sangat sinis dengan apa yang dinamakan kebaikan, berubah menjadi figur ayah yang walau masih tetap punya karakter keras tetapi sekarang Mr.Smith tidak malu memperlihatkan siapa dirinya yang sebenarnya, kalau dia memang tidak sekeras itu. Perubahan Mr.Smith terjadi semenjak munculnya Irena (Saoirse Ronan), seorang gadis muda yang diam-diam mengikuti Janusz dan kelompoknya, pada akhirnya dia pun bergabung dengan mereka. Saoirse Ronan yang sebelumnya kita lihat di “The Lovely Bones” ini juga mampu menampilkan akting yang tidak kalah bagus dengan para seniornya, apalagi karakternya begitu penting sebagai pemersatu kelompok. “The Way Back” memang akan sedikit melelahkan dengan durasi yang lumayan panjang, tapi percayalah Peter Weir mengemasnya tidak membosankan, sebuah kisah hebat yang pantas untuk ditonton lagi.