I’ll give him the pain that’s 1000 times, no, 10000 times more painful ~Dae-hoon

“I’ll give him the pain that’s 1000 times, no, 10000 times more painful” itulah janji Dae-hoon (Lee Byung-hun) pada tunangannya yang telah meninggal, Joo-yeon, perempuan yang dia cintai namun secara mengenaskan nyawanya—dia diculik dan tubuhnya dimutilasi, direnggut oleh seorang psikopat, pembunuh berantai, pemerkosa, bernama Kyung-chul (Choi Min-sik). Tentu saja satu-satunya yang diinginkan oleh Dae-hoon adalah balas dendam, melihat pelaku pembunuhan Joo-yeon menerima hukuman yang setimpal, bukan ditangkap dan dihukum gantung, bukan menyewa pembunuh bayaran, namun membalas dengan tangannya sendiri, mengantarkan sesuatu yang bisa jadi lebih buruk dari kematian itu sendiri. Balas dendam, jika seorang yang bijak mengatakan hanya menambah perih, tidak ada gunanya, kita hanya akan mengundang “seseorang” yang lebih buruk datang menggantikan akal sehat.

Balas dendam tidak perlu? katakan itu didepan wajah dingin Dae-hoon, dia mungkin hanya diam saja sambil berlalu meludahkan wajah mereka yang bersimpati padanya, karena dia tidak butuh simpati. “I Saw The Devil” memang hanya akan terlihat seperti sebuah film tipikal balas dendam yang sudah-sudah, diawal, tapi tidak ketika kita sudah menginjakkan kaki dari menit ke menitnya. mengikuti jejak kaki Dae-hoon yang penuh kebencian, “I Saw The Devil” lebih dari hanya sebuah film dengan tema balas dendam, film ini menjabarkan ide balas dendam dengan begitu menyakitkan, menuliskan huruf demi hurufnya dengan begitu pilu, lalu merangkainya menjadi sebuah kisah yang sangat efektif dalam misi kelamnya untuk “menculik” kita dan menjelaskan arti sebenarnya dari sebuah balas dendam, begitu berdarah namun juga bisa dibilang indah.

Kita tentu masih ingat bagaimana Kim Ji-woon mengajak penontonnya untuk mengikuti permainan psikologis menakutkan ber-twist jenius dalam “A Tale of Two Sisters”, sama halnya dengan film horor tersebut yang terlihat seperti sosok film seram biasa, namun pada akhirnya sukses mencengkeram penontonnya untuk duduk dengan bulu kuduk yang rontok. “I Saw The Devil” juga membiarkan kita untuk melihat sebuah film yang seperti hanya akan menceritakan seorang pembunuh berantai dengan para korban-korbannya dan diburu oleh orang lain yang memiliki agenda untuk balas dendam. Pada awalnya film ini memang akan membuat kita berpikir “ah lagi-lagi klise seorang yang balas dendam cuma karena cintanya direnggut oleh seorang psikopat”, uuuuggghhh! jangan berisik ah, itu hanya cara “I Saw The Devil” dan penulisnya Park Hoon-Jung untuk memancing kita sebagai penonton untuk masuk kedalam cerita, sebuah pemicu agar Dae-hoon memiliki alasan untuk melegalkan aksi balas dendamnya dan tentunya membuat penonton akhirnya beralasan untuk mengkambing-hitamkan Kyung-chul, semua akan bilang Kyung-chul memang pantas mendapat ganjaran, dia pantas mati tersedak kotorannya sendiri. Apakah memang benar Kyung-chul pantas dihukum? lalu apakah Dae-hoon juga pantas menjadi algojonya? ketika kita sudah mulai bertanya-tanya disitulah Kim Ji-woon tanpa sadar sudah jelas-jelas mempermainkan kita dengan cerdik, what an asshole!

Dilihat dari cara Kyung-chul membunuh di awal film, saya sudah langsung terkesima, oh tampaknya akan banyak darah yang cukup untuk mengisi kolam renang, yah film belum sampai pada menit ke-15, saya sudah nyaman duduk dan berjanji tidak akan sedikitpun meninggalkan “I Saw The Devil” untuk mengambil minum atau ke kamar mandi, janji yang nantinya akan membuat saya menyesal ketika mengetahui durasi film ini yang memakan waktu lebih dari 2 jam. Sebuah thriller panjang yang secara mengejutkan tidak terasa lama, walau dengan 144 menit durasinya yang tampak terasa seperti “oh Tuhan, lama sekali film ini”, tapi percayalah Kim Ji-woon mampu membuat kita tidak menyadari  sudah duduk di kursi selama itu, sampai bokong saya tercetak dengan begitu indahnya di kursi tersebut. Dae-hoon yang ternyata adalah seorang agen rahasia Korea, bermodalkan alat pelacak canggih dan kemampuan intelejensinya akan mengajak serta kita untuk ikut dengannya satu mobil, duduk di kursi belakang dan pasrah saja dibawa hilir-mudik dari satu tempat ke tempat lain, mengikuti kemana perginya Kyung-chul yang sedang berburu mangsa berikutnya. Tentu saja Kyung-chul tidak menyadari jika dirinya sedang dibuntuti oleh “monster” ciptaannya sendiri, “I Saw The Devil” pun berubah dari film bertema balas dendam yang klise menjadi sebuah sajian menarik kucing-kucingan—atau lebih tepatnya anjing-anjingan antara monster melawan monster.

Interaksi pertama antara Dae-hoon dan Kyung-chul seperti sebuah adu pamer siapa yang paling gila, psikopat, tidak berhati manusia, dan tentu saja lebih MONSTER! Kim Ji-woon betul-betul membentuk pertemuan ini layaknya pertemuan kekasih yang lama tak jumpa satu sama lainnya, bedanya disini Dae-hoon dan Kyung-chul bergairah untuk saling membunuh satu sama lain. “I Saw The Devil” sungguh berbaik hati memberi kita pemanasan sebelum pada akhirnya diterjunkan ke medan peperangan kepintaran dan juga adu kesadisan antara Dae-hoon dan Kyung-chul, walaupun tetap memberikan kejutan tiga kali lipat lebih dahsyat, setidaknya rentetan pembunuhan Kyung-chul dan aksi Dae-hoon dengan membunuh buronan lain untuk menemukan mangsa sebenarnya, membuat saya sendiri tidak akan kaget atau bisa dibilang dibuat untuk terbiasa dengan tingkat kesadisan yang ditawarkan film ini. Kim Ji-woon pun tidak asal buat dalam urusannya memompa adrenalin dan merontokkan nyali penontonnya, kekerasan level akutnya dibuat tidak asal potong kepala atau menghadirkan percikan kaya akan warna darah tapi membuatnya agar benar-benar bisa ikut menyakiti saya sebagai penonton, merasa ngeri, perih, nyeri yang sama seperti apa yang diterima oleh korban-korbannya, begitu juga sakit yang didapat oleh Dae-hoon dan Kyung-chul.

“I Saw The Devil” tidak hanya terlihat sakit tetapi juga mampu menghadirkan kesakitan tersebut untuk menempel di kulit dan dirasakan mereka yang menontonnya. Kim Ji-woon mengesekusi setiap adegan kekerasannya dengan luar biasa, dan setiap gambarnya pun didukung juga oleh Lee Mo-Gae yang memandu kamera untuk bisa bergerak sekaligus memotret setiap momen “menyenangkan” untuk terfigura dengan sadistik, sadis sekaligus juga artistik. Saya tidak akan melupakan adegan duel di dalam sebuah taksi yang digarap apik dengan pergerakan kamera yang simple tetapi begitu efektif, begitu sakti dalam menciptakan rasa “menyenangkan”, begitu berkelas mengajak penonton untuk ikut serta merasakan kegilaan film ini. Begitu juga ketika memperkenalkan dua monster-nya, film ini lagi-lagi punya cara jitu dengan kamera yang akan setiap saat menyorot Dae-hoon dan Kyung-chul dalam jarak dekat. Cara terbaik untuk mengijinkan kita sebagai penonton melihat kebengisan mereka, betapa dinginnya mereka, melihat ke dalam mata-mata kedua predator ini dari dekat, berdialog dengan mereka walau terkadang keduanya berbicara kepada penonton tanpa dialog sedikitpun, tetapi bahasa wajah mereka sudah cukup menyampaikan maksud tertentu.

Film yang sempat dipaksa memotong adegan-adegan kekerasannya oleh dewan rating di Korea agar bisa tayang di bioskop setempat ini memang menyajikan porsi kesadisan yang begitu realistik, Dae-hoon dan Kyung-chul memperlihatkan adu keterampilan mudahnya menghilangkan nyawa seseorang di “I Saw The Devil”, dan penonton akan dipaksa untuk melahap segala macam jenis kekerasan dengan rasa yang berbeda-beda. Namun pernak-pernik kesadisan bukanlah satu-satunya yang menjadi perhatian film ini. Kim Ji-woon hebatnya tidak lupa menawarkan porsi cerita, ketika kita dihibur oleh pesta pora banjir darah dan gore, kita juga akan “diculik” untuk menikmati kadar cerita yang sebanding dengan setiap hujaman kesadisan ke penontonnya, sama-sama menghibur. Film yang punya judul asli Akmareul boattda ini akan melepas menit demi menitnya dengan cerita yang mampu tetap menjaga penonton betah, selain dengan kesadisan, didukung pula dengan ritme yang juga mampu dijaga dengan baik, terkadang melambat namun nantinya akan terdorong untuk kembali cepat, bisa dibilang menyesuaikan masing-masing adegan. Agar penonton juga tidak merasa sedang dikejar-kejar oleh alurnya, bisa beristirahat sejenak di beberapa bagian untuk kemudian dipaksa berlari lagi entah itu bersama dengan Dae-hoon ataupun Kyung-chul. Selain pandai menyakiti “I Saw The Devil” juga pandai menggandeng penonton untuk tidak lepas dari pegangan.

“I Saw The Devil” dengan telak membuat kita menunggu-nunggu apa yang akan Dae-hoon ataupun Kyung-chul lakukan selanjutnya, aksi kepintaran apalagi yang akan mereka perlihatkan pada penonton dalam usahanya memancing kedua monster ini untuk sekali lagi bertemu dalam arena penuh dengan kekerasan tingkat tinggi. Dae-hoon tentu saja akan memanfaatkan semua keahlian yang dia miliki sebagai agen intelijen terbaik untuk menghabisi pembunuh tunangannya, begitu pula dengan Kyung-chul yang pastinya tidak akan mau begitu saja kalah, si pembunuh berantai yang hobi memperkosa ini tentu saja tidak mau mempertaruhkan reputasinya yang selama ini sudah dia bangun dengan susah payah. Disinilah peran Kim Ji-woon sangat diuji, apakah dia mampu membuat kita betah dengan durasi begitu panjang, apakah dia mampu memuaskan kita yang menanti aksi-aksi selanjutnya dengan sebuah kejutan lain. Well, saya bisa bilang Kim Ji-woon sudah berhasil melewati setiap ujiannya, mampu dengan baik mengesekusi setiap kekerasannya sekaligus memaparkan cerita begitu asyik dan mengejutkan. Kerja kerasnya pun terbayar dengan hasil yang begitu memuaskan, karena “I Saw The Devil” memang sebuah thriller yang terbilang salah-satu yang terbaik. Keberhasilan film ini juga tidak terlepas dari peran duo monster yang dilakonkan dengan cemerlang oleh Choi Min-sik (Oldboy) dan Lee Byung-hun, keduanya mampu mempermainkan psikologis secara bersamaan bisa begitu meyakinkan memerankan algojo yang menyiksa penonton. Akhirnya saya hanya bisa bertanya-tanya apakah mereka berdua ini manusia atau murni iblis? siapa monster yang sebenarnya? siapa hitam dan siapa putih?

http://twitter.com/#!/raditherapy/status/23936027022336000