Fear is in the air!

“Altitude” nantinya akan membawa kita terbang belasan ribu kaki dari daratan bersama dengan anak–anak remaja yang lebih memilih naik pesawat komuter dan dipiloti oleh teman mereka yang sepertinya baru saja menerima ijin mengemudi…maksud saya ijin terbang. Ketimbang beramai-ramai naik kendaraan beroda empat di jalanan menuju ke tempat konser musik. Ada yang salah dengan itu? tidak ada, atau lebih tepatnya belum ada yang salah, karena saya tidak tahu apakah Sara (Jessica Lowndes) memang layak terbang atau tidak, saya tidak akan menghakimi si pilot ini karena film pun belum dimulai. Satu-satunya kesalahan Sara yang jelas terlihat di awal film, oh tambahkan jadi dua kesalahan, pertama berbohong pada ayahnya yang bekerja di militer, jika dia akan pergi dengan mobil bukan dengan pesawat seperti kenyataannya sekarang. Wajar jika ayah Sara begitu paranoid dengan anaknya akan membawa pesawat, karena ibunya Sara tewas karena kecelakaan pesawat ketika Sara masih kecil, tentu saja sang Ayah hanya tidak ingin kehilangan putri dan keluarga satu-satunya. Kedua, Sara mengajak Bruce, laki-laki kikuk, pendiam, dan ternyata phobia dengan pesawat. Dua faktor tersebut sudah cukup menjadi modal perjalanan ini akan jauh dari kata baik-baik saja.

Sara sudah duduk di bangku pilot dan membawa pesawatnya dalam keadaan utuh ketika lepas landas, jadi tidak ada yang perlu dikhawatirkan bukan? tidak juga, karena beberapa kali film ini memperlihatkan sebuah mur di bagian pesawat yang terlihat akan lepas, jika saja penonton bisa memperingatkan apa yang mereka lihat kepada Sara dan teman-teman hura-huranya, tapi tentu saja itu tidak akan terjadi, kecuali kelak ada film interaktif yang bisa mengajak penonton untuk menentukan nasib pemain dalam sebuah film, eh tapi jika tidak salah ada film berjudul “Last Call” yang entah sudah selesai dibuat atau masih dikembangkan, dimana penonton akan ditelepon oleh karakter utama dalam film untuk menuntunnya melewati rintangan demi rintangan, menarik bukan. Okay mari kembali ke “Altitude”, ketika pesawat sepertinya akan bermasalah, para penumpangnya yang tidak tahu apa yang akan terjadi dengan mereka sedang asyik menikmati penerbangan mereka, salah-satunya, Sal (Jake Weary), tipikal orang yang wajib ada di film-film seperti ini, orang brengsek yang kerjanya mabuk dan mengganggu orang lain. Orang seperti Sal selalu dimanfaatkan sebagai pemicu konflik, yah benar saja, belum apa-apa dia sudah bersitegang dengan Bruce yang hanya bisa diam di sebelah Sara.

Tapi semua akan segera berubah ketika pesawat kemudian memasuki awan gelap yang awalnya seperti awan badai biasa, keadaan menjadi kacau ketika Sara ternyata belum berpengalaman dengan instrumen pesawat, jadi pada saat pesawat dikelilingi awan gelap dan Sara tidak bisa melihat apa-apa didepannya, dia sekarang benar-benar seperti orang buta yang tidak tahu mengarahkan pesawatnya karena tidak bisa membaca alat navigasi yang terpasang di pesawat komuter ini. Sara dan teman-teman pun memutuskan kembali, memutar balik pesawat, namun sudah terlambat karena pesawat benar-benar terjebak di awan yang cukup aneh ini. Untuk menambah ketegangan, selain para penumpang yang sedang panik, mur yang sebelumnya terlihat bermasalah akhirnya lepas dan membuat sayap belakang pesawat macet, mengakibatkan masalah fatal karena pesawat terus naik dan tidak bisa diturunkan. Tidak cukup dengan satu masalah, radio pesawat juga tidak berfungsi, maka lengkaplah sudah, Sara dan pesawatnya terombang-ambing dalam gelap di antah berantah. Apa yang akan terjadi dengan Sara dan teman-temannya?

Ketika penonton diajak terbang ribuan kaki di udara oleh Kaare Andrews dalam filmnya “Altitude”, jangan berharap kita juga diajak melewati sajian horor yang memuaskan. Sejak pesawat lepas landas, adrenalin ini seperti tidak diajak bermain, emosi saya sangat datar merespon setiap kekacauan yang muncul semenjak pesawat mulai memasuki masa kritisnya, tidak bisa mengkontak siapapun, Sara yang tetap cool walau sebenarnya luar biasa kebingungan, ditambah setiap penumpang mulai memperlihatkan kemahirannya masing-masing dalam membuat keadaan makin ricuh. Bruce yang pendiam dan tetap menjaga image-nya sebagai laki-laki misterius—tidak semisterius apa yang diperkirakan karena sudah jelas dia ada hubungannya dengan 5 menit adegan pembuka film, Bruce tiba-tiba melakukan sesuatu yang membahayakan pesawat sampai akhirnya terpaksa diikat oleh Sal dan kawan-kawan.

Ada-ada saja ulah para penumpang ini untuk upayanya memompa ketegangan untuk naik, sayangnya saya tetap tidak bergeming melihat usaha film ini menaikkan intensitas ketegangannya. Yah Sal akan menjadi makin mengesalkan dan jadi orang paling berisik di pesawat tetapi tidak dibarengi dengan akting yang bisa terbilang buruk. Tidak hanya Jake Weary yang memerankan Sal yang berperilaku tidak meyakinkan dalam soal akting, tetapi keseluruhan pemain juga terkena cipratan performa aktingnya, termasuk Landon Liboiron yang memerankan Bruce. Jessica Lowndes yang berperan menjadi Sara sang pilot, tidak hanya membuktikan dia adalah pilot yang buruk tetapi juga dalam urusan meyakinkan penonton dengan aktingnya pun dia gagal, walau setidaknya jauh lebih baik ketimbang yang lain, itu pun terbantu dengan situasi dan juga wajahnya yang sudah coreng-coreng hitam dan sedikit darah.

Jika akting para pemainnya tidak mampu menyelamatkan film ini dari keadaan “bahaya”, Kaare ternyata juga kehilangan arah dalam mengesekusi setiap cerita yang ditulis oleh Paul A. Birkett ini. “Altitude” seperti kebingungan ingin membawa kisahnya kemana, akhirnya walau di pertengahan film ini sudah mulai memperlihatkan inisiatif baiknya untuk menyajikan ketegangan disana-sini, tapi tetap saja berantakan dalam soal kemasan, belum lagi ditambah visual efek yang awalnya ingin memberikan dramatisasi namun justru terjun bebas karena efeknya terlihat cheesy, akhirnya polesan efek tersebut tetap tidak membuat film ini mengkilat seperti apa yang diharapkan. Jika saja film ini tetap rendah hati menjaga rasa penasaran penonton untuk tetap berada di dalam pesawat, tanpa akses yang berlebihan dengan keadaan diluar yang dipenuhi efek pas-pasan dan hanya fokus pada situasi riuh di dalam pesawat, mungkin…mungkin saja film ini akan terlihat berbeda. Karena jujur, saya tertarik dengan premisnya yang menjanjikan petualangan di dalam ruang sempit pesawat komuter ditambah setting ribuan kaki di udara. Apalagi dengan kenyataan “Altitude” memiliki ending yang bisa dibilang tidak mengecewakan, ending ala “Twilight Zone”, yang memenuhi kepala kita dengan pertanyaan-pertanyaan, setelah sebelumnya cukup dibuat terkejut. Saya bisa bilang ending “Altitude” lebih bagus dari keseluruhan film horor-fantasi yang terlihat berantakan seperti sudah tercabik-cabik oleh tentakel si kraken terbang ini. Saya sekali lagi kecewa, karena saya membayangkan bisa melihat monster lain, spagetti terbang misalnya.

http://twitter.com/#!/raditherapy/status/29373785379438592