Dear Owen, I am in the bathroom. Please do not come in. Do you want to hang out with me again tonight? I really like you. Love, Abby.

Mendengar kata remake, biasanya kita sudah pesimis lebih dahulu, apalagi jika film yang akan didaur-ulang adalah film yang bagus. Inilah yang terjadi dengan “Let The Right One In”, pada saat terdengar kabar bahwa film yang disambut respon istimewa secara kritik dan juga memenangkan deretan award di banyak festival film dunia ini akan dibuatkan versi “hollywood”-nya, tentu saja hal ini menuai berbagai komen sinis, mereka yang sudah pernah menonton film asal Swedia besutan Tomas Alfredson tersebut langsung merespon dengan jawaban “apakah perlu film sebagus ini di-remake?”. Termasuk saya yang awalnya juga sempat mencibir Hollywood yang lagi-lagi tidak belajar jika remake mereka kebanyakan flop di pasaran. Khususnya untuk genre film-film horor, lucunya kadang mendaur-ulang film yang notabennya dari Amerika saja mereka gagal, sebut saja “Friday the 13th” dan “A Nightmare on Elm Street. Begitu pula ketika mencomot film-film Asia yang terbilang cukup sukses seperti “A Tale of Two Sisters” yang kemudian di Hollywood­-kan menjadi “The Uninvited” di tahun 2009. Filmnya memang tidak jelek-jelek amat tetapi jadi mubazir saat film orisinilnya tetap jauh lebih superior.

Jika film horor Asia lain, seperti “Shutter” (Thailand) dan “The Eye” (Hongkong), yang kemudian rilis versi remake-nya pada tahun 2008 menjadi contoh film-film horor daur ulang yang terbilang buruk. Maka “The Ring” besutan Gore Verbinski adalah salah-satu hal yang langka karena termasuk kedalam daftar film remake yang berhasil. Begitu pula dengan “Quarantine”, remake dari film asal Spanyol berjudul “REC”, yang bagi saya bisa cukup mengimbangi apa yang sudah dicapai film orisinilnya. Kembali ke “Let The Right One In”, mendengar nama Matt Reeves duduk dibangku sutradara versi daur-ulang film yang diadaptasi dari novel karangan John Ajvide Lindqvist ini, sepertinya menjadi sebuah poin titik balik dimana saya justru malah penasaran akan seperti apa “Let Me In”. Saya sangat menyukai apa yang sudah dilakukannya dengan “Cloverfield”, lalu ketika Matt Reeves berencana tidak akan me-remake “shot-by-shot” film orisinilnya melainkan membuat adaptasi versinya sendiri dari novel, well itu membuat saya lega untuk makin menunggu apakah kisah percintaan vampir cilik versi Matt Reeves ini bisa “menaklukan” film Swedia tersebut atau bahkan lebih baik?

“Let Me In” yang seluruhnya di tulis juga oleh Matt Reeves memang jelas menghadirkan nuansa yang berbeda, kesan yang terlalu “dingin” dari “Let The Right One In” tiba-tiba berganti dengan atmosfir sedikit lebih hangat, disana ada jalan cerita yang lebih “cerah” untuk dimengerti, dan balutan kemisteriusan dari film orisinilnya berubah menjadi suatu yang bisa dibilang dibuat untuk lebih menakuti. Ketika “Let The Right One In” lebih asyik bermain dalam ruang gelap yang menantang kita untuk melangkah meraba-raba apa yang ada disekeliling ruangan tersebut, kadang kita juga diajak untuk menabak-nebak apa sebenarnya arti mimik “dingin” Eli dan menengok lebih dalam untuk mengetahui apa yang sebenarnya dirasakan oleh Oskar. “Let Me In” tampaknya ingin lebih terbuka, kita tidak lagi diajak bermain “petak-umpet” psikologis, mengartikan setiap pergerakan wajah Owen dan Abby, karena ke-innocent-nan mereka dalam mengungkapkan rasa lebih bisa terbaca disini. Dari segi “mentah” cerita, “Let Me In” memang tidak akan jauh berbeda dengan “Let The Right One In”, karena pada dasarnya mereka bersumber pada material yang sama, yaitu novel John Ajvide Lindqvist. Disinilah Matt Reeves dituntut berkerja keras untuk memutar pena dan menuliskan kisah versinya sendiri.

“Let Me In” yang berlatar belakang kota Los Alamos, New Mexico di tahun 1983 akan menceritakan Owen (Kodi Smit-McPhee), seorang bocah 12 tahun yang tidak bahagia dengan keluarganya yang akan segera bercerai, dia juga kesepian, satu-satunya teman yang dia miliki adalah “dendam”, karena hampir setiap saat di-bully oleh Kenny (Dylan Minnette) dan teman-temannya. Tidak punya tempat untuk bercerita, Owen hanya bisa “curhat” dengan pohon yang menjadi tempatnya untuk mencurahkan dendamnya, bicara sendiri sambil menusuk-nusuk pohon tersebut dengan pisau kecil sepertinya sudah cukup meredakan rasa hausnya untuk balas dendam. Kenapa dia tidak membalas? “jumlah mereka lebih banyak”, itulah jawaban Owen kelak kepada Abby (Chloe Moretz). Siapa Abby? dia adalah teman baru Owen, seorang gadis seumuran dengannya. Ketika Owen sedang membutuhkan teman, Abby tiba-tiba saja datang seperti memang diperuntukan untuk menemani kesepian Owen. Abby datang dengan ayahnya, lalu tinggal bertepatan di sebelah apartemen Owen. Pertemuan mereka diawali dengan percakapan kecil, lalu esok malamnya diakrabkan dengan sebuah mainan “kubus rubik”, selanjutnya Owen dan Abby pun semakin dekat, mengucapkan selamat tinggal pada “kesepian”.

Apa yang tidak Owen ketahui adalah Abby tidak seperti apa yang dia lihat di permukaan kulit, tapi dibalik kulit yang terkadang bisa berubah pucat tersebut tersembunyi misteri yang mengerikan. Ketika Owen dan Abby merajut tali persahabatan mereka, lalu pada saat Owen mulai berani melawan Kenny, dan ayah Abby diam-diam selalu keluar pada malam hari. Kota kecil Los Alamos yang damai sebentar lagi akan kedatangan “tamu”, mengejutkan sekaligus mengerikan. Kata mengejutkan juga pantas disematkan pada film ini ketika pertama kali saya menontonnya, beruntung setelah lama menunggu akhirnya dirilis juga di bioskop lokal, walau baru tayang midnight, entah kapan ditayangkan secara reguler. “Let Me In” masih memiliki pesona istimewa yang juga dimiliki “Let The Right One In”, yaitu sebuah kesuraman yang diselimuti oleh keindahan hubungan dua orang bocah, yang satu berumur 12 tahun, yang satu lagi mengklaim dirinya berumur sama. Yah Matt Reeves sepertinya sukses me-remake atmosfir kelam yang terbalut dingin di film orisinilnya, tetapi mewujudkannya dengan versinya sendiri, sama seperti apa yang dia lakukan terhadap bagaimana cara dia bercerita.

“Let Me In” masih akan bertabur rasa kelam, meninggalkan jejak-jejak kesunyian pada tumpukan salju yang mengubur cerahnya kota Los Alamos, berbeda dengan “Let The Right One In” yang “bersuhu” dingin, Matt Reeves mencoba menurunkan nuansa dingin tersebut menjadi agak lebih hangat. Bermodalkan novel yang sama, Matt Reeves sukses mengerjakan pekerjaan rumahnya untuk menampilkan hasil akhir yang membuat film ini berkesan seperti bukan film remake (karena memang seperti yang saya katakan di awal, Matt Reeves mencoba mengadaptasi dari bukunya langsung). “Let Me In” dirangkai oleh Reeves untuk sanggup berdiri sendiri dengan susunan cerita yang bisa dikatakan berbeda walau nantinya semua berujung ke sudut yang sama. Jadi ketika saya atau mereka yang sudah menonton “Let The Right One In” mungkin akan kelelahan mencoba membanding-bandingkan perbedaan dan kesamaannya. Karena Reeves toh menginjeksi bagian demi bagian ceritanya dengan orisinalitasnya sendiri, caranya sendiri untuk bercerita pada akhirnya justru menantang kita untuk tidak lagi membandingkan mana adegan serupa dan mana adegan yang dihilangkan. Tetapi lebih kepada mencari-cari kelebihan dari masing-masing adegan yang kedua film “Let Me In” dan “Let The Right One In” sudah tawarkan kepada penonton dengan cara terbaik mereka masing-masing pula.

Bagaimana “romantisme” Owen dan Abby diceritakan, bagaimana Reeves juga bercerita tentang kisah ayah Abby, semua terkemas dengan kantong yang baru tetapi masih dengan isi yang sama, inti cerita yang istimewa. Romantisme Owen dan Abby lebih bisa mudah dirasakan, walau misterius tetapi lebih hangat untuk dipeluk. Begitu juga dengan kisah Abby dan ayahnya, hubungan mereka berdua lebih mudah dimengerti dengan adegan-adegan yang memang dibuat untuk menjelaskan kekuatan hubungan ayah-anak. Baiklah, dari kisah yang ditawarkan, sekali lagi “Let The Right One In” juga memiliki kelebihan yang tidak dimiliki oleh “Let Me In”, tapi keduanya berbagi kelebihan yang sama dalam urusan memoles film ini tampil elegan dan berkelas secara sinematografi. Jika Hoyte van Hoytema dalam “Let The Right One In” mampu memanjakan mata dengan gambar nan indah bernuansa kelam dan dingin terbalut dengan cita rasa khas Eropa yang elegan. Greig Fraser melakukan hal yang sama pada “Let Me In”, dia berhasil menyelaraskan setiap adegan dengan gambar-gambar yang elegan nan indah. Greig Fraser tahu betul bagaimana harus menyorot wajah-wajah manis Owen dan Abby untuk menyampaikan pesannya kepada penonton, walau mereka sama sekali tidak berbicara, mereka berhasil berkomunikasi dengan penontonnya. pengambilan gambar dan pergerakan kamera Greig Fraser pada akhirnya berhasil “membekukan” kita untuk terus nyaman menonton, serta “menghangatkan” kita untuk menikmati keindahan lanskap-lanskap sederhana yang ada.

“Let The Right One In” memiliki talenta yang menakjubkan ketika berbicara soal para pemainnya, terutama fokus kita pada Kare Hedebrant (Oskar) dan Lina Leandersson (Eli), keduanya menampilkan performa yang tidak hanya memikat tetapi melekat di hati para penontonnya. Kodi Smit-McPhee dan Chloe Moretz pun tidak kalah memikat dalam memerankan lakon utama di “Let Me In”, keduanya bisa mengaitkan chemistry hangat tersebut dengan penonton, berbagi kasih sayang mereka untuk menyentuh rasa simpatik penonton. Kodi Smit-McPhee bermain apik sebagai bocah penyendiri dan pendendam, dia bisa menyampaikan ketulusan hatinya serta kesedihannya dan menyamarkannya di balik tubuh kurus anak bernama Owen. Chloe Moretz yang sebelumnya berakting “kasar” sekaligus fantastis dalam “Kick-Ass”, kembali menampilkan performa gadis cilik yang tangguh. Chloe berhasil menghadirkan kemisteriusan dalam wajah Abby, mimik wajahnya yang janggal dan dialog-dialog lugu terkadang kasar dapat dengan baik dimainkan olehnya. Keduanya pun akhirnya mampu memanipulasi emosi dan mood kita, dibantu dengan musik yang dialunkan Michael Giacchino. Walau di beberapa momennya Giacchino terasa sedikit berlebihan namun upayanya dalam membangun ketegangan atau sisi romantis film ini bisa terbilang cukup bekerja dengan baik.

John Ajvide Lindqvist tampaknya adalah orang yang beruntung karena novelnya diadaptasi menjadi dua film yang sama-sama menawarkan kehebatan dalam bercerita. “Let Me In” dan juga “Let The Right One In” saling berbagi keistimewaan, keduanya menawarkan sebuah pengalaman sinematik yang unik, sebuah kisah romantis yang manis, seperti permen kesukaan Owen. Walau “Let The Right One In” akhirnya masih saya tempatkan pada posisi terbaik, bukan berarti “Let Me In” lebih buruk, tidak film ini justru adalah sebuah kisah hebat yang mampu berdiri sendiri berkat kemahiran Matt Reeves meracik formulanya. Menjadikan film ini sebuah remake yang langka, karena mampu tampil head-to-head dengan film orisinilnya, memamerkan orisinalitasnya sendiri dan ditangan Matt Reeves, “Let Me In” adalah film yang tidak lupa memberikan respek terhadap film pendahulunya. Ketika genre ini makin diolok-olok, “Let Me In” hadir untuk memberi pesan kepada Hollywood lewat taring, darah, dan kisah yang hebat!

http://twitter.com/#!/raditherapy/status/16189788411404288