Dreams are not told aloud ~ Yakup

Lewat “Bal” atau Honey dalam judul berbahasa Inggris, Semih Kaplanoglu menutup trilogi Yusuf-nya yang ia mulai di tahun 2007, jika pada Yumurta (Egg) Semih bercerita tentang kehidupan Yusuf dewasa yang kembali ke kampung halamannya, lalu disusul dengan Sut (Milk) di tahun 2008 yang menceritakan Yusuf yang baru saja lulus SMA, kali ini Semih mengajak penonton menengok Yusuf kecil yang baru berumur 6 tahun. Keunikan sutradara asal Turki ini sudah terlihat dari bagaimana dia menyusun triloginya, menceritakan tahap demi tahap kehidupan Yusuf dengan cara mundur ke belakang. Ada yang menarik setiap saat saya menonton film-film yang berasal dari Turki, apapun genre filmnya, entah itu komedi atau drama, para filmmakernya selalu berhasil memanfaatkan keindahan lanskap Turki, pegunungan-pegunungan di daerah pedesaan atau kota Istambul yang megah. Seakan film-film tersebut sudah sepakat dari awal untuk “mengeksploitasi” apa yang dimiliki negaranya, memperkenalkan pada dunia dan mengundang penonton untuk datang ke Turki tidak hanya melalui medium film tetapi juga kapan-kapan pergi mengunjungi negara yang kaya akan sejarah masa lampau tersebut.

Yah film terkadang bisa dimanfaatkan juga sebagai “media promosi” pariwisata negara bersangkutan, apakah disini (baca: Indonesia) sudah maksimal memanfaatkan film-film-nya sebagai ajang pamer keindahan alam beserta isinya? saya singkirkan dulu pertanyaan tersebut dan menjawabnya dilain kesempatan, karena saya akan mengajak kalian melihat apa yang ditawarkan oleh Semih dalam Honey, film yang juga sudah berhasil membawa pulang piala bergengsi Golden Bear, sebagai film terbaik di Berlin International Film Festival ke-60. Jika saya sebelumnya sempat menyinggung keindahan dalam film-film Turki, Honey juga tidak melupakan menampilkan keindahan alam tersebut walau filmnya sendiri bisa dibilang berselimutkan kemuraman, agak depresif, dan menyorot kehidupan dengan bahasa-bahasa simbol. Walau memiliki gaya bercerita yang berbeda dari film-film Turki yang selama ini saya tonton—mungkin hanya Uc Maymun saja yang punya nuansa serupa dilihat dari sisi film tersebut yang sama-sama menggambarkan kehidupan secara kelam dan depresif—namun Semih mampu mengemas semua itu masih dalam koridor “film yang masih bisa dinikmati”.

Honey menegaskan apa yang tertera pada judulnya, memang melibatkan madu, seorang petani madu Yakup (Erdal Besikcioglu) harus bertaruh dengan nyawa setiap hari untuk memanen setiap potongan madu dari sarang lebah buatannya sendiri yang ditempatkan di atas pohon. Apa yang dikerjakan Yakup tidaklah mudah, dia harus memanjat pohon demi pohon untuk “menitipkan” sarang lebah yang terbuat dari kayu, hal yang sama dilakukan ayah satu orang anak ini ketika dia akan mengambil madunya. Sesekali Yakup tidak lupa mengajak anak semata wayangnya Yusuf (Bora Altas), memperkenalkan anak berumur 6 tahun tersebut dengan pekerjaan sang ayah sekaligus membiarkan dia akrab dengan hutan dan isinya. Yusuf sangat dekat dengan ayahnya, sering bertanya tentang bunga yang dia temui di hutan, saling melempar kata-kata lewat bisikan lugu, sampai merawat dengan lembut ketika ayahnya tiba-tiba sakit. Begitulah tingkah pola Yusuf ketika berhadapan dengan ayahnya, begitu enerjik, semangat, selalu penasaran, petualang sejati, dan yang paling penting adalah tingkat percaya dirinya yang tinggi.

Anehnya Yusuf akan berubah 180 derajat ketika berada di depan orang-orang selain sang ayah, termasuk ibunya sendiri, Yusuf merapat-rapat mulutnya dan menjadi anak paling pendiam. Ketika ibunya, Zehra (Tulin Ozen), menyuruh Yusuf meminum susunya, anak ini diam saja karena dia memang tidak suka dengan susu, barulah ketika ayahnya dengan baik hati menghabiskan susu tersebut, kita akan melihat lagi Yusuf yang bisa tersenyum. Di sekolah pun, Yusuf menutup dirinya dari teman-temannya, tidak pernah bergaul dan bermain, hanya bisa melihat dari balik jendela ketika semua temannya bermain diluar. Jika Yusuf pandai membaca dihadapan ayahnya, kepercayaan dirinya hilang begitu saja bagai sari bunga yang tertiup angin ketika gurunya disekolah menyuruhnya membaca. Di depan teman-teman dan guru, Yusuf berubah menjadi anak yang terbata-bata ketika dia membaca. Tapi ada satu sifat asli Yusuf yang tidak pudar yaitu semangatnya, walau ada kalanya terlihat licik, Yusuf selalu ingin bisa berhasil membaca dan mendapat pujian dari sang guru, termasuk mendapat pin penghargaan yang diberikan gurunya bagi siapa saja yang sanggup membaca dengan lancar di kelas.

Seperti halnya Yusuf yang terbata-bata ketika membaca di dalam kelasnya, Honey juga dikemas oleh Semih dengan gaya bercerita yang bisa dibilang bergerak lamban. Namun bercermin pada mimik wajah menggemaskan Yusuf ketika mengeluarkan satu-persatu huruf dari mulutnya, film ini juga menceritakan satu-persatu bagian cerita dengan begitu “menggemaskan” walau dengan alur yang lambat. Kita akan selalu diajak penasaran dan terenyuh melihat akting Bora Altas sebagai Yusuf, apa yang akan dilakukan bocah imut ini—seperti pada saat mengumpulkan pekerjaan rumah—selalu saja misterius. Atlas pun secara mengejutkan dapat menggiring penontonnya untuk tetap terus bersamanya dan tentunya pada filmnya sendiri, karena misal pun penonton tidak bisa menikmati apa yang sudah disajikan Semih, setidaknya performa-tingkah-laku Atlas yang minimalis dan unpredictable ini bisa menghibur siapa saja. Tidak hanya menghibur dengan kelucuan dia ketika (misalnya) berbicara dengan keledai tetapi juga menghibur hati pada saat Yusuf memperlihatkan bahwa dirinya memang malaikat kecil, dengan hal-hal sederhana seperti meminum susu yang dia benci hanya untuk menghibur ibunya atau memberikan mainan favoritnya kepada temannya.

Honey juga sebenarnya dirangkai dari cerita sederhana yang ditulis oleh Orcun Koksal dan juga Semih Kaplanoglu, menceritakan bagaimana seorang bocah yang berjalan ke sekolah ditemani burung ini, melihat dunia yang sedang berputar dari sudut pandangnya sendiri dan mencicipi kehidupan masa kecilnya dengan caranya sendiri. Didampingi oleh sinematografi yang begitu apik, indah, nan menawan (thanks to Baris Ozbicer), melahap film ini jadi makin nikmat. Apalah artinya alurnya yang lambat ketika saya justru tidak merasakan durasi 103 menit, karena film ini toh pintar mengajak bermain puzzle. Yup saya diajak untuk mengumpulkan potongan-potongan cerita yang hilang, karena Semih tidak memberikan kita satu cerita yang utuh secara langsung. Ketika saya bertanya mana Ibu Yusuf? Apakah ia tinggal berdua dengan ayahnya saja? Semih baru bisa menjawab pertanyaan tersebut 20 menit kemudian.

Begitu juga dengan puzzle mengenai perjalanan Yusuf ke sekolah, letak rumah Yakup dan keluarganya, dan potongan-potongan yang disembunyikan perihal hubungan antara keluarga, Yusuf dengan ayahnya, Yusuf dengan ibunya dan juga suami dengan istrinya. Semih dengan cemerlang bisa menjawab satu persatu pertanyaan dan rasa penasaran saya, untuk nantinya saya dengan mudah mengisi ruang kosong dalam puzzle tersebut. Bergulirnya Honey dari menit ke menitnya merupakan perjalanan menarik dengan satu lagi keunikannya dalam hal mengisi film ini dengan percakapan yang minim, sepertinya setiap karakternya berbicara lewat raut wajah. Yusuf cukup tersenyum untuk mengatakan kepada penonton bahwa dia sedang senang. Seimbang dengan para karakternya yang “pelit” berbicara, film ini juga sepi lagu-lagu yang biasanya dialunkan untuk upayanya mendramatisir sebuah adegan atau membangkitkan mood tertentu. Honey justru lebih memilih untuk membisikkan telinga kita dengan suara-suara alam, perbincangan angin dengan dedaunan, dan nyanyian penghuni hutan. Kesunyian adalah pedamping sejati saat Honey menapaki ceritanya, namun ramai akan pesan-pesan kehidupannya yang simbolik.