People dance because dance can change things. One move, can bring people together. One move, can make you believe like there’s something more. One move, can set a whole generation free ~ Moose

Selamat datang di dunia dimana semua dilakukan dengan tarian, dari meminta maaf pada teman sampai menyelinap masuk ke dalam sebuah pesta, tarian memang akan menjadi kontruksi utama “Step Up 3D” untuk membangun cerita. Bagi yang tidak menonton film pendahulunya pun tak perlu takut tidak mengerti jalan cerita, karena di film ketiga ini tidak ada sangkut pautnya dengan 2 film sebelumnya, kecuali karakter Moose (dari film kedua) dan Camille (dari film pertama) yang dimunculkan kembali hanya sebagai alasan penghubung benang merah. Jon Chu—sutradara Step Up 2: The Streets—masih akan mengandalkan koreografi-koreografinya untuk berdiri di barisan depan sebagai daya jual film ini, tapi tentu saja dia sadar tidak bisa menjual sesuatu yang sudah ada sebelumnya, lalu apa yang ditawarkan film yang melengkapi trilogi tarian “Step Up”? satu perbedaaan yang sangat jelas tentu penggunaan 3D (bukan konversi), untuk menemani variasi tarian unik yang “bergoyang” sepanjang film bergulir dari menit ke menitnya.

Sejak awal “Step Up 3D” sudah mulai memancing penontonnya untuk ikut menari lewat aksi Moose (Adam Sevani), mahasiswa teknik elekto Universitas New York yang tiba-tiba terlibat dalam adu tari dengan Kid Darkness, salah satu penari dari kelompok penari yang menamakan diri mereka House of Samurai. Dari sini Jon Chu terlihat sangat amat percaya diri memperkenalkan Moose dengan segala kelebihannya menari entah itu di atas jalanan ataupun di atas meja sekalipun, memanfaatkan lingkungan sekitarnya dari bulatan gelembung-gelembung sabun sampai menghancurkan dagangan orang lain di taman. Hal ini tentu saja mengundang polisi untuk menangkapnya dan sekaligus mengundang saya untuk masuk ke dunia “orang-orang yang terlahir untuk menari”. Sedikit insiden di taman mempertemukan Moose dengan Luke (Rick Malambri) yang memperkenalkannya pada sebuah tempat bernama “The Vault”, dimana anak-anak yang berbakat menari seperti dia berkumpul, berlatih, dan membentuk ikatan keluarga. Luke dan tim-nya menamakan diri mereka dengan sebutan House of Pirates dan mengundang Moose untuk bergabung.

Selain Moose, Luke juga mengundang Natalie (Sharni Vinson) untuk bergabung dengan House of Pirates. Dengan tambahan 2 orang berbakat ini, Luke dan tim-nya percaya bisa menjadi juara di kontes tari sedunia “World Jam” dan mengalahkan musuh bebuyutan mereka House of Samurai dengan pimpinannya Julien (Joe Slaughter). Kontes ini adalah harapan satu-satunya House of Pirates untuk mempertahankan rumah mereka yang akan disita oleh bank dan dilelang, jika Pirates menang, mereka bisa membayar hutang kepada bank. Disinilah konflik mulai mengisi slotnya bersanding dengan para penari yang asyik memamerkan keahlian cantik dalam menari. Selagi mimpi buruk kehilangan “The Vault” semakin nyata, House of Samurai juga mulai memperlihatkan sisi mata pedangnya yang tajam untuk menghentikan House of Pirates menjadi juara, tapi sisi rivalitas ini memang tidak terlalu menjadi fokus film ini. Justru konflik-konflik internal-lah yang paling sering menyita waktu, Moose diperlihatkan makin renggang dengan sahabat baiknya Camille (Alyson Stoner) dan Luke mendapat pelajran berharga dari gadis yang membuatnya jatuh cinta, Natalie. Akankah semua masalah ini menghambat laju House of Pirates untuk jadi pemenang dan menyelamatkan “rumah” yang mereka cintai?

Apa yang diperlukan untuk menonton “Step Up 3D” adalah nikmati segala bentuk tarian luar biasa yang diperlihatkan oleh penari-penari berbakat ini, lupakan fakta jika ceritanya memang mudah ditebak, datar, klise, miskin plot, dan ditambah dengan para pemainnya yang justru terlihat biasa saja ketika beradu akting, berbeda pada saat hentakan musik mulai bertalu-talu dan mereka mulai berdansa, disini mereka tidak kaku tapi sebaliknya tampil luwes dan sempurna melahap setiap koreografi yang diarahkan Nadine “Hi-Hat” Ruffin, sang koreografer. Tarian-tarian ini pun tervisualisasi dengan daya hipnotis yang kuat ketika dengan pas dipadukan dengan berbagai macam pernak-pernik tambahan yang menarik seperti berdansa di air atau berdansa dengan efek-efek lampu yang memanjakan mata. Film ini juga tidak sekedar menghadirkan tarian jalanan tapi juga turut mengisi slot 100 menit lebih durasinya dengan dansa formal ala pesta-pesta dansa yang dibuat berbeda dan duet Moose dan Camille yang menarikan tarian ala Broadway lalu dikemas layaknya film-film musikal. Film ini memang tidak istimewa secara keseluruhan tapi sudah cukup berhasil menangkap esensi keindahan dari sebuah tarian dan juga mengajarkan bahwa dengan tarian pun (bakat apapun) kita sanggup mengubah sesuatu yang tidak mungkin menjadi mungkin. Momen terbaik di film ini adalah ketika melihat anak-anak kecil asyik menari tidak kalah dengan kakak-kakaknya yang lebih senior di House of Pirates.