Because last time we met I tried to kill you ~ Marvin Boggs

Frank Moses (Bruce Willis), diceritakan adalah mantan seorang agen CIA, dan bukan sembarang agen, dia yang terbaik di masa kejayaannya. Kehidupan pensiunnya sangatlah membosankan, sampai akhirnya Frank memutuskan untuk menjalin hubungan jarak jauh dengan Sarah (Mary-Louise Parker), seorang pegawai customer-service yang bekerja di kantor pelayanan dana pensiun, termasuk juga mengurusi cek pensiun milik Frank. Saat semua berjalan normal, Frank tiba-tiba diserang oleh sekelompok pembunuh bersenjata. Walau rumahnya hancur berantakan diberondong peluru senapan mesin, Frank masih tetap hidup berkat keahlian membela diri yang masih dia miliki dan tidak mau dikalahkan oleh usia dan juga mereka yang hendak membunuhnya. Setelah menghabisi pembunuh-pembunuh tersebut, Frank segera menemui Sarah karena sadar dia juga dalam bahaya. Pertemuan pertama antara Frank dan Sarah pun tidak berjalan mulus, Sarah tentu saja kaget karena tiba-tiba orang yang selama ini hanya dia “temui” di telepon, sekarang hadir di depannya dan berbicara soal pembunuh dan mantan CIA.

Di lain pihak, seorang agen CIA bernama Cooper (Karl Urban) ditugasi untuk melacak keberadaan Frank Moses dengan misi utama membunuhnya. Pertemuan awal Frank dan Cooper pun diramaikan oleh kejar-kejaran dan adu tembak di jalan raya, sayangnya target buruannya lebih pintar dan berhasil “kabur” dari Cooper. Selagi Cooper dan agen CIA sibuk mencari-cari mantan agennya yang sekarang terkenal dengan sebutan “Retired, Extremely Dangerous” tersebut, Frank sendiri juga sibuk reuni dengan teman-temannya sesama agen hebat di masa lalu. Pertama dia mengunjungi Joe (Morgan Freeman), dibalik tubuhnya yang sudah menua, Joe adalah agen rahasia yang tangguh, lalu Marvin (John Malkovich), seorang yang hidupnya terobsesi dengan teori konspirasi, sangat berhati-hati, anti-teknologi, pernah “dicekoki” LSD selama 11 tahun, dan sekarang tinggal di tempat paling tidak terduga, dan terakhir Victoria (Helen Mirren), wanita tua yang elegen namun sangat fasih menggunakan segala macam senjata dan pembunuh paling mematikan dari dulu ketika “aktif” sampai sekarang. Bersama-sama, Frank dan teman-temannya akan saling membantu mengungkap konspirasi di dalam tubuh lembaga intelijen CIA, berbekal keahlian mereka masing-masing yang tidak pernah pudar walau termakan usia.

Mengumpulkan orang-orang tangguh tidak bisa mati dengan berbekal keahlian unik masing-masing dalam satu kelompok “the good guy” dan melawan “the bad guy” adalah tema yang sepertinya menjadi perhatian Hollywood tahun ini, sebelum “Red” kita sudah lebih dahulu disuguhkan film-film berpola serupa, belum lama ini ada The Expendables yang juga menampilkan Bruce Willis sebagai cameo bersama Arnold Schwarzenegger, satu lagi versi layar lebar dari seri televisi terkenal, The A-Team. Film yang disutradarai oleh Robert Schwentke ini berbeda dengan The Expendables yang memang menampilkan aktor-aktor kelas berat yang biasa bermain di film-film laga tersebut atau The A-Team yang memasang wajah-wajah “anak muda” kecuali Liam Neeson tentunya. Film yang diadaptasi dari komik ini justru “memajang” nama-nama tidak terduga dan tentunya tua (termasuk juga Bruce Willis) seperti Morgan Freeman, John Malkovich, dan juga Helen Mirren untuk menemani Willis beraksi baku hantam sana-sini. Namun seperti CIA yang menganggap remah orang-orang tua ini, saya juga terkejut ketika Bruce, dan yang lainnya mampu membuktikan jika usia boleh tua tapi mereka masih sanggup meluncurkan roket tepat ke penontonnya dan meledakkan kepala mereka dengan aksi-aksi yang menghibur.

Film ini dengan aroma “tua”-nya—menyesuaikan dengan komik dan fokus cerita ke para pensiunan agen CIA—sudah menggelitik adrenalin saya untuk tertawa kegirangan ketika Bruce Willis membuka filmnya dengan hamburan peluru dan aksi membabi-buta. Robert Schwentke yang sebelumnya membesut “Flightplan”, dengan terampil sukses membawa mood untuk tersenyum lebar sejak paruh awal film ini dimulai. Dikemas dengan ritme yang pas antara laga dan cerita, film ini tidak dipaksa untuk “tangguh” saja tapi juga ikut memaparkan ceritanya dengan baik. Adegan-adegan action diperlakukan dengan tidak berlebihan dan terbukti tidak mubajir ketika memamerkan keanggunan Willis dan kawan-kawan ketika memuntahkan peluru, menghancurkan rahang, dan meledakkan musuh jadi berkeping-keping (nah justru review ini yang berlebihan). Willis dengan track record di beberapa film laga, khususnya seri “Die Hard” sudah tidak perlu ditanyakan lagi ketika berbicara soal performanya di film ini. Bisa dibilang ini penampilan terbaiknya di film bertema action dalam kurun waktu beberapa tahun ini, ketika dia cenderung banyak main di film-film drama, lebih baik dari Die Hard 4 atau Surrogates. Schwentke berhasil dengan misinya untuk mengembalikan “karisma” ketangguhan Willis yang sebenarnya.

Morgan Freeman yang mendapat porsi lebih sedikit dari teman-temannya yang lain, tidak serta-merta membuat dirinya dikucilkan. Pemeran Nelson Mandela di Invictus ini sangat memaksimalkan lakonnya sebagai agen yang berperawakan tenang. Morgan benar-benar terlihat sangat tua dengan usianya yang sudah menyentuh 73 tahun, tapi hebatnya tidak menghentikan dia untuk menjadi “sidekick” untuk Willis. Kejutan menarik datang dari Hellen Mirren, pernah membayangkan jika pemeran Ratu Inggris, Elizabeth II, di film “The Queen” ini memegang senapan mesin M2 kaliber 50? jika tidak pernah, maka disini saatnya kalian melihat Hellen Mirren tampil “ningrat” sekaligus maskulin dengan variasi senjata di tangannya. Wanita berumur 65 tahun sukses menakuti musuh-musuhnya dan juga saya ketika wajahnya yang karismatik-keibuan berubah garang ketika muntahan peluru membanjiri lantai yang dia pijak.

Jika bertanya siapa yang bertanggung jawab untuk mencuri perhatian saya, John Malkovich-lah orangnya. “Red” lengkap dengan kehadiran Malkovich, sepertinya dia membayar hutangnya ketika bermain biasa saja di “Jonah Hex” yang sama-sama diadaptasi dari komik keluaran DC Comics. Karakternya yang dibuat tidak waras sukses menghadirkan tawa terpingkal-pingkal diantara desingan peluru yang menari dan ledakan yang saling bernyanyi merdu. Daya jual film ini memang berada di tangan karakter-karakternya yang syukurnya dilakonkan dengan baik, termasuk tambahan Mary-Louise Parker, Karl Urban, Richard Dreyfuss, dan Brian Cox sebagai agen Rusia, yang bermain cukup baik mendukung bergulirnya menit ke menit film ini. Walau film ini ditangani dengan baik dalam urusan menjaga intensitas action dan selipan humornya, tidak dipungkiri Schwentke lengah dalam urusan plotnya yang mulai kendur ketika mencapai akhir film, sepertinya semua yang menarik sudah dipamerkan dan menyisakan pelintiran cerita yang tidak istimewa, apalagi ditambah dengan “sumbu” masalah yang tidak diceritakan dengan jelas dari awal. Beruntung saya tidak peduli dengan kekurangan film ini, karena Willis dan kawan-kawannya yang tidak muda lagi sudah memberikan hiburan (di luar ekspektasi) yang ekstrim dari awal film ini memuntahkan peluru pertamanya.