I’m sick of people telling me that I need a man. ~ Liz Gilbert

Bersiaplah untuk berkemas-kemas! karena film ini akan membawa kita untuk “melarikan diri” sesaat ke 3 negara (tidak juga ketika durasinya 2 jam lebih), menelusuri gang-gang berliku di kota Roma, Italia, mengunjungi eksotika India, terakhir menikmati keindahan pulau Dewata, Bali di Indonesia. Bersama dengan Liz Gilbert (Julia Roberts) kita akan diajak menemani dirinya terbang menuju tempat-tempat tersebut dan meninggalkan apa yang dimilikinya di New York. Liz bisa dibilang adalah wanita paling beruntung, dia memiliki apa yang wanita modern dambakan. Tetapi punya seorang suami, rumah, dan karir yang sukses ternyata tidak membuat Liz menikmati hidupnya lagi. Dia kehilangan keseimbangan, bingung dengan dirinya sendiri beserta kehidupan asmaranya. Pada saat sedang meraba-raba apa yang sebenarnya ia cari dalam hidup ini, dia justru kehilangan apa arti cinta dan mencintai, keyakinannya mulai redup, dan kenikmatan hidup tidak lagi terkecap manis, apa yang diharapkannya ketika “selera” hidup itu mulai menjauh.

Pernikahannya dengan Steven (Billy Crudup) pun kandas di tengah persimpangan jalan, diantara lalu lalang problematika hubungan suami-istri dan keinginan-keinginan yang selama ini hanya terpendam di hati. Liz memang pada akhirnya menemukan sosok pria pengganti dalam diri David (James Franco), melupakan sejenak bahwa dia masih terluka dan mencoba menikmati “pelarian”-nya. Tapi pada akhirnya hubungan keduanya gagal, Liz pun lelah berlari di jalan yang sama. Kini tiba waktunya untuk Liz mengambil rute yang berbeda, mengambil keputusan yang mungkin seharusnya dia ambil dari awal. Satu-satunya yang dia inginkan sekarang adalah keliling dunia selama satu tahun dan berharap bisa menemukan potongan “puzzle” dirinya yang hilang. Apakah Liz akan menemukan kembali arti nikmatnya hidup diantara kelezatan pasta Italia terutama menu-menu pizza mozeralla di Napoli? Apakah perjalanannya ke India akan menyalakan lagi cahaya dalam dirinya, mempertemukannya dengan kekuatan sebuah doa sekaligus memaafkan dirinya sendiri? Apakah Liz bisa menyembuhkan “luka” di Bali?

Eat, Pray, Love yang diadaptasi dari memoir laris karya Elizabeth Gilbert ini akan sangat melelahkan, tidak hanya karena perjalanan panjang yang ditempuh Liz ke berbagai kota berbeda untuk menemukan kembali kehidupannya, tapi juga karena ditambah perjalanan tersebut berdurasi 2 jam lebih. Saya tidak akan mempermasalahkan durasi yang panjang ini jika memang filmnya sendiri berhasil mengisi setiap menitnya dengan menarik. Lalu film ini ternyata membawa saya ke rute perjalanan yang bisa dibilang membosankan dan membuat saya merasakan begitu lama berada di bioskop dan menyesali tidak membeli popcorn lebih banyak. Ryan Murphy yang sebelumnya membesut film “Running with Scissors” di tahun 2006 lalu dan sempat terlibat menyutradarai serial televisi “Glee” ini, tampil meyakinkan ketika bersiap bergegas terbang ke Italia, India, dan Indonesia. Saya akan dihadapkan oleh berbagai masalah yang hinggap dalam kehidupan Liz, terutama suasana hatinya dan Ryan sanggup mengemas fase pembuka dengan cukup baik, hingga akhirnya penonton termasuk saya diijinkan untuk menaruh simpati pada “mangkuk kosong” yang sengaja disiapkan untuk Liz.

Oke, kita sampai di Italia, tempat kelahiran pizza, Ryan layaknya seorang pemandu wisata (lebih tepatnya wisata kuliner) masih sanggup mengarahkan penonton ke berbagai momen menarik. Disinilah kata “Eat” (dari judul film) dijabarkan dengan begitu baik, lebih tepatnya sangat menggoda. Disini Liz mengobati rasa rindunya dengan makanan-makanan yang dia sukai, melepas rasa takut melihat angka di timbangan dan menyuapi ambisinya dengan makan banyak dan sekenyangnya. Pada saat Liz mulai menemukan arti dari bagaimana menikmati hidup yang sebenarnya, masih ditemani makanan lezat (yang memang terlihat seperti itu) dan teman-teman baru, saya mulai merasa kelaparan karena film ini pintar sekali memancing lapar dengan pengambilan gambar yang memanjakan lidah (walau kita tidak benar-benar mencicipi makanan-makanan tersebut). Kota Roma pun membuat saya betah dengan lanskap-lanskapnya yang berhasil ditangkap dengan baik di film ini, mengeluarkan aura keindahan yang sesungguhnya, sayangnya saya buru-buru terpaksa meninggalkan Italia karena Liz harus pergi ke India.

India tidak hanya menjadi tempat bagi Liz untuk menemukan keseimbangan dalam hidup dengan memanfaatkan kekuatan berdoa, tapi juga momen pembuktian bagi Ryan apakah dia masih sanggup menjabarkan kata “Pray” semenarik dia mengolah kata sebelumnya. Oh sayangnya disinilah dia mulai terlihat kelelahan ketika Liz mulai memaafkan dirinya dan memperlihatkan kekuatan hidup yang selama ini hilang. Ryan seperti tidak lagi bisa memandu penontonnya untuk menikmati jalan cerita karena terlalu banyak momen yang membosankan. Satu-satunya yang bisa menghindari saya dari bosan adalah akting dari Richard Jenkins, porsinya memang sebentar tetapi justru lebih menyita perhatian, bahkan dari dominasi Julia yang dari awal menampilkan kualitas akting yang turun naik seperti halnya suasana hatinya yang tidak menentu. Ketika James Franco hanya numpang lewat di awal-awal, Richard Jenkins adalah jawaban film ini dari doa saya yang mengharapkan ada pemain yang bisa menghibur dengan aktingnya. Richard sanggup mencairkan hati Liz sekaligus “memecah” kebosanan saya lewat kelucuannya dalam melihat kehidupan.

Chemistry Richard dan Julia disini terjalin dengan baik, mengingatkan saya ketika Julia menjalin “hubungan” dengan makanan di Italia. Sayangnya rasa yang sama tidak terasa pada saat Julia (Liz) tiba di Bali, chemistry tersebut lenyap begitu saja ketika dia bertemu dengan Javier Bardem yang bermain sebagai Felipe. Kata terakhir “Love” pun tidak tersampaikan dengan sempurna, parahnya Javier Bardem berlakon kaku disini. Beruntung ketika akting makin payah dan jalan cerita makin terlunta, Bali masih tetap terlihat indah walau tidak ditangkap kamera semeriah kota Roma. Pulau yang terkenal dengan sebutan pulau Dewata ini pun sanggup memaksa saya dengan lembut untuk tetap betah dalam bioskop. Apalagi rasa betah itu makin terasa ketika Christine Hakim dan Hadi Subiyanto muncul dan menampilkan porsi akting yang maksimal walau hanya sebentar saja. Hadi Subiyanto yang berperan sebagai Ketut, sang “yoda” bagi Liz, tampil sangat lucu dan sukses membuat saya beberapa kali tertawa. Eat, Pray, Love akhirnya hanya menjadi kisah percintaan berujung membosankan tapi pesan-pesan kehidupannya memang sangat positip dan sayang untuk tidak dipetik maknanya.