Never Surrender never back down

Gordon Chan mungkin punya niat baik awalnya, dengan menawarkan kita film adaptasi game laga yang tidak hanya menjual adegan pertarungan sampai mati, tapi juga dibumbui dengan kedalaman cerita dan konflik antar karakter. Namun “The King of Fighters” tak menyadari bahwa sebelum mereka muncul, “Tekken” sudah lebih dahulu tergiur dengan formula yang sama, tapi pada akhirnya film Dwight H. Little tersebut justru menerima kekalahan telak karena termakan ceritanya yang omong kosong dan adegan perkelahian yang tidak perlu ditanyakan lagi betapa buruk kemasannya. “Tekken” dan film-film adaptasi lain yang sebelumnya bermunculan sepertinya terlalu asyik mengarang cerita yang berlebihan dan tidak masuk diakal (hanya untuk  hasrat memenuhi durasi film). Fatalnya, film-film yang berakhir K.O seperti “Tekken”, seringkali melupakan elemen-elemen penting dari gamenya sendiri ke dalam film. Bermodalkan judul game terkenal, karakter-karakter yang juga sering dimainkan (dan juga dimainkan oleh aktor/aktris yang tidak cocok sama sekali), apakah “The King of Fighters” sukses menjadi “King”?

Film ini dibuka dengan adegan perkelahian antara Mai Shiranui (Maggie Q) dengan seorang pria yang menantangnya di arena pertarungan dimensi lain, yah dimensi lain! dengan berbekal alat canggih berupa earphone (jangan tanya saya bagaimana mereka melakukannya) para petarung bisa menantang lawannya dan bertarung di lokasi yang diinginkan bukan disini, tidak di dunia nyata. Mai tentu saja diceritakan menang dan kita mulai akan disiksa dengan ceritanya yang berkembang menjadi mitos bercampur elemen fiksi ilmiah. Tiga klan yaitu Kusanagi, Yagami, dan Kagura diceritakan mewarisi sebuah rahasia mengenai dimensi lain yang bisa dikunjungi lewat ketiga buah “barang antik”. Sebuah pedang samurai, kalung, dan kaca yang dijaga oleh masing-masing penerus klan. Berkat teknologi, siapa saja yang ingin datang ke dimensi tersebut sekarang hanya perlu memakai earphone dan abrakadabra! mereka pindah ke tempat lain tentu saja lengkap dengan kostum yang berbeda. Dimensi ini dijadikan arena pertarungan yang merebutkan gelar prestisius “The King of Fighters”, di dimensi yang sama bersembunyi juga sebuah kekuatan jahat bernama Orochi, yang menawarkan kekuatan tak terbatas bagi siapa saja.

Syarat untuk mendapatkan kekuatan Orochi sangat mudah, dia hanya perlu membebaskan Orochi yang “dikurung” oleh ketiga klan di dimensi lain tersebut. Salah satu yang tergiur oleh kekuatan ini adalah Rugal (Ray Park), seorang petarung licik yang terobsesi ingin menjadi King of Fighters dengan cara apapun, termasuk dengan mencuri tiga benda sakti untuk meluruskan jalannya membebaskan Orochi. Mai dibantu dengan Iori Yagami (Will Yun Lee) Kyo Kusanagi (Sean Faris) Chizuru Kagura (Françoise Yip), dan juga seorang agen CIA Terry Bogard (David Leitch) akan bahu membahu untuk menghentikan Rugal mendapatkan kekuatan tersebut dan membebaskan Orochi. Ketika pihak protagonis yang dipimpin oleh Mai dan Iori terlihat bersusah payah mengalahkan Rugal yang superior di dimensi lain. Saya juga dipaksa ikut bersusah payah untuk mencerna maksud dan cerita sebenarnya yang ditawarkan Gordon di film ini, sudah “kusut” dipaksakan berantakan.

Jika Rugal sangat terobsesi dengan kekuatan, film ini terlihat jelas terobsesi untuk tampil berbobot namun tersandung dengan cerita yang dikarang tidak jelas mau dibawa kemana, ditambah dengan esekusi Gordon yang tampak kesulitan memvisualisasikannya. Hasilnya saya sebagai penonton hanya menjadi korban ketamakan orang-orang yang percaya diri mereka bisa mengadaptasi sebuah game terkenal dan mengerti apa yang diinginkan oleh calon penontonnya. “The King of Fighters” sudah sepantasnya mengubah judul, bukan lagi raja petarung tapi raja bosan, karena film ini lebih hebat mengisi slot durasi selama 90 menit dengan adegan-adegan tidak jelas dan membosankan ketimbang memancing tempuk tangan penonton dengan adegan laga. Bisa dibilang selama 60 menit kita hanya akan disajikan adegan pemanasan tanpa adegan perkelahian satu lawan satu, sebaliknya sebagai gantinya film ini menawarkan jalan cerita yang dangkal namun diperlihatkan seolah-olah rumit dengan perkenalan satu persatu karakternya yang mudah dilupakan. Belum cukup mengganggu penontonnya dengan setumpuk masalah yang terpaksa ada, Rugal dan rencana jahatnya, dimensi “parallel universe” yang terancam menyatu dengan dunia asli, lalu seenaknya film ini ingin menambahkan intrik instan berupa cinta segitiga.

Beruntung film ini tidak mengikuti egonya untuk merubah jalan ceritanya menjadi makin aneh dengan romansa, tapi walaupun begitu tetap saja tidak menyelamatkan film ini dari kekalahan telak di akhir pertandingan. Adegan laga penuh perkelahian yang seharusnya menjadi daya jual film ini—selain porsinya yang sudah dikurangi karena Gordon terlalu sibuk mengemas pernak-pernik tidak penting diluarnya—tampil seadanya, lagi-lagi tidak digarap dengan maksimal. Muncul sedikit-sedikit diawal, adegan pertarungannya ternyata memang disiapkan sebagai penutup di 30 menit terakhir, namun tidak banyak membantu karena penonton sudah terlalu lelah menunggu. Pertarungan yang ditunggu-tunggu lama pun hanya tampil dengan koreografi yang kadaluarsa dengan olesan spesial efek bola-bola api yang sama sekali tidak membantu. Lengkap sudah “kejayaan” film ini ketika para pemainnya juga bermain “membosankan” dengan diberikan dialog-dialog panjang yang hanya membuat lelah telinga penonton yang mendengarkan, karena mereka hanya ingin mendengar suara tubuh terhempas ke tanah dan tulang-tulang diremukkan kepalan tinju. “The King of Fighters” beruntung masih mendapat kesempatan menjadi penantang untuk pertarungan film terburuk tahun ini dan hebatnya membuat “Tekken” terlihat lebih bagus…sedikit.