Banyak orang di Kauman yang jelas-jelas musyrik, menghianati agama dengan merobohkan langgar saya, kenapa saya yang dituduh kafir? ~ Ahmad Dahlan

Film biopik bisa dibilang tema yang jarang diangkat ke layar lebar, terlebih memfilmkan pahlawan nasional atau tokoh yang berpengaruh dari bangsa sendiri. Tercatat hanya ada beberapa film biopik yang pernah menorehkan tinta emasnya dalam sejarah sinema tanah air, diantaranya Raden Ajeng Kartini (1984) karya Sjuman Djaya, Tjoet Nja’ Dhien karya Eros Djarot di tahun 1988, Marsinah (2001) karya Slamet Rahardjo, terakhir Riri Riza sukses mengangkat nama Soe Hok Gie ke layar lebar lewat Gie di tahun 2005. Tahun ini pun sebenarnya kita memiliki film biopik, namun Obama Anak Menteng tidak bercerita tentang tokoh dalam negeri tetapi kisah hidup masa kecil Presiden Obama ketika tinggal di Indonesia (sebentar). Beruntung kita masih punya kisah inspiratif lain, film biopik lain yang akan memperkenalkan kepada kita siapa itu K.H Ahmad Dahlan. “Sang Pencerah” yang ditulis dan disutradarai oleh Hanung Bramantyo pun mencoba untuk tidak tampil sebagai film yang mewakili agama tertentu, tetapi dengan bijak sanggup merangkul siapa saja yang ingin mengenal sosok K.H Ahmad Dahlan, yah siapa pun anda…

Lahir dengan nama Muhammad Darwis, si kecil Ahmad Dahlan sudah menunjukkan sisi kepeduliannya dan kegelisahannya terhadap pelaksanaan agama Islam di Kauman yang dimatanya sedikit agak melenceng dari apa yang diajarkan. Anak dari Khatib Mesjid Besar Kesultanan Yogyakarta dan lahir pada 1 Agustus 1868 ini semakin menunjukkan sikapnya yang kritis terhadap agamanya sendiri ketika beranjak remaja, sampai-sampai Darwis “iseng” mencuri sesajen warga untuk dibagikan kepada fakir miskin. Darwis pun meninggalkan Kauman dan pergi haji ke Mekah sambil menuntut ilmu serta mendalami ajaran Islam. Sekembalinya dari Mekah, Darwis yang kini mengganti namanya menjadi Ahmad Dahlan, melihat Kauman yang ditinggalkan selama 5 tahun ternyata tidak banyak berubah termasuk ajaran Islam yang masih dicampur-adukan dengan kebudayaan mistis. Ditambah para pemuka agama yang masih “kolot” dalam menerima perubahan, menolak semua yang berkaitan dengan Belanda dan melabelinya dengan produk kafir.

Ahmad Dahlan dengan pemikirannya yang lebih luas, bijaksana, namun kadang terucap dengan sederhana ini berniat untuk meluruskan arti ajaran Islam yang sesungguhnya. Dia pun dipercaya menggantikan ayahnya menjadi Khatib Mesjib Besar Kauman dan mulai membangun surau di dekat rumahnya. Surau inilah yang akan menjadi pusat penyebaran pemikiran dan ajaran Dahlan. Mengubah sudut pandang ajaran Islam yang sudah tumbuh selama setengah abad di Kauman memang tidak semudah membalikkan telapak tangan, langkah kontroversial Dahlan ingin mengubah arah kiblat pun mengundang pertentangan dari penduduk Kauman dan tentu saja penolakan keras dari Kyai-Kyai disana. Ajarannya pun dianggap sesat dan berakhir dengan dirobohkannya surau miliknya. Sempat putus asa dengan reaksi saudaranya sesama muslim (memperlihatkan dia masih manusia biasa), di bantu dengan dukungan keluarga, Dahlan kembali bangkit dan meneruskan ajarannya demi kebaikan umat. Ahmad Dahlan yang sangat mementingkan pendidikan pun segera membangun sekolah, dia pun mengajar di sekolah Belanda dan mulai terlibat organisasi Budi Utomo. Reaksi keras pun kembali bertubi-tubi menghadangnya termasuk “gelar baru” kyai kafir yang diberikan kepada Dahlan.

“Sang Pencerah” bukan soal agama siapa yang benar atau salah tapi berbicara tentang perbaikan terhadap diri sendiri untuk agama. Saya jarang terbawa secara emosional saat menonton film Indonesia dan film ini dengan bijaksana dapat menuntun penontonnya untuk duduk bersama dengan Ahmad Dahlan tanpa terlihat ingin menggurui. Bertemakan film Islam, Hanung dengan cermat dapat menyingkirkan egonya dan melebarkan celah yang sebelumnya dibilang sempit menjadi selebar gerbang Mesjid Besar Kauman, yang akhirnya melahirkan sebuah film yang bisa ditonton semua orang, non-muslim sekalipun. Walau ini film bercirikan Islam tapi Hanung sanggup mengisi durasi 2 jam filmnya untuk seimbang, tidak melulu menangkap potret Islam itu sendiri, tapi berhasil juga memotret sosok Ahmad Dahlan dengan segala pemikiran dan inspirasinya yang terbalut dengan drama kehidupan yang saya kira bisa diterjemahkan dengan keyakinan manapun.

Saya tidak menyangka Hanung sanggup membalik banyak halaman sejarah, lalu dengan caranya berhasil memvisualisasikan rentang perjalanan hidup seorang Ahmad Dahlan dan dia melakukannya dengan baik. Walau sepertinya film ini terlalu banyak menjejalkan kita dengan potongan demi potongan sejarah tentang Ahmad Dahlan, tetapi pada akhirnya saya cukup betah mendengarkan cerita yang dibacakan oleh Hanung. Kejutan lain yang diberikan Hanung selain bagaimana dia sanggup membuat cerita yang mudah dinikmati, dia juga mengemas film ini dengan kualitas yang jarang dimunculkan untuk ukuran film Indonesia. Saya kembali menyebutkan kata “jarang” untuk kedua kalinya, kali ini untuk sebuah kualitas, karena Hanung berhasil memperlihatkan bagaimana film yang dibangun dengan pondasi cerita yang kokoh dapat berdiri cantik dengan sisi teknis yang manis. Lihatlah bagaimana kota Yogyakarta dan sekitarnya termasuk Kauman versi tahun 1800-an sanggup direka-ulang oleh film ini, berhasil menyatu dengan cerita dan penonton bisa seperti diajak kembali ke masa lalu. Tentu saja suasana masa lalu itu juga didukung oleh sinematografi yang apik menangkap setiap potret keadaan 100 tahun yang lalu, bersama dengan memotretkan setiap keindahan dari potongan sejarah Ahmad Dahlan.

Langkah Hanung untuk menyutradarai film yang ditulisnya sendiri merupakan langkah yang tepat, selanjutnya memilih Lukman Sardi untuk memerankan Ahmad Dahlan adalah langkah jitu berikutnya. Sosok pendiri Muhammadiyah tersebut seperti memang telah menunggu lama untuk diperankan oleh Lukman Sardi, dan aktor serba bisa ini berhasil memerankannya dengan meyakinkan. Dengan memikul tanggung jawab besar dan beban tidak ringan melakonkan pendiri Muhammadiyah tersebut, Lukman Sardi semakin memantapkan dirinya sebagai aktor terbaik yang dimiliki negeri ini. Pemain lainnya juga berhasil memaksimalkan porsi akting yang diberikan kepadanya. Termasuk para pemain muda seperti Giring, Dennis Adishwara, dan kawan-kawan, yang sukses memasukkan akting serius mereka divariasikan dengan humor-humor segar. Membawa film ini untuk tidak terus menerus tampil serius atau sedih tetapi juga ada kalanya sanggup memancing tawa penontonnya.

Jika dilihat dari sudut pandang lain “Sang Pencerah” terlihat jelas seperti sebuah cermin bergerak yang memantulkan bayangan atas apa yang tengah terjadi di masa sekarang. Dimana agama yang seharusnya menyatukan justru menjadi korban, dijadikan kambing hitam dan alat pemecah belah perdamaian. Terlepas dari apakah Hanung ingin mencoba mengingatkan bahwa 100 tahun silam “kekacauan” juga pernah terjadi, “Sang Pencerah” jelas lebih terasa seperti pengetuk hati. Ahmad Dahlan tidak hanya mengajarkan banyak nilai-nilai moral yang bermanfaat, tetapi lewat film ini kita juga diperkenalkan dengan kisah-kisah inspiratifnya yang mencerahkan. “Sang Pencerah” layaknya seorang guru yang pandai bermain biola (oh iya, iringan musik di film ini sangat indah!!) dan bercerita tetapi tidak memaksa muridnya untuk terasa digurui, serta menjadi panutan bagaimana seharusnya film Indonesia dibuat, yah kita bisa membuat film bagus jika memang mau. Wajib tonton!