Fight or die!

“Centurion” bersetting di tahun 117, pasukan Romawi ketika itu sedang berjuang untuk menguasai bangsa Picts, di dataran tinggi Skotlandia. Dibawah kepemimpinan Raja Picts, Gorlacon, pasukan Romawi terancam kehilangan wilayah perbatasannya satu-persatu, apalagi dengan kenyataan mereka lebih sukar dikalahkan dengan strategi gerilya mereka yang sempurna. Quintus Dias (Michael Fassbender) beruntung masih bisa selamat setelah penyerangan berdarah pasukan Picts ke perbatasan yang dijaganya bersama pasukan Romawi, walau pada akhirnya dijadikan sandera. Dias pun ditemukan oleh Etain (Olga Kurylenko) ketika sedang melarikan diri dari orang-orang Picts yang mengejarnya, dia pun diselamatkan oleh tentara Romawi. Etain sendiri adalah wanita tuna wicara, berasal dari Picts dan dipercaya menjadi “guide” legiun ke-9, karena keahliannya dalam melacak lokasi musuh dan bertarung dapat dimanfaatkan oleh Romawi.

Apa yang tidak diketahui dan disangka oleh pasukan legiun ke-9 dan jenderalnya Titus Flavius Virilus (Dominic West) adalah Etain ternyata terampil bersembunyi dalam bulu serigala. Dia memang serigala dengan seluruh indera yang bisa merasakan, melacak, dan mencium lokasi “mangsa” dari jarak jauh, dia juga menyimpan dendam kepada pasukan Romawi yang telah membunuh keluarganya. Pasukan legiun ke-9 yang sedang bergerak ke utara pun dijebak untuk masuk perangkap Etain, yang memang sudah bersekongkol dengan Gorlacon. Picts yang sebenarnya kalah jumlah namun diuntungkan dengan lokasi perangkap yang sempurna, akhirnya berhasil menghabisi 3000 tentara Romawi termasuk menangkap jenderal Titus. Dias sekali lagi masih dilindungi Dewi keberuntungan (atau bisa dibilang kebetulan) dan selamat dari pembantaian berdarah tersebut. Mengetahui bahwa Titus masih hidup dan ditangkap, Dias dan 6 orang lainnya berniat membebaskan jenderalnya tersebut dari tangan Picts, dengan kemungkinan mereka juga akan terbunuh.

Daya pikat film ini sebenarnya cukup untuk mengundang saya menghabiskan minuman dan popcorn di dalam bioskop, sambil memanjakan mata dengan lanskap pegunungan di Skotlandia yang indah. Lalu hadir nama Neil Marshall yang terkenal dengan film horor “The Descent”, saya berharap sutradara asal Inggris ini setidaknya bisa membuat versi berdarah (sekali) dari “Gladiator”-nya Ridley Scott yang maha epik itu. Nyatanya Neil memang sanggup menyiramkan bergalon-galon darah segar dan menyiapkan berkilo-kilo tubuh sintetis, untuk akhirnya dijadikan bahan mainan di filmnya. Dari awal saja, seperti anak-anak yang tidak sabar untuk bermain pasir, Neil dengan berani sudah menyajikan beberapa adegan sadis. Neil menjadikan paruh durasi film sebagai ajang pamer kesadisan dengan parade adegan-adegan yang begitu gory; ayunan pedang menebas kepala sampai putus, anak panah yang berhamburan mencari tubuh-tubuh yang lengah, cipratan darah yang tak ada habisnya. Adegan “perangkap”, bagi saya adalah momentum yang paling klasik di film ini, sebuah klimaks dari kesombongan Neil dengan adegan-adegan sadisnya yang memang sukses mencambuk adrenalin untuk kegirangan.

Cukup disesalkan, ketika banyak faktor yang seharusnya bisa dimanfaatkan oleh Neil, “Centurion” tidak lebih layaknya catatan harian seorang prajurit Romawi yang mudah untuk dilupakan, hilang terkubur ribuan mayat bersimbah darah. Daya pikatnya yang dari awal diharapkan bisa dikembangkan menjadi kisah epik-kolosal yang memuaskan, justru dihancurkan begitu saja dengan jalan cerita klise yang serba tanggung. Maunya kolosal tapi sepertinya terjebak kecilnya bujet, alhasil adegan peperangan terpaksa dipangkas dan ditutupi oleh adegan kucing-kucingan antara kelompok Dias dan Etain dengan pasukan Picts-nya. Neil tampak seperti anak kecil yang lelah bermain, ketika semua permainan telah dimainkan, dia tidak tahu lagi mau apa. Semua adegan paling seru sudah dihabiskan di setengah awal film ini, sudah saatnya Neil menyisakan penonton dengan adegan paling melelahkan dan membosankan. Kita akan diajak lomba lari bersama Dias, yang menarik Neil bisa sedikit menyorot keindahan pemandangan pegunungan dataran hijau, sisanya tak lebih dari adegan buang-buang waktu yang terus diulang sampai kita mati bosan.

Layaknya pasukan Romawi yang mudah dijebak oleh Etain, Film ini dan juga Neil juga mudah untuk “terjebak” dengan jalan cerita yang monoton, bergerak kesana-kemari tapi tetap berputar di tempat yang sama. Konflik yang menjanjikan pertarungan sengit antara Romawi vs. Picts dan Dias vs. Etain pun diselesaikan dengan cara yang tidak terhormat, dipaksakan untuk selesai dengan esekusi yang tidak mulus. Apalagi ditambah film ini mencoba untuk menambah-nambah konflik baru berisi penghianatan (lagi), yang hanya dijadikan adegan numpang lewat untuk memuluskan jalan Dias agar bisa “pulang” dan menutup film ini dengan cara khas Hollywood. Dari segi akting tidak ada yang menonjol, semua bermain biasa-biasa saja, kecuali mungkin daya pikat Olga Kurylenko di film ini memang lumayan kuat. Ditambah dengan karakternya yang seperti mesin perang tidak bersuara tapi sangat mematikan bagi musuh-musuhnya, sang bond-girl ini berubah dari seksi menjadi mengerikan (masih seksi sih dalam balutan kostum perang Picts). Dengan segala ekspektasi yang tertumpu pada “Centurion”, film ini tak lebih dari cerminan akan karakter Etain itu sendiri, lihai menggiring saya dengan awal yang menjanjikan untuk kelak malah menjebak saya dengan ceritanya dan “menyandera” saya sampai bosan.