There are reasons each of us are born. we have to find those reasons. ~ Uncle Iroh

Saya orang yang selalu membela “The Happening”, ketika kebanyakan orang mengolok-ngolok film tersebut. Sama halnya pada saat “Lady in the Water” tidak mendapat respon menyenangkan di tahun 2006 silam, saya masih bisa terhibur oleh cerita dari kedua film tersebut. M. Night Shyamalan tidak kehilangan ciri khasnya, dia masih mampu membawa penonton ke dalam dunianya yang penuh teka-teki membingungkan, fantasinya yang tak biasa masih sanggup menggiring saya ke ruang penuh pertanyaan, menggali lebih dalam rasa penasaran, dan secara bersamaan memacu jantung untuk berdetak lebih kencang. Itu yang masih saya bisa dapatkan di dua film terakhir yang sepertinya mayoritas tidak suka dengan filmnya karena tidak menerima ending yang ditawarkan oleh Shyamalan. Setuju atau tidak, yang pasti semua mungkin akan setuju jika saya menyebut “The Sixth Sense” adalah film terbaiknya dan kebanyakan dari mereka termasuk saya sepertinya rindu untuk bisa melihat sutradara narsis ini membuat film yang punya aroma lebih menggoda dari sekedar indera ke-enam. Apakah eksperimen iseng “The Last Airbender”-nya berhasil?

Saya bukan penggemar serial kartun Nickelodeon ini dan hanya sempat melirik beberapa episodnya secara tidak utuh. Jadi kemungkinan saya tidak akan mencoba membanding-bandingkan antara film dan kartunnya, tidak sah rasanya ketika ilmu “avatar” saya masih terlalu dangkal. Mari kita nikmati saja film ini, yang mengawali kisahnya dengan sebuah takdir. Pertemuan Katara (Nicola Peltz), seorang pengendali air, dan saudara laki-lakinya Sokka (Jackson Rathbone) yang berasal dari suku air di selatan, dengan seorang bocah laki-laki berusia 12 tahun yang belakangan diketahui bernama Aang (Noah Ringer). Lalu mereka pun kembali ke desa pengendali air, di tempat tinggal Katara tersebut Aang justru akhirnya berhasil ditangkap oleh pasukan negara api, yang dipimpin oleh Pangeran Zuko (Dev Patel). Zuko sendiri punya kisahnya sendiri, dia diasingkan oleh ayahnya, penguasa negara api bernama Lord Ozai, dan terpaksa berpetualangan bersama pamannya untuk mencari seorang avatar yang akan menjadi “tiket” Zuko untuk bisa pulang ke negaranya.

Zuko akhirnya berhasil bertemu dengan avatar tersebut melalui sosok Aang—reinkarnasi avatar dipercaya bisa mengendalikan ke-empat elemen (udara, air, tanah, dan api)—tapi dengan mudah dia juga kehilangan tangkapannya tersebut. Aang melarikan diri dari Zuko dan kembali bersatu dengan Katara dan Sokka. Mereka pun berkunjung ke sebuah kuil pengendali udara di selatan, dimana disinilah dahulu Aang tinggal dan mempelajari ilmu mengendalikan udara bersama para biksu. Namun sekarang Aang hanya bisa menemukan kesunyian dan kematian di kuil tersebut, karena sebenarnya Aang sudah “tertidur” selama 100 tahun di dalam sebuah es, sampai akhirnya Katara menemukannya. Para biksu sudah tiada, dibantai habis oleh negara api yang rakus akan kekuasaan sampai mendeklarasikan perang dengan negara-negara ketiga elemen lainnya. Tidak terima akan hal ini, Aang pun mulai melakukan pemberontakan terhadap negara api dibantu dengan teman-temannya. Tapi untuk bisa mengalahkan negara api, Aang harus melawan dirinya sendiri, mencoba untuk menghilangkan ketakutannya, dan mempercayai dirinya adalah seorang avatar.

Sulit sekali memaksa diri saya menyukai film ini, dikala “The Last Airbender” mampu dengan apik mengendalikan elemen visual efek, film ini sepertinya lupa mengendalikan penontonnya sendiri. Shyamalan pun dirasa gagal membuat saya “betah” dari awal film, saya sudah merasa aneh melihat cerita yang lompat-lompat tidak jelas, diperparah dengan akting pemainnya yang sama sekali tidak mendukung. Aang yang diceritakan terkurung selama 100 tahun dalam es, tidak hanya terlihat bodoh ketika baru saja bangun dari tidur panjangnya, Noah Ringer juga sepertinya tidak sadar bahwa dia sedang berakting buruk. Memikul beban sebagai tokoh utama yang notabennya berasal dari kartun yang sudah punya basis penggemar sendiri, Noah seharusnya bisa mewakili bayangan para penonton kartunnya akan karakter Aang yang jenaka dan ceria. Tapi karakternya yang dibuat agak suram justru gagal menggiring saya untuk bisa bergabung dalam kesedihannya dan saya semakin jauh dari kesan simpatik dengannya.

Semua yang berkaitan dengan sang avatar ini sudah salah persepsi, Aang seharusnya bisa menginspirasi penonton dengan aksi kepahlawanannya, tapi gagal ketika lagi-lagi dirinya harus berhadapan dengan hal-hal berbau “cengeng”. Karakternya plin-plan dan sepertinya setiap keputusannya bukan berasal dari keinginannya sendiri melainkan perintah ini-itu dari orang lain. Ditambah parah ketika dia sering sekali terjatuh di lubang yang sama, yah Aang benar-benar dibuat sebagai pemuda labil dan bodoh di film ini. Entah apa yang ada dipikiran Shyamalan ketika memutuskan untuk menyutradarai “The Last Airbender” dan mengemasnya menjadi tontonan membosankan selama 103 menit. Film ini adalah film musim panas yang paling anti-komedi, padahal jika melihat kartunnya, saya masih ingat Aang terlebih Sokka adalah duo komedian yang mahir membuat lelucon. Tapi di film ini, Shyamalan justru menciptakan dua karakter ini jauh dari kesan lucu, termasuk Aang yang terus saja merasa sedih dan murung sepanjang film (yah sampai akhir film dengan gaya menahan sakit perutnya). Apakah Shyamalan memang tidak punya selera humor?

“The Last Airbender”, seperti yang saya sebut di awal adalah pengendali yang apik saat berurusan dengan elemen visual efek. Tapi itu pun dengan efek yang biasa saja menurut saya, bahkan efeknya lebih terasa “wah” di trailer ketimbang di filmnya sendiri. Trailer sepertinya sudah mengungkap semua hal yang menyenangkan di film ini dan berhasil dengan misinya menyembunyikan kebusukan film ini. Alhasil ketika tiba saatnya untuk menonton, saya hanya disisakan adegan-adegan membosankan. Visual efek dan setting lanskap dunia avatar memang diciptakan sedemikian rupa dalam upayanya memanjakan mata penonton, tapi sayang tidak menyelamatkan film ini dari bencana. Semua yang ada hubungannya dengan efek bola-bola api hanya sekedar aksesoris belaka dan tampaknya hanya numpang lewat, dipamerkan dengan ala kadarnya lalu saya sudah melupakannya 5 detik kemudian. Dengan ending yang menggantung, sudah dipastikan film ini memang akan akan punya sekuel (rencanannya akan dibuat trilogi). Walau film ini tidak rugi, tetap saja hasilnya tidak memuaskan, Shyamalan ada baiknya berkemas meninggalkan dunia para pengendali empat elemen ini dan jangan lupa masukkan kembali Aang kedalam es.