Vengeance is ruthless!

“Rampage” bisa saja lolos dari radar film-film wajib nonton, bukan karena disitu tertera nama sutradara (mungkin) paling dibenci di planet bumi—sampai ada petisi online yang mendesak sutradara asal Jerman ini untuk berhenti membuat film—tetapi justru karena saya semata-mata memang tidak lagi peduli dengan film Uwe Boll, sejak dia membuat “Alone in The Dark” yang berantakan dan film zombie yang judulnya lebih baik dihapus dan diganti “House of Sh*t”. Tapi takdir berkata lain, saya mulai mendengar desas-desus kalau kali ini Boll membuat film yang bagus, dalam artian film yang sanggup menutup track record-nya yang buruk. Alhasil, saya mulai menuliskan judul film ini dengan huruf kapital di daftar “belanjaan” saya berikutnya. Beruntung belum ada orang nekat-super-kaya yang mengirim Boll ke planet mars atau tidak ada kelompok rahasia bawah tanah yang menculiknya dan mencuci otaknya, jadi saya bisa menonton keajaiban Boll ini.

Jangan salah sangka dengan judulnya karena ini bukan film spin off dari “Transformers” dengan tokoh utama robot bernama Rampage, yang dibuat oleh Boll untuk menantang Michael Bay. Boll memang sutradara spesialis film-film yang diadaptasi dari game yang sayangnya berakhir dengan buruk, tapi film tahun 2009 ini juga bukan film adaptasi dari game tentang monster yang memporak-porandakan kota itu. Game yang memungkinkan kita untuk bisa mengendalikan monster untuk menghancurkan gedung satu-persatu dan memakan orang-orang yang muncul di jendela (entah seperti apa jika game ini diadaptasi oleh Boll, mungkin salah satu monsternya berwajah seperti dia). Alih-alih mengadaptasi cerita dari game atau apapun itu, Boll berpikir kenapa tidak dia menciptakan film dengan cerita yang dia tulis sendiri, maka lahirlah film ini. Lewat film berdurasi 85 menit, Boll melahirkan tokoh bernama Bill (Brendan Fletcher), pemuda berusia 20 tahunan yang bisa dibilang biasa saja, masih tinggal dengan orang tua, dan bekerja di sebuah bengkel.

Lalu apa yang luar biasa dari Bill yang biasa-biasa ini, dia tidak terkena gigitan laba-laba, tidak juga punya keinginan untuk sok pahlawan dengan mengenakan kostum yang dibeli dari internet. Lagipula ini bukanlah film superhero, Bill hanya punya masalah dengan kehidupannya, Orang tuanya ingin Bill pergi dari rumah karena merasa dia sudah besar dan saatnya anak satu-satunya tersebut untuk mandiri. Pekerjaannya sebagai mekanik di sebuah bengkel hanya menghasilkan beberapa dolar saja. Tapi alasan sebenarnya yang memicu Bill untuk melakukan balas dendam terkeji yang pernah ada disini bukanlah dari orang tua dan pekerjaan, melainkan kopi dan ayam goreng di restoran makanan cepat saji. Siapa yang tidak kesal ketika pesanan kopinya tidak sesuai dengan yang dipesan, begitu pula dengan Bill, dia marah dan meminta uangnya kembali karena kopinya tidak berbusa banyak seperti saat dia membuatnya sendiri dengan campuran deterjen. Hatinya ditambah kisruh ketika makan siangnya berantakan karena disenggol seorang pelayan.

Akumulasi kekesalan Bill (lebay juga nih si bill) yang memuncak akhirnya bermutasi jadi sebuah rencana paling gila yang pernah saya bayangkan, Bill memakai kostum yang dia buat sendiri dari bahan kevlar, yang biasa dipakai polisi untuk jaket anti peluru. Apakah Bill ingin menjadi seorang superhero dan membela kebenaran? saya kan sudah bilang, ini bukan film jagoan kesiangan. Lagipula jika film ini memang bertema heroik, Uwe Boll pasti sudah mendaftarkan namanya di filmnya sendiri. Bill dengan kostum dan bersenjata lengkap pun melaju ke pusat kota, disana dia meledakkan kantor polisi dan mulai buang-buang peluru ke arah orang-orang yang tidak bersalah secara random (wtf). “Rampage” benar-benar mengingatkan saya kepada game Grand Theft Auto, hiburan saya satu-satunya di permainan tersebut bukan misi-misi yang sudah disiapkan tetapi justru pada saat saya dengan asyiknya menembak ke kerumunan orang yang berjalan, meledakkan mobil yang lalu lalang di jalan dengan granat dan pelontar roket, atau menjalankan tank (kalau tidak salah ini pake cara curang yah…hahaha) lalu mulai meledakkan apa saja.

Dokter Boll seperti sedang mencurahkan isi hatinya di film ini, kemarahannya kepada isu-isu politik, ekonomi, dan mungkin punya pengalaman pahit berkaitan dengan restoran waralaba makanan cepat saji Amerika atau kopi tidak enak yang setiap hari dia minum selama syuting, ditumpahkan semua ke dalam film ini, bercampur dengan dendam yang berasal dari orang-orang yang selalu mengkritisi film-filmnya. Boll biasanya meluapkan kemarahannya dengan menantang tinju orang-orang yang dia benci (lebih tepatnya sukses membuat dia ngiri), termasuk menantang Michael Bay dan Quentin Tarantino. Mungkin dia sadar ternyata di dunia tinju dirinya sulit untuk terkenal, kecuali dia berani menantang Mike Tyson, oleh karena itu dia balik membuat film (sial), tapi ternyata hasilnya malah lebih baik dari perkiraan (mantap dokter). Boll membuat film pembunuhan massal yang sulit untuk saya tidak menyukainya, walau selalu merasa bersalah ketika saya terhibur dan tertawa geli melihat Bill menembaki orang-orang yang tidak bersalah. Satu sisi saya terhibur, di sisi lainnya saya berharap semoga tidak ada yang terinspirasi dari film ini dan menjadi Eric Harris dan Dylan Klebold kedua.

Kekerasan brutal membabi-buta yang terkadang terlalu konyol ini—bayangkan sebuah mobil berisi bahan peledak yang dikendalikan remote control oleh Bill lalu ditabrakkan ke kantor polisi dan berhasil menciptakan ledakan yang melebihi adegan yang bisa dibuat oleh master ledakan Michael Bay—dan segala hal tidak masuk akal lainnya ternyata tidak selalu jadi fokus sutradara asal Jerman ini. Boll juga berhasil menyelipkan adegan-adegan menarik yang kadang membuat saya ikut terlibat secara emosi, tidak hanya berteriak puas ketika Bill berhasil mengumpulkan nilai tertinggi untuk kebrutalan. Adegan di salon atau ruangan penuh opa-opa dan oma-oma yang sedang bermain bingo seperti misi tersusah dalam sebuah game, dimana saya harus memilih, tombol A membunuh mereka semua, atau tombol B keluar dan mencari tukang kopi yang menyebalkan. Boll sukses mengemas adegan tersebut dengan level ketegangan yang pas dan meninggalkan saya untuk bertanya-tanya dengan tindakan Bill selanjutnya.

Boll dan Bill, kenapa saya jadi rancu sendiri dengan nama-nama ini. Walau terganggu dengan keseluruhan gaya realistis yang disajikan Boll dengan kamera handheld-nya di film ini, karena terlalu berlebihan menurut saya. Ditambah dengan editing yang terlihat kurang rapih disana-sini, “Rampage” telah menjadi bukti jika seseorang serius dalam membuat film dan sedikit mengikutsertakan hati (saya hanya mencoba berpikiran positip untuk Boll), hasilnya justru tidak terlalu buruk dan malah bisa dinikmati. Urusan teknis sepertinya bisa diperbaiki Boll di film selanjutnya, semoga dia memang sedang sadar ketika membuat film ini dan bisa menciptakan karya-karya yang sanggup memperbaiki reputasinya. Pertanyaannya sekarang apakah kkd akhirnya bisa mengekor jejak Boll dengan membuat film yang bisa disebut film, urusan bagus tidaknya itu nomor kesekian……………..sepertinya nga’ mungkin.