The piranha hunt in packs. The first bite draws blood, blood draws the pack. ~ Mr. Goodman

Piranha mungkin akan terlihat seperti film-film murahan kelas B yang biasanya dianak-tirikan, diselipkan paling bawah atau dijauhkan dari koleksi dvd-dvd favorit, dilupakan, berdebu, dan berjamur. Kesan seperti itulah yang ditinggalkan ketika melihat tampilan luar film yang dengan percaya diri ikut bertarung di arena mematikan blockbuster musim panas. Tapi siapa sangka film ini menyimpan kejutan menarik dalam kemasannya yang tidak terlalu mewah, lalu berhasil menampar bolak-balik ekspektasi saya yang dari awal memang sengaja direndahkan. Saya pikir walaupun ekspektasi saya tinggipun, film ini tetap akan berhasil meludahkan ekspektasi saya tersebut. Alexandre Aja sepertinya akan punya status baru, sebagai sutradara spesialis film horor remake. Setelah mendaur-ulang film klasik 1977 “The Hills Have Eyes” lalu film Korea Selatan “Into The Mirrors” pada tahun 2008 dengan judul baru “Mirrors”, kini sutradara “Splat Pack” tersebut mencoba menghidupkan kembali teror horor bawah air yang dipopulerkan oleh “Jaws”. Namun bukan me-remake film tentang hiu pemakan manusia melainkan ribuan ikan pembunuh bergigi tajam,“Piranha” (1978).

Berpopulasi hanya 5000 orang, Lake Victoria adalah kota yang sepi sepanjang tahun, tapi pada saat musim panas datang, populasinya bertambah berpuluh kali lipat menjadi 50.000 orang. Puluhan ribu anak-anak muda haus pesta mendadak menginvasi kota tersebut dan sukses membuat air danaunya terasa beda karena sudah tercampur dengan bergalon-galon alkohol. Hentakan musik rap, dance, hip-hop dan RnB siap mengubah danau Victoria menjadi lantai dansa, semua orang terhipnotis untuk tidak berhenti bergoyang, termasuk gadis-gadis berbikini yang menyulap perahu-perahu kecil tak ubahnya seperti meja-meja bar tempat mereka berdansa. Tapi ada yang berbeda dengan musim panas kali ini, mereka tidak menyadari ada tamu spesial tidak diundang yang akan memeriahkan pesta tersebut. Piranha-piranha ganas, bergigi tajam yang kelaparan berhasil bebas dari kurungannya selama berjuta-juta tahun. Berkat gempa yang menghantam dasar laut, ribuan piranha ini sekarang siap memulai perburuannya dilengkapi kelebihan bisa mencium bau darah dari jarak sangat jauh, kecepatan seperti torpedo kapal selam, dan gigi-gigi yang sudah terasah sangat tajam layaknya pedang samurai. Pesta di Lake Victoria baru saja akan dimulai…

Setelah “Mirrors” yang mengejutkan sekaligus mengecewakan, “Piranha” seperti tiket Alexandre Aja untuk kembali duduk di deretan sutradara horor yang patut diperhitungkan dan ditunggu film-filmnya. Film ini seperti mengembalikan kejutan yang diberikan Aja di adegan bathtub yang mengerikan itu (Mirrors) dan menambahkan berkali-lipat ketakutan yang berasal dari teror orang-orang pesakitan-mutasi-nuklir (The Hills Have Eyes), tidak cukup sampai disitu Aja seperti meraciknya jadi satu bersama bumbu ketakutan orang yang phobia terhadap air. Hasilnya ditempatkan di loyang bertuliskan “Aja membuat film Titanic versi horor”. Saya berlebihan? tentu saja tidak, karena film ini memiliki hiburan yang lebih “berlebihan” dari deskripsi saya yang dangkal tersebut. Hiburan yang benar-benar memanjakan adrenalin dan menyegarkan mata para “grupis” horor.

“Piranha” yang rilis di Indonesia memang jadi seperti pembunuh yang lupa mengasah goloknya, karena guntingan badan sensor yang membuat gigi piranha terlihat lebih rapih. Banyak adegan “pelengkap” yang terpaksa terbuang, tapi beruntung kesadisannya tetap dibiarkan tak terusik dan sepertinya memang tidak dikurangi. Tapi tetap saja menonton film yang penuh guntingan sana-sini mengurangi kenikmatan menonton. Saya singkirkan dahulu kekesalan saya kepada institusi yang satu itu, karena ribuan piranha lebih menarik perhatian saya sebagai atraksi utama di film ini. Kulit yang terkelupas dari kepala, daging yang berceceran, tubuh-tubuh manusia yang terpisah menjadi dua, isi perut dan tulang yang saling tumpang-tindih, belum lagi bergalon-galon darah, adalah hidangan lezat yang akan ditawarkan oleh Aja. Oh Tuhan, piranha-piranha tersebut memang tahu bagaimana menghibur penontonnya, setiap gigitannya saya sambut dengan teriakan, setiap manusia yang dihabisi akan membuat saya ketagihan untuk meminta lebih. Aja seperti mengajak kita menaiki speedboat dengan kecepatan tinggi, dengan tempo ketegangan yang diatur baik, alhasil kita tidak ingin berhenti walaupun wajah ini sudah penuh dengan darah.

Ketika Aja berhasil mengejutkan dengan pesta gore yang melibatkan ribuan orang saling berteriak, kehabisan darah, kehilangan bagian tubuhnya, dan banyak mayat terapung. Dia juga sukses “menceburkan” para pemainnya untuk bermain semaksimal mungkin, kejutan kedua Aja adalah akting pemainnya yang ikut-ikutan tidak murahan. Sebaliknya Sherif Julie yang diperankan oleh Elisabeth Shue tampil gemilang menjadi heroine yang dengan berani menantang piranha-piranha pembunuh ini. Bahkan Adam Scott yang lebih familiar bermain di tema komedi, sekarang harus rela basah dan beraksi setangguh-tangguhnya di film ini. Ving Rhames yang paling bad-ass disini selain piranha-piranha itu tentunya, dia seperti pemandu sorak (minus pom pom) yang mengajak saya untuk bersorak untuknya setiap kali dia berkata kasar atau membunuh piranha. Kelly Brook dan Riley Steele juga bisa “berakting” dengan cara mereka sendiri, Aja pun memberikan mereka berdua porsi istimewa yang sayangnya dirusak oleh sensor (thanks!). Hey jangan lupakan kehadiran Christopher Lloyd sebagai Emmet…maksud saya dokter Goodman sang ahli ikan piranha purba. Richard Dreyfuss yang tampil sebentar memerankan peran yang sama dari “Jaws” lalu tentu saja Eli Roth yang beruntung bisa ditemani wanita-wanita seksi.

“Piranha” sebenarnya adalah film horor yang sangat mudah untuk dinikmati, karena Aja mengemasnya untuk tidak dipaksakan menjadi film kelas A, untuk apa dipaksakan? jika dia bisa membuat film B yang berkelas dan lebih menggigit dari remake Platinum Dunes. Walau dengan spesial efek dari CGI yang kurang mulus, apalagi ketika menyorot banyak ikan piranha yang sedang membunuh dalam air, tapi kekurangan tersebut tidak sedikitpun mengurangi betapa istimewanya film ini. Aja pun menyadari kekurangannya dan adegan pembunuhan massal oleh piranha tidak diberi porsi banyak, jadi dia bisa fokus memberi ketegangan di permukaan air dengan se-efektif mungkin memperlihatkan betapa asyiknya piranha-piranha tersebut sibuk menyantap daging manusia di bawah air. Kekurangan Aja pada segi piranha hasil rekayasa komputer justru menjadi kelebihannya (jika dilihat dari sudut pandang lain) karena berhasil menambah “citarasa” film murahan dan mengajak saya kembali seperti menonton film-film horor klasik. Saya tidak mempermasalahkan 3D yang terbuang dari film ini tapi jika saja film ini tampil “telanjang” tanpa sensor mungkin saya akan memberikannya nilai sempurna.