What he did for living, now he is doing for life!

Saya bingung mau mulai darimana, saya tidak akan bilang film ini bukan untuk semua orang, hey film seperti ini juga hak semua orang untuk menontonnya. Perbedaaanya pada setiap penonton hanya terletak pada imbasnya ketika penonton keluar setelah menonton, muntah, kejang-kejang, panas dingin, mencaci maki atau justru memuji-muji. “Srpski Film” atau “Serbian Film” adalah jenis film yang tidak hanya beraliran ektrim, tapi juga menghasilkan efek samping yang tak kalah ektrim. Sebuah “siksaan” yang memang harus dirasakan sendiri baru kita bisa menikmatinya (apakah kata nikmat itu akan relevan untuk disebut-sebut di film ini, silahkan menilainya sendiri), sebuah tontonan yang harus kita lihat sendiri baru bisa bilang “hey Srdjan Spasojevic! lo bener-bener sakit! anjing!”. Apa saya berkata kasar? tidak itu adalah salah-satu dari bentuk pujian untuk film ini, sebuah sopan-santun dari sekian banyak kosakata normal yang terkecap dari lidah, bercampur dengan getir-nya saliva. Orang-orang Serbia ini kok bisa-bisanya bikin film yang efeknya membuat saya tidak bisa ereksi di pagi hari, separah itukah imbasnya pada “my brother”.

Mungkin banyak yang mengira saya hanya membual, seperti biasanya terlalu “overrated” (saya sendiri tidak tahu apa artinya) jika bercerita diblog ini, tapi untuk meyakinkan apa yang saya tonton itu memang seperti apa yang saya ceritakan, sekali lagi ini adalah film yang harus anda tonton sendiri. Jarang sekali saya bisa “disentuh” dengan film sejenis ini, biasanya saya hanya berteriak-teriak dengan barbar, menyoraki sang pencabut nyawa untuk cepat datang dan membawa bergalon-galon darah. Film-film sejenis “Saw” masuk kategori itu, film yang membuat saya “fun” dan berteriak-teriak kosong tanpa punya rasa simpatik sedikitpun pada korban-korban yang mati termutilasi. Saya seperti seorang gadis pemandu sorak elektronik yang berteriak-teriak kegirangan, namun tetap saja digerakkan oleh mesin…bukan dengan hati (ini ngomong film apa toh pake hati segala, sampeyan ini mulai ngawur). Semua teriakan hampa itu tidak berlaku untuk “Serbian Film”, saya tidak perlu lagi memompa adrenalin secara manual, karena film ini otomatis-futuristis mampu membuat darah mengalir cepat ke otak dan mengirimkan pesan “watdefak”.

“Serbian Film” mengawali mimpi buruknya dengan segelintir momen drama keluarga di negara pecahan Yugoslavia ini. Secara kasat mata, tidak ada kekerasan di keluarga ini. Milos (Srdjan Todorovic) juga merupakan tipe ayah    sayang dengan anak laki-lakinya, tak pernah ringan tangan, yah kecuali kasar di ranjang bersama istrinya (hehe). Milos adalah pensiunan bintang porno, terkenal dengan sebutan dewa seks. Ketika masalah finansial menimpa keluarganya, kebetulan ada seorang teman yang menawarkan pekerjaan baru, tentu saja masih lekat dengan bidang yang digelutinya selama ini. Seorang produser dan sekaligus sutradara bernama Vukmir (Sergej Trifunovic) ingin sekali bertemu Milos yang sudah punya nama di dunia film porno dan mengajaknya bermain di film terbarunya. Milos memang tergiur dengan tawaran Vukmir, apalagi dengan bayaran besar yang bisa menutupi masalah keuangan keluarganya. Sayangnya seperti membeli sekantung kucing dalam karung, Milos tidak diberitahu film porno apa yang akan dia mainkan. Vukmir terus saja meyakinkan filmnya nanti akan spektakuler, berbeda, dan menyuruh Milos agar santai saja. Milos sudah terlanjut menandatangani kontrak, apa yang dulunya dia jalankan untuk pekerjaan kali ini dijalankan demi bertahan hidup.

Saya sempat menyangka Srdjan Spasojevic hanya akan fokus pada formula bagaimana caranya membuat penonton menutup hati dan mata mereka. Tapi toh pada akhirnya saya harus malu, karena film ini justru dibuat tidak murahan dan bahkan punya plot yang bisa dibilang menyegarkan, menggiurkan, sekaligus melemparkan pisau berkarat pas ke otak. Srdjan pun dengan entah-apa-yang-ada-di-pikiran-sakit-nya-itu mampu membalut film ini untuk tidak memaksanya terlihat sadis atau tidak bermoral, karena pondasi idenya sendiri sudah terbilang tidak normal dan jidat orang ini pantas untuk di ukir kata “gila” dengan paku bengkok yang sudah karatan dan sudah bertahun-tahun tertancap di bokong seseorang yang matinya sering makan bakso tikus. Percayalah saya sedang tidak ngawur ketika berkata film ini adalah tayangan yang saya larang untuk menonton dengan orang tua, kecuali orang tua itu adalah mother firefly dan spaulding. “Srpski Film” jika saya bisa bilang adalah contoh film yang tidak hanya menciutkan nyali saya sebagai penonton-nya tapi juga mengecilkan ukuran si “adik”. Tragis! saya bahkan belum selesai.

Srdjan mengantar horor ke dimensi baru, lupakan kata sadis, karena film ini menyajikan adegan-adegan yang tidak hanya sadis, tidak pernah dilihat di film-film sebelumnya, tapi juga berhasil melukai moral, menyakitinya dengan hebat. Saya tidak akan membeberkan adegan-adegan tersebut dan membiarkan anda membayangkannya sendiri lalu berfantasi dan “masturbasi” dalam ruang kosong imajinasi menyesatkan. Apa yang disajikan Srdjan bukan untuk dibayangkan tetapi dirasakan dengan lidah intelektual anda. Apakah harus memakai otak menonton film ini? tentu saja jawaban adalah “iya”, jika tak ingin nantinya tergiur untuk jadi bintang porno seperti Milos, karena aliran darah tidak sampai ke otak tetapi terbendung di alat kelamin anda. Otak sudah terpasang, keberanian adalah sebuah obat perangsang paling penting untuk menonton film ini, kalau perlu pakai dosis obat yang biasa dipakai untuk banteng (emang ada yah). Sekali lagi saya tidak perlu menulis setiap detil adegan karena saya disini hanya berfungsi sebagai obat perangsang juga.

Mari kita siapkan resep-resep berikut “Old Boy”, “Irreversible”, dan “Martyrs” lalu kita campurkan jadi satu, peras semua yang kita pernah rasakan ketika menonton film, maka jadilah citarasa baru bernama “Serbian Film”. Saya bukan mau membandingkan ketiga film tersebut dari segi keseluruhan film atau kualitasnya, tapi sekedar menyeduh perasaan “shocking” pada saat menonton ketiganya lalu menuangkan sampai luber di atas pispot milik Srdjan. Syok, menjijikkan, mematikan moral, mengaduk asam lambung, membuat orak-arik dari otak, perasaan itulah yang saya rasakan ketika berjalan di tumpukan mayat yang tubuhnya terukir kasar cerita film ini dengan darah segar mengalir tak ada hentinya. 104 menit sudah cukup membuat saya secara psikologis membunuh teman khayalan yang pada kenyataannya tidak eksis. Srdjan mampu mengisi ruang-ruang psikologis itu dengan luka yang dibawanya dari hasil perasaan yang tersimpan selama ini dan dikeluarkan secara brutal, perasaan marah dan benci yang mungkin berasal dari kelamnya sejarah Serbia. Tentu saja jika berkata tentang Serbia, kita pasti hanya teringat dengan corengan hitam di wajah negara Eropa Timur ini.

Perang sudah mematri dengan kuat pandangan kita bahwa Serbia adalah sebuah negara dimana lahirnya seorang penjahat perang, negara yang selama ini kita kenal selalu jadi tokoh penjahat di film-film, militan tak berperikemanusiaan dan otak dibalik kejahatan kemanusiaan bernama pembersihan etnis. Srdjan mungkin saja ingin berkata “hey kalian belum lihat yang sebenarnya!” dalam filmnya yang dengan melihat judulnya saja sudah seperti menunjuk kepada Serbia sendiri. Film ini mungkin saja sebuah pesan untuk para pemimpin disana dan sadisnya Srdjan bergabung dengan segelintir orang yang kritis itu, lalu menyampaikannya dengan tidak bersahabat, brutal, dan menyakitkan. Perlahan dan tidak terburu-buru Srdjan berhasil menyeret kita untuk masuk ke ruangan di kepalanya yang penuh amarah dan menyiksa kita dengan sebuah karya yang tidak asal buat. Melalui Todorovic yang bermain sebagai Milos dengan meyakinkan berkat aktingnya yang maksimal, ditambah dengan Trifunovic sebagai produser pesakitan yang tak kalah cemerlang, “Serbian Film” menjadi sebuah “dokumenter” dari pensiunan bintang porno yang dibuat untuk mengingatkan kita bahwa neraka itu memang ada. Apa itu moral?