Sebuah inspirasi bagi anak-anak Indonesia

Obama Anak Menteng atau Little Obama, awalnya dibuat sebagai hadiah kecil untuk menyambut kedatangan Presiden Amerika Barrack Obama ke Indonesia. Dengan segala keterbatasan waktu dan tidak mau kehilangan “hype” kunjungan Mr. President yang dulu pernah tinggal di Menteng ini, film ini pun akhirnya rampung dalam waktu sangat singkat hanya satu bulan. Pertanyaannya sekarang apakah proses syuting yang terburu-buru, lalu tidak adanya riset mendalam tentang Barry (nama kecil Obama), dan terakhir kemasan keseluruhan film yang apa adanya, akan membuat para penonton puas? apalagi ketika sang presiden ternyata batal berkunjung, semua momentum pendongkrak popularitas itu pun musnah. Apa yang tersisa hanyalah keniatan tulus para penontonnya untuk datang ke bioskop, terutama anak-anak, tentu saja karena film ini menawarkan kisah yang inspiratif. Bukankah kita memang butuh kisah-kisah pembangun semangat, tapi kenapa harus dari orang yang hanya tinggal beberapa tahun di Indonesia?

Malang benar nasib Barry Obama, belum sampai di tempat tinggal barunya di Menteng, dia harus menerima kenyataan beberapa anak sudah memandang dia dengan penuh benci. Tapi beruntung ketika latar belakangnya yang membingungkan —tinggal di Indonesia, berkulit hitam dan mempunyai ibu berkulit putih asal Amerika— dan membuat anak berusia 9 tahun ini menjadi sulit untuk beradaptasi, dia masih bisa berteman dengan anak tetangga Slamet dan Yuniardi. Walau masih sering disebut anak aneh, lambat-laun Barry bisa terbiasa dengan olok-olokan khas teman-temannya itu. Di sekolah, Barry termasuk anak yang pandai, dia lebih hafal sumpah pemuda ketimbang anak-anak Indonesia yang lain. Kehidupan barunya di Menteng nantinya akan diisi dengan kehadiran asisten pribadi bernama Turdi, yang siap mengantar Barry ke sekolah tiap hari dan membantu ketika majikannya itu tertimpa masalah. Permusuhannya dengan Carut dan kelompoknya pun makin menjadi ketika mereka memperebutkan lapangan bermain. Sisipan kisah cinta juga nantinya akan ikut mewarnai lika-liku petualangan Barry di Menteng.

Aneh ketika lagi-lagi saya berhadapan dengan sebuah bentuk promosi yang bisa dibilang dangkal, yah film ini memulai perkenalannya dengan kontroversi antara kedua sutradara yang saling mengklaim dirinya lah sutradara sebenarnya film ini. Saya tidak tahu siapa yang benar dan salah atau siapa yang memulai kisruh konyol ini, sebenarnya saya juga tidak peduli siapa yang berada di bangku sutradara. Toh pada akhirnya kedua nama yang diperdebatkan muncul juga sebagai duo-dinamit film ini. Sekali lagi saya melontarkan pertanyaan, apakah dengan dua kepala menjadikan film ini lebih baik? saya yang dengan rendah diri menempatkan seluruh tubuh saya menjadi penonton anak-anak yang butuh sebuah kisah inspiratif menjawab: tidak sama sekali.

Film ini terlalu “tidak bijaksana” dalam lingkupnya sebagai film yang mengklaim dirinya menginspirasi, apa yang saya lihat dan rasakan justru sebaliknya, tidak terinspirasi malah merasa digurui. Duh, anak-anak juga butuh hiburan toh! lalu kenapa film ini membawa mereka kembali seperti berada di bangku sekolah. Adegan-adegan Barry yang memang dimaksudkan untuk memberi inspirasi justru terlalu dipaksakan—seperti adegan Barry dan temannya berkumpul dan berakhir dengan pidato Barry yang terdengar aneh—hasilnya sebuah adegan “preachy” yang tidak ada hubungannya dengan adegan sebelum dan sesudahnya. Selipan-selipan adegan menggurui, tidak menginspirasi, tidak hanya muncul sekali tapi beberapa kali menyelinap masuk diantara cerita yang berjalan datar.

Subplot tentang Turdi yang banci pun sepertinya sangat mengganggu untuk dimasukkan kedalam cerita utama, bukan karena dia berkelakuan kebanci-bancian. Saya memaklumi adanya karakter yang difungsikan untuk menjadi “badut” yang dipaksakan untuk lucu, tapi kenapa harus kehidupan pribadinya juga harus diangkat menjadi menu pendamping di film ini. Jika saya merasa tidak pantas, tolong salahkan saya, tetapi adegan Turdi di bar lalu bertengkar dengan kekasihnya yang juga laki-laki itu sangat-sangat mengganggu untuk ditempatkan pada film yang sekali lagi memakai kata “sebuah inspirasi bagi anak-anak Indonesia” di posternya ini. Bukannya masih banyak karakter yang bisa dikembang-kan menjadi cerita disini, kenapa tidak menceritakan gadis yang disukai oleh Barry atau memperkenalkan kehidupan Carut, kenapa dia bisa begitu benci dengan Barry.

Dengan durasi sekitar 100 menit, Obama Anak Menteng telah sukses menghadirkan kisah yang membosankan, membingungkan, akting yang buruk dan tampaknya gagal dalam misinya untuk jadi umpan inspiratif bagi anak-anak Indonesia. Film yang mengingatkan saya dengan Karate Kid ini tak lebih dari ajang mencari muka kepada negara adi daya tersebut, patung wanita membawa obor, bendera Amerika yang bersanding dengan Merah Putih, pidato Obama, dan lagu kebangsaan Amerika, justru dihadirkan dengan porsi menonjol di film ini. Saya lebih suka ketika lewat film, budaya Indonesia bisa lebih ditonjolkan, tidak melulu dibuat bangga dengan milik bangsa lain. Tidak salahkan ketika cerita yang entah berapa persen kisah nyatanya ini disandingkan dengan banyaknya budaya Indonesia. Mungkin film ini punya niat baik untuk menyatukan barat dan timur, Amerika dan Indonesia, sayangnya gagal tersampaikan kepada penonton, termasuk saya sendiri. Pertanyaan terakhir, apakah perlu mengangkat kisah dari anak yang tinggal tidak lama di Indonesia, yah dia memang sekarang menjadi Presiden, tetapi itu juga Presiden negara lain. Apakah kita tidak punya tokoh yang dibanggakan? apakah kita tidak punya pemimpin yang pantas untuk di filmkan? saya kembali melihat buku sejarah dan bangga melihat banyaknya orang hebat yang dimiliki ibu pertiwi ini.