Dicing ones daughter is true happiness! ~ Kenji Furano

Aneh, tidak masuk logika, low-budget, banjir darah, adegan sadis tak karuan, seperti itu-lah saya mendeskripsikan genre unik yang satu ini. Japan gore/exploitation movie begitu sebutan prestius yang hinggap di film “Vampire Girl vs. Frankenstein Girl” (Kyûketsu Shôjo tai Shôjo Furanken) yang akan saya review kali ini. Formula film-film sejenis termasuk didalamnya “Machine Girl” dan “Tokyo Gore Police” adalah “sederhana” yaitu menggabungkan adegan-adegan gore yang ekstrim dengan gaya splatter movie, dosis keduanya dilebih-lebihkan lalu diracik dengan sedikit dark-comedy. Hasilnya adalah film dengan imajinasi liar, hiburan sinting, dan kualitas yang masih perlu ditanyakan. Tapi jujur saja, ini adalah tema yang selalu saya tunggu, bukan lagi sebagai “guilty pleasure”, namun memang saya sudah jatuh cinta dengan tipikal film-film jenis ini.

Film yang disutradarai oleh Yoshihiro Nishimura dan Naoyuki Tomomatsu ini memulai ceritanya dengan aktivitas “normal” di sebuah sekolah di Tokyo. Sebenarnya memang tidak terlalu normal ketika kita diajak untuk mengenali satu persatu isi kelas di sekolah tersebut. Ada kelompok Lolita, yang seragamnya berbeda dengan yang lain, kelompok Ganguro Girl yang dipimpin oleh cewek berbadan besar, berbetis seperti pelari maraton, berkulit hitam, dan bermulut lebar, lengkap dengan anak buah yang tidak kalah “langka”. Lalu ada juga grup yang berisi tiga cewek yang hobinya mengiris-ngiris pergelangan tangan dan terobsesi untuk menjadi juara pertandingan mengiris bawang…bukan itu, maksudnya yah mengiris pergelangan tangan. Sekolah aneh ini pun kedatangan murid baru, perkenalkan Monami (Yukie Kawamura), gadis cantik jelita yang ternyata adalah seorang vampir. Konflik dimulai ketika dia jatuh cinta dengan Mizushima (Takumi Saito) yang notabennya sudah ada yang punya.

Monami ternyata tidak hanya suka dengan Mizushima, dia menginginkan “gebetan”-nya itu untuk bergabung dengan dirinya sebagai vampir. Sebagai langkah awal, Monami memberikan Mizushima coklat, yang ternyata sudah tercampur dengan darah vampir dari dirinya sendiri. Efek samping setelah memakan coklat itu pun langsung terasa, kelima indera Mizu menjadi lebih peka dan dia menjadi tergiur dengan darah, tentu saja karena dia dalam proses menjadi vampir. Cinta segitiga antara Monami, Mizu, dan Keiko (Eri Otoguro) yang mengklaim dirinya sebagai pemilik tunggal Mizu ini pun semakin panas, apalagi ketika Keiko mengetahui rahasia Monami. Persaingan tersebut berakhir dengan kematian Keiko, namun bukan berarti cinta antara Monami dan Mizu akan berjalan tanpa kerikil-kerikil tajam yang menusuk kemaluan.

Ayah Keiko yang bersembunyi dibalik kedok wakil kepala sekolah ternyata adalah ilmuwan gila lengkap dengan riasan wajah ala Kabuki. Dibantu oleh asistennya yang diketahui ternyata perawat sekolah, mereka berdua mengadakan sering melakukan sebuah eksperimen “membangunkan” mayat di ruang bawah tanah rahasia. Setelah berkali-kali gagal, ayah Keiko beruntung bisa menemukan setetes darah vampir Monami, dengan darah tersebut dia akhirnya bisa membuat “frankenstein” dan menghidupkan kembali anaknya. Keiko pun siap untuk beraksi melampiaskan dendamnya pada si vampire girl. Maka dimulailah perang besar antara kedua mahkluk freak ini, saya sendiri bersiap untuk mengeluarkan otak untuk sementara waktu dan nikmati saja sajian liar di film ini.

Yoshihiro Nishimura dan Naoyuki Tomomatsu bukanlah nama baru di genre ini. Yoshi sendiri sudah malang-melintang di departemen make-up dan spesial efek untuk puluhan film horor, termasuk film kontroversial “Suicide Club”. Pengalamannya juga sudah terasah sebagai sutradara genre eksploitasi ini, “Tokyo Gore Police” adalah salah-satu karya “masterpiece”-nya. Sedangkan Naoyuki, sama “gila”-nya dengan Yoshi, jadi tidak usah dipertanyakan kadar imajinasinya orang yang pernah membesut film “Stacy: Attack of the Schoolgirl Zombies” ini. Ketika keduanya bersatu, saya hanya bisa geleng-geleng kepala, sekaligus tanda saya sudah siap dibuat “gila” oleh dua orang ini. film ini bagai sebuah pemanasan sampai saya sanggup menonton “Mutant Girls Squad” yang kembali disutradarai oleh Yoshihiro, ditambah Noboru Iguchi (The Machine Girl) dan Tak Sakaguchi (Yoroi: Samurai Zombi), tidak bisa dibayangkan kadar “sinting” yang akan disajikan dari tiga orang jenius ini.

Banyak cara untuk bisa menikmati film, setiap orang punya caranya masing-masing. Nah untuk film yang satu ini, saya cukup menekan tombol “off” di otak, tidak peduli dengan apa yang namanya logika dan nikmati saja apa yang ingin disajikan oleh sutradara Yoshihiro Nishimura dan Naoyuki Tomomatsu. Toh untuk apa pusing-pusing mikirin tangan Keiko yang bisa dilepas lalu dijadikan “baling-baling bambu!!” (menyontek gaya suara doraemon) lalu akhirnya membiarkan dia bisa terbang ke bukit belakang sekolah dan melihat nobita dan sizuka sedang asyik bercinta (khayalan saya ikut liar). Belum cukup memutar logika anda ke posisi 180 derajat, film ini masih punya hujan darah yang luar biasa tidak masuk diakal. Memotong kepala adalah hal yang wajar diperlihatkan di film-film gore, tapi ketika darah yang keluar bisa mengisi 2 kolam renang olimpiade, itu sudah sinting namanya. Ditambah film ini terlalu “lugu” ketika darah itu deras keluar bukan hanya dari leher sang korban tetapi dari selang air di kedua sisi kamera yang berisi darah. Itulah keunikan-keunikan yang membuat saya selalu menyukai film-film sejenis.

Sekali lagi saya “jatuh cinta” kepada film-film seperti ini bukan karena cerita yang hebat yang bisa membuat saya memutar otak. Namun plotnya yang memang bersahabat ketika otak saya memang toh sedang “lumpuh”. Jadi sekali lagi saya tidak usah berpikir keras dan hanya duduk manis menunggu hiburan dari atraksi monster-monster yang diciptakan Yoshihiro Nishimura dan Naoyuki Tomomatsu. Pernak-pernik efek ala-kadar-nya justru bukan menjadi gangguan, sebaliknya memperkaya nilai hiburan tersendiri. Saya bisa tertawa sepuasnya saat Monami bertarung dengan Keiko di puncak menara Tokyo dan sekaligus merinding (bukan) karena ketakutan tapi menahan buang air kecil. Apalagi ketika saya lagi-lagi disajikan sebuah adegan dimana sebuah luka bisa berubah menjadi senjata mematikan yang berputar layaknya gergaji kayu di pabrik, saya hanya bisa pasrah saat saya mengompol karena adegan tersebut. Sesekali hiburan utama tersebut disisipi cerita kecil dari grup ganguro dan suicide club, memang tidak berhubungan dengan ceritanya langsung tetapi adegan perlombaan mengiris lengan adalah sebuah adegan epik yang mengundang saya untuk bertepuk tangan. Setelah durasi 84 menit berakhir fantastis, saya hanya bisa berteriak “WTF” sebanyak 50 kali. Enjoy!