Barang siapa yang membuat onar-onar dan mudharot maka kami dari Red Cobex akan membersihkannya dari muka bumi ini ~ Mbok Bariah

Dalam waktu yang berdekatan, kurang dari sebulan, dua film muncul dengan tema yang bisa dikatakan hampir mirip. Bulan lalu, Ratu Kostmopolitan berhasil menjadi hiburan dengan tidak menghibur lewat drama bercampur komedi laga, ceritanya berfokus pada tiga cewek yang jago ngutang yang terpaksa melawan ketidakadilan. Nah, sekarang ada Red CobeX yang sama-sama menempatkan kaum feminim sebagai lambang kejantanan. Tidak lagi memakai anak muda sebagai “petarung”, film ini lebih memilih memakai para ibu-ibu yang tergabung dalam sebuah geng preman bernama sama dengan judul film ini. Geng yang paling ditakuti dan disegani di kampung tempat mereka berkuasa ini dipimpin oleh Mama Ana (Tika Pangabean) berasal dari Ambon, anggotanya terdiri dari Tante Lisa (Indy Barends) dari Menado, Yu Halimah (Aida Nurmala) dari Tegal, Mbok Bariah (Sarah Sechan) dari Madura, lalu ada Cik Meymey (Cut Mini) yang merupakan Cina keturunan. Walau bertampang sangar, berkelakuan tidak ramah, dan berjuluk preman, mereka sebenarnya punya misi yang jauh lebih mulia, yaitu membantu yang lemah dan tidak suka dengan yang namanya keonaran, kemaksiatan & kemudharatan.

Bersama dengan Yopie (Lukman Sardi), yang tidak lain adalah anak satu-satunya dari Mama Ana, Red Cobex kerap main hakim sendiri. Sasaran mereka tentu saja tidak jauh dari para penjudi, penjual DVD porno, dan pemilik kedai-kedai minuman keras. Sungguh disayangkan ketika pada akhirnya geng ibu-ibu ini diringkus polisi, karena bertanggung jawab atas aksi perampokan toko emas milik Pak Albert, yang juga mantan suami Mama Ana yang sudah menikah lagi. Entah beberapa lama kemudian (saya tidak peduli) Yopie bebas lebih dahulu dari mama dan tante-tantenya. Beruntung dia masih punya sahabat bernama Ramli (Irfan Hakim) yang mengajaknya untuk tinggal sementara waktu bersama dengan teman sejak kecilnya itu di rumahnya. Walaupun Ramli tidak keberatan, istrinya Ipah (Shanty) tidak setuju seorang mantan narapidana tinggal serumah, terlebih ketika dia tahu siapa sebenarnya sahabat suaminya itu. Ketika Yopie sedang berusaha kembali ke jalan yang benar, ia dipertemukan dengan takdir, Astuti (Revalina S Temat) hadir dalam kehidupannya. Hubungan keduanya tentu saja nantinya akan menemui berbagai macam rintangan sekaligus pertentangan dari kedua belah pihak, Mama Yopie dan orang tua dari Astuti. Apakah cinta keduanya dapat bersatu? lalu cerita red cobex-nya mana?

Pertanyaan terakhir itu datang ketika sepanjang film saya tidak menemukan hubungan antara judul dengan jalan cerita yang disajikan. Memang di awal film kita diperkenalkan dengan siapa itu geng Red Cobex, dengan segala kelakuan premanisme-nya. Tetapi pada saat cerita bergulir menjauhi titik perkenalan tersebut, saya tidak lagi merasakan hadirnya Mama Ana dan yang lainnya dalam cerita. Mereka memang masih muncul tetapi anehnya justru kelihatan hanya sebagai pemanis cerita, film ini bukan lagi menceritakan tentang mereka, malah sebaliknya fokus pada kisah roman percintaan lugu antara Yopie dan sang pujaan hati Astuti. Sebenarnya saya juga tidak lagi peduli, geng Red Cobex mau hadir lagi atau tidak di adegan-adegan berikutnya, karena saya sudah cukup dibuat terganggu dengan tingkah laku mereka yang berniat melontarkan kelucuan, namun gagal ketika saya menangkis semua serangan komedi “garing” yang dilancarkan bertubi-tubi.

Bodohnya geng yang bangga dengan cobek berwarna merah tersebut masih saja keras kepala dan terus saja berusaha memancing saya untuk tertawa. Pada kenyataannya saya sepanjang film sama sekali tidak tertawa apalagi tersenyum dengan tingkah laku geng yang punya seribu cara untuk mengganggu indera pendengaran dan penglihatan saya. 5 bahasa daerah yang saling tumpang tindih tak karuan sudah sukses merusak gendang telinga saya (mungkin saya harus segera bikin janji dengan dokter THT). Sepertinya hal mengganggu di Ratu Kostmopolitan terulang kembali di film ini, dan dosisnya seperti bertambah 5 kali lipat, wajar saja ketika saya sampai overdosis mendengar dialog cerewet dari lima ibu-ibu sekaligus ini. Kekacauan formula film ini tidak berhenti sampai disitu, adegan-adegan laga yang sudah dipersiapkan ternyata tersaji “mentah”, terlihat asal tinju dan asal tendang. Lucunya semua terlihat sekali bohong ketika Mama Ana dan teman-teman cobex-nya tidak kena ketika memukul atau menendang lawannya. Beginilah ketika film dibuat hanya bermodalkan ingin cepat-cepat tayang dan cari untung belaka. Kata penting bernama “kualitas” diacuhkan, hasilnya pun berantakan.

Saya akan lebih bahagia ketika film ini memang niat dibuat hancur jadi dengan begitu saya lebih gembira ketika mereview-nya. Sayangnya walau berlabel buruk pada kualitas, saya masih bisa “tersenyum” karena film ini belum dicap “ancur” lalu dikalungi celana dalam bekas. Berpaling dari Red Cobex, film ini pun tidak menyelamatkan posisinya dari tepi “jurang”, bahkan makin menjadi ketika film sampai pada babak percintaan Yopie yang tidak kalah bodoh. Mungkin film ini memang ingin memancing kelucuan dari setiap kebodohan tang dipaksakan bodoh dan hasilnya adalah ketololan, termasuk adegan Yopie yang tertabrak pohon. Apakah itu lucu, ayolah sudah ada beratus-ratus film komedi yang memakai cara basi tersebut untuk memancing tawa penonton. Tidak bisa ya, memikirkan cara lucu untuk membuat penonton tertawa selain dengan adegan digebukin orang, tertabrak inilah itulah. Terima kasih sudah membuat saya super-bosan.

Komedinya jelas-jelas telah gagal dalam upayanya menghibur orang yang sedang stress, justru kemungkinan besar malah menambah beban stress orang yang menonton. Menjual nama-nama beken untuk mendongkrak popularitas film ini, itu pun gagal dalam usahanya mencapai parameter kualitas akting yang standar sekalipun. Padahal saya tahu orang-orang ini bisa melakonkan karakternya jauh lebih bagus, tapi tidak difilm ini. Sepanjang film saya hanya menemukan akting yang berlebihan dan tidak terarah, saya tidak habis pikir kenapa film ini tidak mencari pemain yang memang berkulit hitam ketimbang harus susah-susah membalur Lukman Sardi dan Tika untuk menjadi hitam. Akting geng yang terlewat mengganggu, akting Lukman yang datar, Reva yang sudah pasti hanya pemanis, Shanty dan Irfan yang berakting “mesum” juga berlebihan. Semua bersatu hanya untuk menambah nilai minus film ini. Saya tidak perlu bercakap-cakap lagi tentang ceritanya yang super-dangkal dan akhirnya saya hanya ingin memberi selamat kepada Upi (wah akhirnya nama sutradaranya disebut juga) karena telah berhasil mengemas tontonan yang tidak hanya gagal dalam mencapai tujuannya, namun juga gagal memberikan sesuatu yang berbeda kepada perfilman tanah air. Apakah ini sekuel para ratu kost?