Mentang-mentang sebutannya pahlawan devisa, terus kamu berharap dihargai sama negara ~ Mayang

Hamparan bangunan-bangunan yang saling berlomba “mencium” langit, menjadi saksi bisu dan memantulkan kembali suara langkah-langkah kecil para “pahlawan devisa” yang jauh dari tanah kelahirannya, demi mencari nafkah di negeri orang. Saya lebih mengenal mereka dengan sebutan “TKW” atau Tenaga Kerja Wanita ketimbang pahlawan devisa, sama seperti ketidaktahuan saya tentang seperti apa kehidupan “real” di Hongkong atau tempat-tempat lain yang biasanya menjadi tujuan para pekerja wanita ini. Mengeruk “tambang emas” berjarak beribu-ribu kilometer dari keluarga, hidup mandiri di tanah yang asing, dan “bertarung” dengan kerasnya kehidupan sehari-hari, tidak bisa dibayang-kan penderitaan yang harus mereka lewati setiap harinya. Lalu apakah seimbang dengan apa yang mereka terima, apalagi ketika saya lebih sering mendengar berita-berita yang mengetuk hati, mereka diperkosa, mereka dianiaya, mereka dibunuh, semakin bertumpuk saja pertanyaan saya soal mereka yang tidak hanya jauh dari orang yang mereka kasihi, tapi juga tampaknya jauh dari perhatian negara ini.

Minggu Pagi di Victoria Park, bagi saya merupakan pencerahan atas pertanyaan yang membatu dalam hati dan berkeliaran di pikiran tentang nasib para “pendekar” wanita ini. Beruntung rasanya bisa menonton film ini dan sekaligus bersyukur ketika sinema lokal akhirnya kedatangan tamu yang sangat istimewa. Melalui penyutradaraan cemerlang Lola Amaria, ia mengajak saya untuk menengok potret realitas mereka dilatari megahnya kota metropolitan Hongkong. Saya pun mengikuti jejak Mayang (Lola Amaria), berharap bisa mengisi catatan kecil saya dengan kumpulan jawaban tentang pahlawan devisa. Mayang baru beberapa bulan menginjakkan kaki di Hongkong, ia bekerja sebagai babysitter pada sebuah keluarga baik hati yang mempunyai satu anak. Kita akan diperkenalkan dengan kegiatan sehari-hari Mayang, bersih-bersih rumah, mengantar-jemput anak majikan ke sekolah, dan tidak lupa bertemu dengan teman-teman “seperjuangan”.

Kisah perkenalan pun berkembang ke babak yang lebih serius ketika diketahui Mayang tidak hanya berada di Hongkong untuk mencari nafkah, tetapi juga mencari adiknya atas perintah ayahnya di kampung. Sekar (Titi Sjuman) sang adik yang sudah lebih dahulu pergi dari kampung halaman dan 2 tahun berada di Hongkong, ternyata juga dicari oleh teman-teman sesama TKW disini, karena menghilang begitu saja tanpa kabar. Mayang yang awalnya tidak ingin semua orang tahu masalahnya, akhirnya mulai bicara dengan Mas Gandi, orang yang sudah dianggap bapak oleh para pekerja disini. Tetapi Mayang masih tetap menyembunyikan masalah lain antara dia dan adiknya tersebut, sampai lagi-lagi dia tidak ingin orang lain tahu bahwa Sekar itu adiknya. Dibalik tembok lainnya, Sekar yang sepertinya sedang bersembunyi dari “masalah”, bekerja serabutan demi menyambung hidupnya di Hongkong. Apa yang terjadi dengan Sekar? Apakah Mayang akan bertemu kembali dengan adiknya?

Berangkat dari sebuah taman bernama sama dengan judul film ini, Victoria Park, yang menjadi tempat favorit kumpul para TKW, saya sudah dibuat terheran-heran dengan melihat begitu banyaknya orang Indonesia di taman tersebut. Di tempat ini saya menemui banyak hal baru, seperti cara mereka berdandan yang lebih ekspresif dengan pilihan gaya rambut warna-warni dan fashion kebarat-baratan, sebuah identitas baru yang mereka kenakan demi berbaur dengan modernitas kota Hongkong. Berjalan melalui obrolan dan canda tawa mereka, saya pun kembali dikagetkan bahwa kenyataan disana mereka tidak lagi bersembunyi dan malu ketika mereka menyukai sesama jenis. Lola yang sebelumnya juga membesut Betina di tahun 2006, sengaja mengajak kita untuk berkenalan lebih dahulu dengan tampilan luar kehidupan para TKW di Hongkong, sebelum perlahan kita akan dituntun masuk kedalam problematika masing-masing karakter di film ini, termasuk Mayang dan Sekar. Lola yang juga pemain sinetron, bintang film dan produser ini nanti-nya akan menyajikan kisah sederhana namun terkemas sangat spesial.

Percintaan, persahabatan, mungkin terlihat biasa dalam film Indonesia, karena sudah tak terhitung jumlah film yang memakai tema serupa, tapi jika bertanya soal kualitas, maka akan terlihat jumlah yang sebenarnya. Film ini pun tidak jauh-jauh dari tema tersebut, namun bedanya pernak-pernik kisah cinta, persahabatan itu dapat terbungkus apik dan rapih ditangan Lola Amaria. Kekuatan film ini terletak pada drama yang tidak hanya kuat dalam soal penyajian, namun “fasih” dalam membawakan ceritanya agar tersampaikan dengan baik kepada penontonnya. Berkat naskah yang sudah dirangkai “manis” oleh Titien Wattimena, kata demi katanya diterjemahkan dengan cemerlang oleh Lola. Saya sendiri tidak pernah merasa “seaneh” ini ketika menikmati sebuah kisah drama, film ini berhasil membawa saya hanyut bersama alur ceritanya yang bergerak tidak terburu-buru. Jalan cerita pun terbalut dengan “bersahabat”, minus lika-liku metafora kehidupan yang hanya akan membuat kita berpikir keras. Jadi saya dibiarkan dengan asyik menikmati dan mencerna setiap bagian kisah demi kisah yang ditawarkan film ini.

Bicara soal realiti kehidupan di Hongkong, Lola memang tidak terlalu menyinggung soal kekerasan majikan pada pekerja Indonesia yang biasanya sering terdengar oleh telinga saya. Tapi saya rasa sebagai “pemanis”, film ini sudah cukup dalam upayanya membawa dan menghadirkan kisah-kisah yang mungkin nyata disana. Lola sepertinya tidak ingin terlalu membungkus terlalu banyak “sesuatu” ke dalam satu kantung, saya juga tak mau melihat kantung tersebut terlalu penuh dan pada akhirnya isinya berantakan tercecer. Hadirnya realitas-realitas yang dimasukkan Lola tersebut bisa dibilang punya takaran yang pas sebagai dosis (tak berlebihan) pendongkrak dramatisasi selain adegan-adegan “flashback” yang sudah dipersiapkan. Konflik Mayang-Sekar dan sederet masalah yang diumpankan kepada penonton pun berhasil memancing emosi saya untuk ikut turun naik, teraduk-aduk bersamaan dengan berkembangnya cerita dari menit ke menitnya.

Apa yang membuat film ini makin istimewa adalah pengambilan gambar-nya yang begitu indah, menangkap dengan halus momen-momen cantik, dan membiaskannya ke dalam mata-mata penonton yang sedang dimanjakan oleh cerita. Sinematografi memang jadi bagian yang terfavorit bagi saya, namun yang terbaik dari film ini bukan hanya drama yang telah terajut kaya warna. Akting Lola Amaria dan Titi Sjuman-lah yang akhirnya berhasil menghipnotis saya untuk duduk manis seperti murid sekolah dasar yang baru pertama kali masuk kelas. Keduanya tampil maksimal, menyajikan kualitas akting yang luar biasa dalam memerankan karakternya sekaligus memikat hati saya dan penonton lain. Walau menjadi sutradara dan juga terlibat akting, Lola Amaria ternyata masih bisa menguasai karakternya dengan baik, hasilnya Mayang dengan logat Jawa-nya sukses menarik dengan lembut tangan saya dan mengajak ke taman Victoria. Titi Sjuman disini bisa dikatakan sebagai “magnet”, karena karakternya Sekar secara tak sadar membuat saya semakin dekat dengan dirinya sama halnya ketika semua karakter dalam film ini dikumpulkan menjadi satu karena masalah Sekar.

Cerita, akting, dan sinematografi yang sudah terkemas rapih dan spesial ini pun terpita cantik oleh iringan musik yang menemani dari adegan ke adegannya, bertanggung jawab penuh dalam menjaga mood penonton. “Minggu Pagi di Victoria Park” terbukti sudah jadi tontonan yang berbeda, menyegarkan, dan spesial di tengah produktifnya film Indonesia dengan kualitas dan tema yang “mengecewakan”. Film ini sudah sepantasnya bisa menjadi jawara di negeri sendiri, tapi pertanyaannya apakah penonton kita “sadar” ada film Indonesia sebagus ini. Saya sendiri ketika menonton film ini ditemani 2 orang penonton, yang berarti hanya ada 3 orang penonton pada saat itu. Sebuah realita yang membuat hati saya miris dan tidak bangga karena seperti punya bioskop sendiri. Bersandar pada kenyataan ini, saya hanya bisa “menyarankan” untuk tontonlah film ini. Dukung Film Indonesia yang bagus!