Rise and rise again until lambs become lions

Film ini pastinya akan mengingatkan anda kepada film pemenang 5 Oscar “Gladiator”, tidak hanya karena duet Ridley Scott dan Russell Crowe yang kembali hadir sebagai sutradara dan bintang utama. Tapi kenyataan kalau cerita “Robin Hood” tidak ubahnya gladiator yang hijrah ke tanah Inggris. Temanya juga kurang lebih “bersaudara”, tentang perlawanan terhadap penindasan sang penguasa dan bertarung demi kebebasan. Scott juga membawa serta “pasukan” di film gladiator-nya, termasuk John Mathieson, yang bertanggung jawab atas sinematograpy dan Pietro Scalia yang duduk di bangku editor. Pertanyaannya apakah film ini akan sebaik Gladiator dan kembali mengangkat pamor legenda pencuri dari hutan Sherwood tersebut? Apakah kita akan kembali disuguhkan adegan perang kolosal layaknya opening Gladiator atau akankah Scott mengulang duel maut Maximus dan Commodus yang menghipnotis seisi Colosseum itu?

“Robin Hood” bisa dikatakan adalah sebuah prekuel, karena Scott lebih memilih bercerita tentang lahirnya sang legenda, ketimbang cerita tentang Robin dari hutan Sherwood yang sudah kita kenal sebelumnya. Filmnya sendiri akan mengisahkan tentang kembalinya Robin Longstride ke Inggris setelah bertarung dengan kematian di negeri asing dalam perang salib. Perjalanan panjang bersama teman seperjuangan termasuk Little John, menuntunnya ke Nottingham. Robin punya misi pribadi untuk menyerahkan sebuah pedang kepada seorang bangsawan bernama Sir Walter Loxley (Max von Sydow), senjata kepunyaan anaknya yang sayangnya tewas di medan perang. Robin pun diterima di kediaman Loxley dengan hangat dan bertemu dengan Marion Loxley (Cate Blanchett), yang tak lain adalah putri Walter Loxley.

Takdir pun menghampiri Robin, dimana dia akhirnya diangkat menjadi anak oleh Walter, tidak hanya itu, Robin juga diminta untuk menikahi Marion. Ketika kebahagiaan datang kepada Robin, di luar sana, Inggris sedang dilanda kekacauan. Orang kepercayaan raja, Godfrey (Mark Strong), ternyata berkhianat dengan mengumpulkan pasukan Perancis guna menyerang Inggris. Lewat kekuasaan yang diberikan raja kepadanya, Godfrey pun dapat dengan mudah merampas kekayaan dari desa yang satu ke desa lainnya, dengan dalih perintah raja untuk mengumpulkan pajak. Desa-desa yang dilauinya dibakar dan membuat rakyat semakin sengsara. Dibalik tameng kerajaannya, Godfrey juga berniat membuat Inggris terpecah belah, agar nantinya Perancis dengan mudah mengalahkan Inggris. Apakah Robin akan diam saja melihat rakyat tertindas atau dia akan bangkit untuk menyatukan Inggris dan melawan musuh dari seberang lautan?

Ketika Ridley Scott membawa keseluruhan pasukan “Gladiator” untuk hijrah ke Inggris, sepertinya dia lupa mengisi kekuatan penuh pada ceritanya. Film ini seperti sebuah panah yang dilepaskan dengan percaya diri, melesat cepat menuju titik sasaran. Namun ajaibnya tertiup angin dan kehilangan arah, sampai akhirnya tidak tertancap di sasaran yang dituju. Ketika pengambilan gambar begitu mempesona dengan sudut-sudut indah yang makin memanjakan mata lewat keindahan Inggris. Tidak demikian dengan ceritanya, pesonanya hilang begitu saja ketika kita diajak untuk “bersantai” di Nottingham. Scott justru lebih fokus menyajikan kita drama yang terbilang membosankan, “duel” romantis yang datar dari Robin dan Marion, serta kurangnya chemistry antara hubungan Walter dan Robin. Jika dibandingkan dengan hubungan Maximus dengan Marcus Aurelius, Gladiator lagi-lagi mengantongi nilai plus.

Genderang perang yang bertalu-talu, diharapkan akan menyelamatkan film ini dari kekalahan total. Karena itulah yang ditunggu para penonton, sebuah aksi adu pedang dan peperangan klasik yang dikemas mewah ala Ridley Scott. Tapi sekali lagi, saya harus kecewa, karena walau adegan peperangan terkemas hebat, saya tidak merasakan perasaan yang “wah”. Apakah karena lagi-lagi saya membandingkannya dengan Gladiator, atau memang Ridley Scott sepertinya tidak matang dan terkesan terburu-buru dalam perannya dalam mengesekusi dan mengemas adegan laga. Setting bangunan kastil dan desa-desa zaman “middle age” yang sudah diciptakan dengan luar biasa detil itu pun jadi kurang terlihat dan sia-sia dibuat, karena terlalu cepat hancur dan terbakar, tidak ada pertarungan hebat terjadi di dalamnya yang bisa membuat saya berhenti bernapas.

Scott memang sepertinya “betah” ingin kita fokus pada lahirnya pribadi seorang Robin, dengan pernak-pernik drama percintaan dan laga-laga mematikan di medan perang. Tapi racikan formula yang resepnya didapat dari zaman gladiator ini, maksudnya sama saja seperti Gladiator, tidak teraduk optimal. Formula lama yang dikemas baru yang hasilnya justru malah gagal dalam menyajikan paket manis yang pernah diciptakan Ridley Scott di tahun 2000. Dari segi akting, semua bermain biasa saja, tidak satu pun yang menonjol termasuk sang tokoh utama Russell Crowe. Apalagi ketika saya selalu saja dibayangi Maximus ketika melihat tindak tanduk Robin Hood ketika melawan musuh-musuhnya. Jadi apakah Scott berniat untuk membuat sekuelnya? Karena jika niat sutradara yang sudah lima kali berkolaborasi dengan Crowe ini adalah sebuah sekuel, maka langkah yang diambil prekuelnya ini sudah salah arah. Menghibur…? Yah tentu saja menghibur, tetapi tidak terlalu istimewa untuk ditunggu kelanjutannya dan mudah dilupakan jika dilihat dari sudut film yang berdiri sendiri nantinya. Robin sepertinya harus melatih bidikan panahnya…karena dia sudah dikalahkan Maximus.