I’m not Miyabi, I am Mio Yao Bie

Filmnya belum sempat tayang di bioskop-bioskop tanah air, “Menculik Miyabi” sudah terlebih dahulu memancing kehebohan disana-sini, menciptakan kontroversi sesaat yang pada akhirnya justru menaikkan pamor film ini, bisa dibilang membantu promosi. Penyebab kontroversi tersebut tidak lain karena kehadiran Maria Ozawa, atau yang lebih dikenal orang dengan nama Miyabi. Yah siapa yang tak kenal sosok blasteran asal Jepang ini, yang lebih terkenal sebagai bintang film “panas”. Kehebohan film ini pun makin mengangkat nama Miyabi di tanah air, dari anak kecil sampai orang dewasa, dari yang awalnya tidak tahu menjadi penasaran ingin menonton film-filmnya. Karena kontroversi yang berlarut-larut, demo sana-sini, akhirnya film ini pun “mengalah” dan sampai pindah lokasi syuting ke Jepang.

Abrakadabra! Setelah beberapa lama kabar tentang film ini menghilang, tiba-tiba film yang disutradarai oleh Findo Purnomo ini muncul kembali dan siap untuk ditayangkan. Film ini ternyata tidak hanya berhasil mulus melewati lembaga sensor film, tapi juga berlenggang-kangkung tanpa adanya pertentangan seperti dulu. Sepertinya sudah cukup film ini melakukan promo-nya lewat kontroversi Miyabi, karena sekarang waktunya mengeruk keuntungan dari film yang nyata-nyata menjual “ketenaran” Maria Ozawa. Lalu apakah filmnya sendiri seheboh kontroversinya? Saya bisa menjawab tidak, malah film ini bisa dibilang masih “sopan” ketimbang film-film horor berbau mesum yang juga kerap menuai kontroversi itu. Aneh, tampaknya kontroversi sudah menjadi bagian dari cara film-film kita berpromosi, entah itu karena filmnya terlalu banyak adegan “dewasa” atau salah-satu pemerannya yang bintang porno.

Kembali ke “Menculik Miyabi”, filmnya sendiri dibuka dengan Miyabi yang punya tugas untuk mengantar hadiah bagi pemenang undian produk coklat yang dibintanginya, yah kebetulan pemenangnya berasal dari Jakarta, kesanalah tujuan Miyabi atau Maria Ozawa ini. Di Indonesia, tepatnya di Jakarta, tiga sekawan yang sama-sama menggemari Miyabi sudah tidak sabar menunggu idolanya tiba di bandara. Kevin, Bimo, dan Aan yang selalu jadi bahan cemoohan di kampusnya ini, bisa dibilang kelompok “cupu”, mengetahui Miyabi akan ke Jakarta dari sebuah blog rahasia yang sebelumnya mereka lihat. Tanpa basa-basi mereka langsung meluncur ke tkp, namun ketika mereka sampai, ternyata tidak hanya mereka yang menunggu Miyabi, di bandara sudah berkumpul fans Miyabi lainnya. Kevin dan kawan-kawan pun mencoba taktik lain untuk bisa ketemu idolanya tersebut tanpa harus bersaing dengan fans-fans lainnya ini.

Seperti tertimpa durian runtuh, Kevin cs justru berpapasan dengan Miyabi yang mereka tunggu-tunggu. Kerumunan fans pun langsung menyerbu dan dengan gesit, Kevin cs segera “menyelamatkan” Miyabi. Tapi ternyata belakangan diketahui wanita yang berada di mobil bukan Miyabi, melainkan Gadis Taiwan yang mirip dengan Miyabi, sampai namanya pun juga ikut-ikut mirip. Mie Yao Bie yang kehilangan paspornya, terpaksa harus menginap di rumah Kevin. Dari sinilah kekacauan demi keonaran bermula. Nama Miyabi memang dimanfaatkan dengan maksimal untuk mendokrak kesuksesan film ini, namanya bagai etalase cantik yang akan mengundang para penonton untuk datang berbondong-bondong ke bioskop. Apalagi ditambah rasa penasaran, seperti apa sih film yang sempat bikin heboh ini dan kaya apa sih Miyabi bermain di film Indonesia.

Film ini mengawali ceritanya dengan lumayan mencuri perhatian, dengan pengambilan gambar di Jepang dan pemain-pemain asli dari negeri sakura tersebut, tentu lengkap dengan bahasa Jepang dan juga Miyabi. Mood yang dirasakan selama beberapa menit ini pun langsung berbeda, rasanya seperti bukan menonton film Indonesia. Findo Purnomo tampaknya mampu menguasai filmnya untuk beberapa saat dan berhasil membuat saya senyum dengan segala suasana serba Jepang ini. Tapi semua itu langsung berubah, senyum di wajah saya pun langsung memudar perlahan, berganti menjadi wajah bosan setengah mati. Kehadiran Rizky Mocil dengan geng-nya yang dipermak secupu-cupunya dan sering berkata “temans” ini –walau porsi kemunculannya sedikit– tapi tetap saja mujarab dalam hal mengurangi mood saya secara drastis.

Film ini punya segudang hal yang mengganggu –film komedi seharusnya bisa membuat nyaman penontonnya– dari para pemainnya sampai kemasan komedi yang ditawarkan. Berbicara soal komedi yang menjadi nyawa film ini, semua kelucuannya sudah bisa ditebak dari awal, bahkan keseluruhan cerita sampai akhir tidak ada yang baru. Film ini sepertinya hanya mencomot satu-persatu elemen komedinya dari film-film lain, dan parahnya menonton film ini sama seperti kita berada di rumah dan menonton film tv bukannya film kualitas bioskop. Hasilnya adalah “Sepi” kualitas, itulah hasil formula yang ditawarkan film yang diproduseri oleh Ody Mulya Hidayat ini. Jika kontroversi membuat filmnya heboh, filmnya sendiri tidak seheboh itu, tidak ada yang istimewa, dan bisa dibilang hanya sebuah komedi remaja yang “lemah”.

Plot cerita yang tidak bisa diandalkan dan komedi yang gagal dalam misinya membuat seisi bioskop tertawa, ditambah parah dengan para pemain yang juga gagal dalam memerankan lakon yang “bersahabat”. Beberapa pemain muncul sangat mengganggu dengan kebodohannya yang terlalu bodoh dan super cerewetnya yang tidak wajar. Sebuah akting yang biasanya bisa dilihat di sinetron-sinetron tanah air. Setidaknya hanya Miyabi yang bisa berakting senatural-mungkin di film ini, sayangnya dia sekali lagi hanya dijadikan sebuah hiasan cantik, yang hanya muncul diawal dan diakhir film. Secara keseluruhan kita akan dikecewakan tidak hanya dari satu jam lebih durasi filmnya yang hanya berisi komedi-komedi tak lucu, cerita dangkal mudah ditebak, dan pemain-pemain yang super-annoying. Tapi juga kecewa karena rasa kangen kita terhadap film Indonesia yang berkualitas belum juga terobati.