I’m gonna capture Captain Industry! ~ Arthur Poppington

Tiap manusia punya topeng “superhero”-nya masing-masing, setiap individu pun punya cara masing-masing merefleksikan kebaikan dalam dirinya. Tidak harus punya kekuatan super layaknya jagoan-jagoan di komik untuk bisa menolong sesama, tidak harus dalam skala besar pula. Mulailah dengan skala kecil seperti menolong teman, keluarga atau tetangga, baru berpikir untuk menyelamatkan dunia. Sebuah semangat “superhero” itu coba diperlihatkan oleh orang biasa seperti Arthur Poppington, bahkan dia bisa dibilang terlalu sederhana untuk dikategorikan sebagai superhero. Dia bukan superman yang bisa terbang dan punya kekuatan super mengangkat pesawat dengan satu tangan atau batman yang punya perlengkapan canggih untuk membasmi musuh-musuhnya. Arthur membela kebenaran hanya dengan peralatan seadanya plus kekuatan sederhana bernama hati.

Seragam serba hitam, helm lengkap dengan kamera kecil, riasan hitam di kedua mata, dan senjata perang dunia kedua berupa tongkat pukul di tangan, begitulah penampakan Arthur ketika berkeliaran di malam hari mencari “mangsa”. Lambang “D” di kostumnya yang sangat mencolok, melengkapi keberadaanya sebagai superhero bernama “Defendor” yah bukan “er” tapi dengan “or”. Misi utama Defendor hanya satu yaitu menghancurkan musuh bebuyutannya “Captain Industry”, yang lucunya belum pernah dia temui. Apa yang selama ini Arthur ketahui adalah musuhnya tersebut sudah “mengambil” sang Ibu. Jadi dengan bekal balas dendam pribadi, Arthur tidak henti-hentinya mencari si kapten. Takdir pun mempertemukan Arthur dengan Katrina Debrofkowitz, seorang PSK yang tidak sengaja sempat ditolong oleh Arthur.

Memanfaatkan “keluguan” Arthur, Katrina memberitahu jika dia tahu siapa sebenarnya Captain Industry. Semua bantuan Katrina semata-mata dilakukan demi uang dan dia terus berbohong kepada Arthur untuk keuntungannya sendiri. Tapi lambat laun Katrina sadar atas kebaikan Arthur dan simpati dengan apa yang dilakukannya. Sedangkan Arthur sendiri harus rela babak belur setiap malam dalam upayanya menemukan musuhnya yang kali ini bukan lagi halusinasi, tetapi nyata seorang bandar obat-obatan dan mafia yang berbahaya. Gigi yang tanggal, wajah penuh luka, dan tulang-tulang yang serasa remuk tidak menghentikan Defendor, bahkan dia terus gencar melakukan aksi-aksi “vigilante” yang beresiko membunuh dirinya sendiri.

Seperti halnya dengan kesederhanaan yang ditampilkan Defendor, keseluruhan film ini juga tampil sederhana. Film yang dibintangi oleh Woody Harrelson sebagai Arthur Poppington (Defendor) ini bukan film berbujet besar dan berembel-embel mahakarya blockbuster di musim panas. Sebaliknya apa yang ditawarkan film ini adalah sebuah kekuatan yang berasal dari cerita, drama berbalut action yang solid tanpa sedikitpun dihias oleh efek-efek canggih. Namun jangan buru-buru menilai film ini akan menjadi action yang “lame” atau membosankan karena ketiadaan adegan obral CGI. Dengan bujet yang sepertinya tidak besar, Peter Stebbings nyatanya mampu memaksimalkan cerita yang berakar dari pondasi sederhana tentang seorang yang berlagak seperti superhero. 95 menit rasanya sudah cukup untuk menjadi saksi lahirnya pahlawan baru ini.

Film yang merupakan debut penyutradaraan Peter Stebbings ini (dia juga menuliskan ceritanya), mampu memikat penontonnya dengan aksi Defendor dari awal kemunculan. Jika Batman memiliki “batmobile”, Defendor tidak mau kalah, dia punya truk besar yang siap mengantarnya untuk menghajar penjahat. Keunikan-keunikan yang diperlihatkan Defendor tidak berhenti sampai kendaraannya, tapi juga senjata-senjata yang dipakainya untuk mempertahankan diri. Selain tongkat pemukul, Defendor memang tidak memiliki pistol ataupun senjata mematikan lainnya, tapi dia dilengkapi kelereng yang siap dilempari ke musuh-musuhnya. Aneh, tunggu sampai anda melihat botol kecil yang isinya lebah-lebah. Keunikan tiada duanya ini, juga tergambar pada sikap dan tingkah laku Defendor sendiri, walau dengan senjata ala kadarnya, dia tidak pernah takut berhadapan dengan penjahat yang memakai senjata.

Peter Stebbings menggabungkan uniknya Arthur dengan alter egonya yaitu Defendor dengan cerita yang mengalir bersahabat dan nyaman untuk diikuti, tidak membosankan dan juga ringan untuk dicerna, yah sesederhana pikiran yang ada di otak Arthur. Ketika kita menikmati menit demi menitnya, tanpa sadar Peter menghipnotis kita untuk simpati kepada Defendor. Apalagi didukung oleh akting Harrelson yang dengan baik melebur dengan perannya sebagai Arthur dan juga Defendor. Aktor yang tampil liar sebagai Tallahassee di Zombieland ini, kembali menampilkan akting yang memukau dan bermain apik dengan suara berat ketika berada di balik helm Defendor. Harrelson mampu dengan baik membawakan karakternya untuk merangkul kita sebagai penonton, untuk masuk ke dunia Defendor dan bersama-sama dengannya membela kebenaran.

Menghibur, itulah kata yang tepat untuk film ini, lewat cerita yang dikemas menarik oleh Peter, yang mampu mengarahkan setiap plotnya dengan manis dan menyentuh. Walau tidak ditambal oleh pernak-pernik mewah efek CGI, film ini telah mampu membuktikan dirinya sebagai film “superhero” yang membanggakan. Defendor berhasil menjadi pujaan yang tidak norak, beraksi dengan hati, dan berhasil mencuri simpati kita untuk tergerak mendukungnya di setiap aksi “vigilante”-nya. Berharap Defendor dapat terus menjaga kita dari orang-orang jahat dan tidak berakhir dengan peluru yang bersarang di dadanya. Seperti itulah saya menggambarkan Defendor, seperti layaknya superhero nyata, karena film ini memang punya semangat “superhero” yang patut disebarkan. Defendor tak ubahnya seperti suntikan moral, yang menginjeksi kita dengan bisikan-bisikan kebaikan. Sebuah tontonan yang tidak membosankan, bahkan untuk ditonton ulang. Enjoy!