People had more than they needed. We had no idea what was precious and what wasn’t. We through away things people kill each other now. ~ Eli

Siluet masa depan, mungkin kata-kata yang cocok untuk mewakili visualisasi yang coba dilukiskan oleh Albert Hughes dan Allen Hughes di “The Book of Eli”. Sebuah proyeksi suram yang coba di tampilkan oleh duo sutradara yang kerap dijuluki dengan The Hughes Brother ini, mengundang kita untuk bertanya-tanya apa yang sebenarnya terjadi dengan bumi dimana Eli (Denzel Washington) sekarang hidup. Lekukan-lekukan kehancuran dan hitam pekat kehidupan terpigura dengan “manis”, yah manis namun hampa layaknya bentangan padang pasir yang sekarang menyelimuti tanah subur peradaban manusia. Semua tampak mati tak bernyawa, begitu pula kota-kota yang dulu pernah ramai oleh suara bising manusia yang berseliweran menumpuk impian, harapan, kekayaan, pahala, dan juga dosa. Melalui perjalanan Eli kita akan meneropong jauh ke masa depan, dimana diceritakan dunia yang terlahir kembali dari puing-puing perang besar yang terjadi 30 tahun silam. Kini yang tersisa dari perang (perangnya sendiri tidak pernah dijelaskan secara rinci, mungkin perang nuklir) tersebut hanyalah kematian.

The Hughes Brother tentu tidak akan membiarkan perjalanan Eli melintasi aspal tandus tak berujung ini berakhir membosankan dengan rutinitas pria berkacamata hitam lengkap dengan tas besar dan senjata ini mencari makan dan “survive” di Amerika yang sekarang berembel-embel “post-apocalypse”. Eli yang mempunyai misi pribadi menuju ke barat ini tak begitu saja lepas dari ancaman yang mempertaruhkan nyawanya. Penghuni bumi tak lagi ramah di masa ini (apakah kenyataannya ramah?), mereka tak mengenal hati nurani, tanya mereka untuk menulis atau membaca, itu pun hal yang sulit dikerjakan. Bodoh dan tak punya rasa kemanusiaan, melengkapi dunia yang tak lagi punya warna ini. Eli yang seorang diri berjalan setapak demi setapak tanpa teman ataupun “bodyguard” hanya akan menjadi sasaran empuk para perampok tak punya otak ini, yang ada di otak mereka hanya bagaimana mendapatkan barang milik orang lain untuk bisa “survive” hari ini dan esok.

Disinilah secara mengejutkan sutradara yang menghilang selama 10 tahun lamanya (well, karya terakhir mereka adalah “From Hell” di tahun 2007) ternyata menambahkan warna berbeda ke dalam filmnya. Sekilas kita mengira Eli hanyalah manusia yang beruntung masih bisa hidup dan tidak punya kemampuan apa-apa, namun itu semua diubah ketika dia harus berhadapan dengan maut. Eli diperlihatkan mahir “bermain” dengan machete-nya, kawanan perampok tak ubahnya seperti keju yang terpotong-potong dengan mudah. Hughes Brother mengemas adegan action-nya tidak setengah-setengah, dengan berani mereka menghadirkan aksi-aksi Eli yang sadis menebas musuh-musuhnya. Di awal film, kekerasan yang bukan lagi berada di level ringan ini sudah mulai menjilati adrenalin kita, menghibur dengan caranya sendiri lewat tangan terpotong dan kepala yang terputus karena tebasan Eli. Tetapi jangan dulu menyimpulkan ini adalah film yang akan hanya mengobral adegan kekerasan dan action murahan. Semua tambalan action tersebut tertata rapih dengan koreografi yang tidak asal. Di film berdurasi 118 menit ini pun, Denzel melakukan aksi-aksi perkelahiannya tanpa stuntman alias mencontoh ala Jacky Chan.

Bagian demi bagian plot cerita bergulir datar sampai akhirnya menghantarkan Eli ke sebuah kota kecil yang dipimpin oleh Carnegie (Gary Oldman), seorang yang mempunyai visi yang sebenarnya “mulia” namun tercemar oleh niat buruk ingin menumpuk kekayaan dan menguasai manusia lain demi kepentingan diri sendiri. Sekali lagi kota ini dihiasi pesona “post-apocalyse” yang kental. Aroma kehancuran tercium tajam lewat puing-puing kota mati yang sekarang dihuni oleh manusia-manusia baru yang tersesat. Tak pernah mengenal Tuhan, tak punya panduan hidup, apalagi aturan dan hukum, mereka tak pernah membaca dan kehilangan sumber pengetahuan. Karena ternyata semua buku yang ada didunia ini sudah hangus terbakar bersama perang. Eli dengan misi ke baratnya pun dikisahkan memiliki buku yang kelak bisa menyelamatkan umat manusia. Sebuah buku yang akan menjadi panduan manusia menapaki hari esok yang tampaknya tidak begitu cerah.

Carnegie pun tidak menyia-nyiakan kedatangan Eli, buku yang selama ini dia cari pada akhirnya diantar langsung oleh orang asing dan dia sangat menginginkan buku tersebut bagaimanapun caranya. Namun sayangnya Eli orang yang sangat keras kepala dan lebih memilih meninggalkan kota tersebut daripada harus bergabung dengan Carnegie dan teman-temannya, tentu saja Eli juga tidak begitu saja melepaskan buku yang dibawanya untuk jatuh ke tangan Carnegie. Hughes Brother sudah memoles dunia paska kiamatnya dengan amat kejam tanpa ampun, lewat aksi “tegas” si pembawa buku. Lalu ketika cerita mulai berkembang menjadi perseteruan antara Eli vs. Carnegie, film ini menjadi semakin menarik sekaligus terlunta-lunta. Hughes Brother memang patut diacungi jempol ketika tampil membawakan tema “post-apocalypse” yang berbeda, apalagi ketika menyadari bahwa makin menuju ke akhir sebuah pesan religius di film ini makin terasa. Paska kiamat, cerita yang religius, dan menariknya setting kehancuran, menjadi resep andalan film ini untuk bisa disukai penonton.

Cukup disayangkan, resep menarik yang ada ternyata tidak didukung oleh plot dan juga segi akting. Berbicara soal plot, dari awal bisa dikatakan film ini berjalan terlunta-lunta dengan cerita berkisar pada bagaimana caranya Eli melindungi dirinya dan bukunya. Walaupun cerita berkembang dengan masuknya tokoh sidekick- seperti Solara (Mila Kunis), tambahan adegan action dimana-mana, dan misteri yang lambat laun terkuak, semua itu sepertinya tidak menghantar film ini menjadi sesuatu yang istimewa. Denzel Washington yang punya porsi mendominasi juga sedikit mengecewakan, aktingnya dirasa lemah dan kurang mengundang simpatik. Begitu pula Gary Oldman, walau tampil liar menjadi seorang Carnegie, aktingnya juga kurang ditempa dengan sempurna. Hasilnya pemeran Gordon di dua seri Batman ini, kurang maksimal mengeluarkan kebolehannya berakting.

Akting biasa dari keduanya pun berimbas pada perseteruan Denzel vs. Oldman yang terlihat “dingin” dan tak berchemistry. Tidak usah membahas soal Mila Kunis, jelas peran dia disini hanya sebagai pemanis, lumayan-lah sebagai seorang side-kick. Secara keseluruhan “The Book of Eli” tampil asyik dalam menggambarkan sebuah dunia dalam pose terburuknya, kehancuran yang dramatis. Terlepas dari ceritanya yang terkikis oleh plot yang lumayan datar, tapi twist di akhir dan iringan musiknya terbukti sudah menyelamatkan film ini dari “apocalypse” yang sebenarnya. Pesan-pesan kehidupan dan relijius-nya menjadi sebuah hiasan tersendiri, setidaknya bisa “menghangatkan” hati nurani. Pesan-pesan tersebut juga hadir bukan bermaksud untuk menceramahi tetapi mengingatkan lewat cara tontonan yang menghibur. Apakah Hughes Brother akan menghilang selama 10 tahun lagi? enjoy!