Wanita hamil dan anak-anak dilarang masuk!

Film dibuka dengan menggiurkan lewat sebuah pesta lingerie yang diadakan perusahaan pemasok pakaian dalam terkenal bernama Heaven’s Secret, yah walau diceritakan bonafit dan terkenal tetap saja pestanya mirip acara ulang tahun murahan, bedanya disini banyak wanita-wanita tak berbusana lengkap asyik bergoyang di tengah hentakan musik disko. Anehnya iringan musik di pembuka film ini tidak sesuai  (well diawal saja sudah banyak sajian aneh, entah bagaimana isi film ini secara keseluruhan) karena bukannya geleng-geleng kepala kita akan diajak “headbanging” bersama Koil. Tapi terima kasih karena gw bisa menutup mata sebentar menikmati alunan merdu “Aku Lupa Aku Luka”. Tidak mau kehilangan momen terbaik lewat suguhan tarian-tarian erotis lengkap dengan belahan-belahan dada dimana-mana, terpaksa dengan lembut gw membuka mata ini.

Dari pesta ini kita akan diajak berkenalan dengan pemilik baru HS (Heaven’s Secret), tapi maaf gw lupa namanya (LOL). Pria yang kerap akan kita liat hobi sekali memakan pakaian kantor ini (walau di hutan nantinya), punya rencana untuk melakukan sesi pemotretan bersama fotographer pilihannya Damian, yang tak lain adalah temannya. Maka terpilihlah 3 orang model untuk proyek ambisius HS ini, mereka adalah Farah, Wiwid, dan Gabriella si “fallen angel”. Entah unik atau bodoh, lokasi pemotretan dipilih hutan di daerah Werenggeni, yang notabennya jauh dan terpencil, alasannya karena hutan ini masih perawan dan cocok untuk proyek ini. yah sudah kita ikuti saja apa maunya film ini dan kita tunggu siapa yang akan mati terlebih dahulu. Setelah lengkap, mereka semua yang terdiri dari pemilik HS, Damian dan asistenya Inggrid, 3 orang model, seksi repot dan seorang make up artist, berangkat dengan menggunakan pesawat terbang.

Pesawat terbang tiba di tujuan, sebuah desa, yah bukan di bandara. Sepertinya Rizal telah memainkan twist-nya disini. Kita secara tidak sadar sudah memasuki dunia supernatural atau bisa jadi sci-fi. Coba bayangkan pesawat yang tampak tidak bergerak dari awal tersebut, tiba-tiba pindah ruang dan waktu dan sampai di sebuah desa, bukan mendarat di bandara, tapi tepat di tengah pedesaan dan penduduknya. Mungkin juga pesawatnya mendarat tidak layaknya pesawat-pesawat normal yang perlu landasan panjang, tetapi mengadaptasi cara helikopter mendarat, secara vertikal. Kita tinggalkan fenomena tidak masuk diakal tentang pesawat, karena film ini punya setumpuk plot yang akan memutar otak termasuk hal-hal yang tidak masuk di akal. Akhirnya setelah melihat keanehan sepanjang jalan, mulai dari dukun yang sedang membaca mantra mengusir “sesuatu” di desa sampai orang-orang yang berlarian di jalan, akhirnya tanpa punya firasat apa-apa. Tim HS ini sampai di tempat tujuan. Kalau gw udah pulang lagi sih cari tempat lain, wong belum mulai aja udah banyak yang aneh-aneh, bego nih…hahaha.

Okay Damian dan kawan-kawan hedonnya tiba di penginapan, sebuah rumah gubuk yang akan menjadi tempat tinggal selama mereka ada di hutan ini. Biasanya ada satu orang di antara sebuah kelompok yang punya predikat “asshole”, dan memicu setan dan kesialan untuk datang tak dijemput. Si pemilik HS-lah yang dipercaya memegang predikat mewah ini, karena dia dengan sombong dan tidak rajin menabung, mengobrak-abrik sesajen yang sengaja di tempatkan di hutan yang memiliki pantangan “wanita hamil tidak boleh masuk ke hutan” ini. Malam menjelang, ketika sebagian orang sedang beristirahat, seorang kru yang bernama Amet menjadi orang pertama yang melihat sosok makhluk hitam, kurus dan berambut panjang (seperti nenek-nenek). Hantu penghuni hutan Werenggeni yang bangga dengan kuku-kuku panjangnya yang habis di menicure ini (kemunculannya selalu dimulai dengan penampakan tangan dibalik sebuah pohon) menjadikan Amet sebagai sarapan pertamanya, senangnya hantu ini mendapat begitu banyak pasokan makanan dan persediaan susu yang melimpah dari salah satu model HS.

Cukup dengan sinopsis panjang lebar yang makin membuat gairah menulis ini menurun drastis. Dengan polosnya, awalnya gw kira “Taring” adalah sekuel dari film Mantovani sebelumnya yaitu “Air Terjun Pengantin”. Ternyata film ini sama sekali berbeda dari film yang fenomenal dengan bintang utama Tamara Bleszynski tersebut. Tetapi kita bisa tepuk tangan, karena kebodohan yang berlimpah dari film yang mengklaim sudah ditonton 500 ribu orang itu, berlanjut ke film yang kali ini dibintangi oleh Fahrani ini. Seperti sudah di singgung di sinopsis lelucon diatas, film sudah mengawali kekonyolan demi kekonyolan dengan deretan adegan tidak masuk diakal, begitu pula ketika horor yang menjadi nyawa film ini mulai merangkak keluar dari persembunyiannya, sama saja tidak masuk diakal dan jauh dari kata seram atau menakutkan. Mantovani boleh saja bangga dengan genre barunya yang dia sebut “Creature Thriller”. Tapi ketika dia mengklaim punya genre yang fresh, hal tersebut tidak berlaku ketika kita melihat langsung filmnya, film ini sama saja dengan film-film horor busuk yang belakangan hadir (thanks to koya pagayo dan KKD).

Tidak ada yang baru, kecuali sosok “pembunuh” berjuluk dedemit Werenggeni itu sendiri yang jika diganti dengan kuntilanak atau pocong, maka tidak ada yang berubah dari segi strategi menakuti-nya. Film yang ceritanya sekali lagi ditulis oleh Alim Sudio ini, bukan lagi pincang sebelah dalam menyajikan kisah horor yang menakutkan tapi sudah terlanjur teramputasi, gagal total, babak belur, hancur lebur. Dedemit yang mendiami pohon yang punya mulut ini (lebih mirip pohon ber-vagina) lebih annoying ketimbang setan-setan koleksi Koya, lebih berisik ketika muncul dan lebih narsis. Anehnya seperti tidak punya ide untuk si setan, maka dibuat-buat kalau dedemit ini punya kelemahan dengan cahaya. Rizal punya seribu cara untuk membuat kita tertawa, yah gw bukannya takut melihat film ini tapi justru tertawa terbahak-bahak. Selain cara membuat kaget yang mudah ditebak, si dedemit dipaksa bergelantungan, berlari zig-zag, sampai harus kayang.

Jika spiderwalk ala “The Exorcist” bisa menjadi momen melegenda, kemungkinan kayang ala dedemit di hutan Werenggini juga akan sama-sama melegenda. Namun bukan karena menakutkan tetapi terlalu bodoh dan adegan setan kayang ini dimunculkan berulang-ulang. Gw yang awalnya tertawa, malah justru jadi bosan, kayang lagi kayang lagi. Gw yakin setan-setan lain di Werenggini juga ikut menertawakan begitu tersiksanya teman mereka si dedemit, dipaksa ini-itu tapi hasilnya malah komedi. Minus tampaknya menjadi kelebihan film ini, dari horornya yang sudah dibahas sampai akting pas-pasan para pemainnya. Ketika para tim hedon ini dengan sombong berpakaian ala ke club, padahal mereka berada di hutan, wardrobe yang gw bilang terlalu berlebihan itu malah jadi bumerang ketika akting mereka diluar dugaan sedatar-datarnya dada si make-up artist. Takut seperlunya, kaget seperlunya, dan teriak sesukanya. Semua akting yang jenius ini ditambah mendidik dengan dialog-dialog ajaib ala film-film KKD.

Hiburan satu-satunya adalah ketika melihat usus terburai dan tubuh terbagi menjadi dua bagian (gw aneh?) itu pun dikecewakan karena masih terlihat fake. Atau bagi pria-pria kesepian seperti gw, adegan sesi pemotretan yang mengobral cewek-cewek seksi hanya dalam balutan pakaian dalam, juga jadi salah satu hiburan di film ini. Adegan lingerie yang cukup memakan durasi film ini, makin lengkap ketika semua model terjun ke danau dan melepas bra mereka masing-masing. Sayang beribu sayang, celaka tiga belas, sudah jatuh tertimpa nangka busuk, adegan yang sudah terkemas aduhai tersebut harus dirusak oleh si make-up artist benama Cici yang sudah siap telanjang dan ingin ikut mandi (sia-sia gw makan enak sebelum nonton tadi, karena semua makanan keluar lagi). Secara keseluruhan film ini sudah masuk ke dalam list “kancut daur ulang”, horor yang sangat tidak istimewa dan mudah dilupakan dari seorang Rizal Mantovani yang semoga tidak terjerumus ke dalam black hole, tempat dimana Nayato dan KKD berada.