Beneran Mah, di apartemen ini ada hantunya ~ Alice

Koya Pagayo membuat film horor, ah itu sih sudah biasa. Okay gimana kalau ternyata dia mampu membuat horor yang sedikit lebih baik ketimbang film-film-nya yang belakangan ini bertaburan. Sebuah film horor yang secara mujarab bisa menyembuhkan pendarahan otak yang belum juga sembuh akibat seri G4UL (18+ dan Belum Cukup Umur) –sekedar info seri ini berlanjut di “Akibat Pergaulan Bebas” yang sebentar lagi tayang– dan juga mengobati luka memar akibat hantaman tabung gas di “Affair”.  Jadi ketika gw sudah tak memiliki cukup energi dan juga mood untuk mengulas film-film Koya, ditambah bosen juga lama-lama bikin review yang isinya hanya kata-kata “motivasi”. Film ini diibaratkan sebagai “charger” untuk kembali mengisi baterai yang sudah dalam keadaan 0% menjadi hmmm tidak usah sampai full, cukup 60% saja.

“Lewat Tengah Malam” dengan bangga (serius?) gw menyebutkannya sebagai sebuah penyegaran di kala film-film Koya yang biasanya punya efek samping penurunan IQ atau timbul gatal-gatal di sekitar jari yang selalu inginnya menulis yang jelek-jelek tentang film yang digarap oleh sutradara punya lebih dari satu kartu nama ini. Jadi apa kelebihan film ini dari film-film Koya yang lain? Selain kesamaannya yang lagi-lagi memakai ruangan sempit dan lampu remang-remang. Film yang menampilkan Joanna Alexandra sebagai Alice  ini (bukan Alice di Wonderland lho, bisa juga dibaca dengan Elis) mulai bercerita soal Ibu dan anak gadisnya yang masih duduk di bangku SMA, Alice dan mama-nya baru saja pindah ke sebuah apartemen, hmm alasannya untuk memulai hidup baru. Harapan untuk kehidupan baru sepertinya terkabul, sayangnya tidak seperti yang mereka harapkan. Tara (Cathrine Wilson) selalu saja dibuat berang dengan kelakuan anak perempuannya yang mengaku sering diganggu makhluk halus. Yah kenyataannya itu memang bukan rekayasa Alice, dia berkata jujur telah melihat “teman” baru sejak pindah ke apartemen tersebut.

Selain di apartemen, Alice juga selalu saja “ditemani” hantu anak SMA ketika berada di sekolah. Hantu yang sering menampakkan dirinya sedang menangis di toilet ini ternyata mati bunuh diri dengan menyayat lengannya sendiri, beritanya pun sampai masuk mading sekolah. Pada saat Alice merasa semua orang tidak mempedulikannya, untungnya ada teman baiknya Ramon (Andhika Pratama) yang selalu bisa jadi tempat mengadu. Karena mamanya sendiri tidak lagi percaya dengan permasalahan hantu, maka hanya Ramon yang bisa jadi tempat curhat Alice. Sudah bisa ditebak, kemunculan hantu-hantu di sekitar Alice makin lama makin mengganggu kehidupannya, apalagi makin sering saja hantu wanita ini muncul meneror Alice. Siapakah sebenarnya hantu yang selama ini berkeliaran di sekitar Alice? dan meninggalkan jejak-jejak yang hanya membuat Alice makin dimarahi oleh mamanya.

Hantunya usil banget ngotorin tembok rumah orang, dia enak bisa ngilang, alhasil Alice deh yang kena omel mamanya yang katanya memiliki penyakit tumor di otaknya, yang berakibat yah emosi sang mama yang MILF ini sangat labil. Selain logo “Lewat Tengah Malam” yang bisa dikatakan menarik,  ternyata Koya juga lumayan sukses menyajikan formula horor yang seperti gw bilang sebelumnya “menyegarkan”. Selain berbeda dari film-filmnya yang sebelumnya dan yang akan datang, gw sekarang bisa teriak “Akhirnya Koya bikin film utuh!!”. Karena selama ini gw melihat film-film buatannya, seperti film yang asal buat dan hanya berupa potongan-potongan gambar yang ditumpuk menjadi satu tanpa cerita yang jelas, awal yang buruk lalu diakhiri dengan ending yang ala-kadarnya. Okay itu juga film yah utuh dan namanya film juga walau nga jelas hahaha.

Kembali ke film buatan tahun 2007 ini, disini Koya Pagayo secara mengejutkan terampil menambahkan unsur cerita yang menarik (yang tidak ada di film-filmnya yang lain) lewat cerita yang ditulis oleh Ery Sofid (ternyata dia juga yang menulis 18+ dan Hantu Jeruk Purut). Tunggu sebentar, jadi seharusnya Koya dan Ery bisa donk bikin film-film yang punya mutu lebih, tapi kenapa malah jatuh ke kubangan yang sama. Seharusnya (lagi-lagi gw memakai kata seharusnya) duet mereka berdua bisa menghasilkan film yang lebih baik dari “Lewat Tengah Malam”, bukan malah membuat proyek-proyek yang pada akhirnya pasrah masuk ke list film-film kacrut dan dipuja oleh sekte vividism (hahaha). Film ini jujur bisa membuat gw penasaran dengan jalan ceritanya yang dari awal sudah membalut setengah otak gw dengan pertanyaan-pertanyaan. Baru kali ini gw bisa dibikin “betah” secara tulus dan ikhlas menonton film Koya, terbukti waktu tidak terasa dan begitu cepat berlalu ketika menyusun puzzle demi puzzle di film ini. Padahal biasanya walau durasi hanya 80 menit, Koya berhasil menyihir filmnya seperti sedang menonton serial televisi yang punya 10 episode (tahu sendiri lah berapa durasi per episodnya, bukan sinetron yah…ughh).

Entah harus menyesal atau tidak karena sudah mengetahui ending film ini, tapi gw punya taktik dengan mengelabui otak gw kalau tidak pernah tahu tentang twist yang ada di akhir film. Alhasil memang tidak berhasil hahaha, tapi gw sebisa mungkin menikmati setiap clue dan misteri yang disajikan Koya, yah kali ini gw menghargai usahanya dalam membuat gw takut sekaligus berpikir. Jarang-jarang film Pagayo mengajak gw buat mikir apa sih yang sebenernya terjadi dengan Alice, Mamanya, atau siapa sih hantunya? siapa juga wanita misterius yang mengaku tetangga sebelah?. karena biasanya ketika filmnya sudah tidak bisa dinikmati yang ada di pikiran ini hanya kapan filmnya akan selesai dan gw sudah tidak peduli dengan cerita apalagi orang-orang yang berseliweran di filmnya. Tapi berbeda dengan film persembahan Maxima Pictures ini, gw justru lumayan bisa menikmati plot yang dibangun dari awal, sampai akhirnya kita dibawa ke sebuah twist yang cukup hebat untuk ukuran film Koya. Walau twistnya sendiri sudah bukan ide yang orisinil tapi kalau nyatanya Koya niat mengolahnya, gw sekali lagi menghargainya.

Kesalahan film ini dan yang akhirnya membuat gw cukup terganggu dan berkata “Arrh kalau saja blablablabla..” justru bagaimana Koya mengemas teror dan menyajikan elemen horornya. Saat gw udah menerima ide cerita yang ada, satu-persatu nilai plus itu mulai berkurang satu-persatu. Padahal film ini sudah punya konsep dasar yaitu horor berbalut drama dan misteri yang mumpuni untuk dikembangkan lebih jauh dan berakhir menjadi tontonan yang menjanjikan. Tapi entah siapa yang merusak, Koya sendiri atau produser, film ini lembek dalam urusannya menakuti. Seperti biasa formula khas Koya dengan hantu becek dan kemunculannya yang mengesalkan ternyata menghiasi keseluruhan teror di film ini. Kemunculan hantu yang lumayan sering ini juga ditambah dengan efek suara yang hmm berlebihan. Hasilnya lagi-lagi horor yang tidak efektif dalam usahanya membuat bulu kuduk penonton berdiri, karena toh bisa dikatakan gagal.

Misteri yang nyata-nyata sudah mulai terbangun di awal film, mulai runtuh tak karuan ketika unsur horor mengoyak jalan cerita. Diperparah dengan akting tak mendukung dari jajaran pemainnya, yah kalau untuk film drama mungkin saja bisa cocok, tapi ini kan film horor dan akting mereka (termasuk Cathrine Wilson) jauh dari kata memuaskan. Hanya Joanna yang aktingnya bisa lebih lumayan dari yang lainnya, karena dia punya tanggung jawab besar (selain juga plot ceritanya) menjadi umpan dan menggiring penonton masuk ke dalam jebakan twist di film ini. Secara keseluruhan, walau Koya mencoba menyajikan sebuah film yang “lengkap”, dengan menghadirkan unsur drama percintaan, thriller, misteri, horor, dan ditambah twist di akhir. Film ini perlu beberapa langkah lagi untuk bisa dikatakan sebagai horor yang sukses. Namun jika ditanya apakah layak untuk ditonton, gw akan dengan yakin menjawab “why not”.

Rating: 2.5/5