No one knows we’re up here ~ Parker

Dan Walker (Kevin Zegers) sepertinya harus melupakan niatnya untuk bersenang-senang dengan pacarnya Parker O’Neil (Emma Bell) dan juga sahabat baiknya Joe Lynch (Shawn Ashmore). Karena akhir pekan mereka diakhiri dengan kelakuan bodoh yang mengubah liburan menjadi mimpi buruk. Setelah seharian bermain ski di pegunungan bersalju, Dan dan Joe memutuskan kembali ke atas bukit untuk meluncur lagi diatas es, merasakan ski yang sebenarnya. Seharian hanya mengajari Parker, membuat Dan, terutama Joe tidak punya kesempatan untuk berseluncur seperti biasanya. Parker awalnya tidak ingin ikut dan memilih untuk tinggal, namun karena sedikit paksaan, dia pun akhirnya meng-iyakan ajakan pacarnya untuk berseluncur lagi. Hari sudah malam dan penjaga sudah melarang mereka, ditambah akan ada cuaca buruk sebentar lagi. Namun dengan sedikit memaksa, mereka akhirnya dibolehkan untuk naik kursi gantung menuju ke atas bukit.

Keasyikan Joe dan kawan-kawan drastis berubah menjadi ketakutan, ketika lift tiba-tiba berhenti menanjak. Mereka mengira ini akan berlangsung sementara, ternyata perkiraan mereka salah. Mereka sekarang terjebak di atas ketinggian, tidak bisa turun dan tidak bisa meminta tolong kepada siapapun. Sekarang yang bisa mereka lakukan hanya menunggu dan berharap akan ada seseorang yang menolong. Dalam keadaan gelap, ketika lampu mulai dipadamkan satu-persatu, turunnya salju makin memperparah keadaan. Tingkat kepanikan makin naik saat mereka sadar, tempat ini akan dibuka kembali minggu depan. Satu-satunya hiburan adalah ketika sebuah mobil salju datang ke arah mereka, namun sialnya orang di dalamnya sama sekali tidak menyadari tanda yang diberikan. Alhasil “pertolongan” lewat begitu saja. Untuk menenangkan diri dan menunggu pertolongan lain datang, mereka hanya bisa saling bercanda dan berbicara apa adanya. Tapi semua itu tidaklah cukup jika rasa takut akan kematian makin membelenggu mereka. Salah-satu dari mereka harus berbuat sesuatu, sebelum semuanya terlambat.

“Frozen” menjadikan lanskap keindahan pegunungan salju dengan pepohonan pinus yang kering sebagai sumber inspirasi horor yang minimalis namun efektif dalam menyajikan kengeriannya. Adam Green cukup lihai menyertakan alam kedalam unsur pemacu adrenalin, hasilnya adalah sebuah cerita yang mengalir sederhana di atas tumpukan salju dengan cipratan-cipratan suspense, thriller, dan drama tergabung menjadi satu. Dengan cerita yang ditulisnya sendiri, Adam memberikan sebuah gambaran yang mengerikan ketika manusia dipaksa menunggu kematiannya sendiri. Memperlihatkan ketidakmampuan seorang manusia ketika sendirian harus melawan kekuatan tak terbayangkan dari apa yang dinamakan “mother nature”. Seperti halnya ketiga orang di film ini yang saling bertanya tentang kematian terburuk, kita juga mungkin pernah suatu ketika membayangkan cara mati seperti apa yang paling menyakitkan atau terburuk. Film ini melukiskan salah-satunya dan memberikan gambaran jika menunggu itu ternyata lebih buruk dari kematian itu sendiri.

Adam memang terbukti apik ketika berbicara soal mengeksekusi adegan-adegan sadis, mengemas plot-plot sederhana namun luar biasa mengerikan. Dia mengerti bagaimana cara membuat penontonnya merasakan sakit, ngilu, dan merinding kedinginan secara bersamaan melalui adegan-adegannya. Penyajian gambar yang sesekali memperlihatkan pemandangan bukit-bukit bersalju bukan dimaksudkan untuk memanjakan mata, melainkan menambah rasa suram, dingin, hampa, dan kesendirian yang menumpuk bersamaan, membentuk mood yang sangat pas di film ini. Mood tersebut membawa kita larut ke dalam film, melihat kenyataan tiga orang sedang terjebak dan tak bisa melakukan apa-apa, rasa simpati pada Dan, Joe, dan Parker pun tercipta kemudian. Ketika mood dan simpatik tercampur pas, tiba saatnya untuk Adam memainkan perannya kembali. Racikan ketegangannya mulai diaduk kembali, mengoyak emosi, serta menusuk titik peka kita untuk kembali hanyut kedalam cerita.

Ketika Adam melepaskan kejutan-kejutannya, itu adalah saat-saat terbaik film ini. Unsur kecil horor yang terlihat sederhana namun terbukti bisa membebani kita dengan rasa ngilu sampai ke ujung rambut. Cara Adam mengemas bagaimana tokoh utama di film ini untuk selamat juga cukup menarik, efektif dalam menciptakan ketegangan dan menjadi kelebihan film ini. Kekurangannya terletak pada bagaimana Adam menjaga tensi film ini, dia cukup banyak kehilangan “pegangan”, konsekuensinya adalah film menjadi agak membosankan di beberapa adegan. Ketegangan yang sudah tercipta dengan baik seperti sia-sia, terlupakan ketika tiba saat-nya waktu untuk “chit-chat”. Maksud Adam mungkin baik dalam membangun cerita dan emosi kembali kedalam film, tapi menjadikan pola film ini menjadi tidak terarah dan sekali lagi menjurus ke titik bosan. Apalagi ditambah dengan tempo film yang layaknya orang berjalan, yah lambat. Sedikit aneh ketika tahu bahwa film ini berdurasi 94 menit, karena ketika menonton waktu terasa sangat lama. Apakah itu berarti Adam berhasil “menipu” kita atau film ini benar-benar membosankan.

Kita tengok sebentar jajaran pemainnya, Kevin Zegers, Emma Bell dan Shawn Ashmore terbilang cukup baik dalam memerankan perannya masing-masing. Memaksimalkan porsi yang diberikan dengan pas, tidak buruk dan tidak berlebihan. Akting mereka cukup membaur dengan cerita dan level ketegangan yang coba dibangun Adam. Lakon yang mendukung setiap adegannya, dari awal film sampai akhir film yang menegangkan. Secara keseluruhan film ini tampil menarik, tidak terlalu buruk sebagai film yang menawarkan horor sebagai sajiannya. Kekurangan film ini bisa tertutupi dengan sajian-sajian spesial dari sang sutradara, walau sejujurnya tidak berhasil menutupi semua lubang kekurangan tersebut. Agak membosankan di paruh durasinya, namun film ini bisa membayar kekecewaan dengan jalinan cerita yang lebih baik ketika mendekati akhir film. Kematian memang mengerikan, tetapi ada yang lebih mengerikan dari itu. Enjoy!

Rating 3/5