Baby, I love this because you gave it to me, but it is one fuckin ugly tie ~ Teddy Daniels

Teddy Daniels (Leonardo DiCaprio), seorang US Marshal bersama rekannya Chuck Aule (Mark Ruffalo) ditugaskan untuk mengunjungi sebuah pulau terpencil bernama Shutter Island. Kedua orang penegak hukum ini bukan bermaksud untuk berlibur, melainkan melakukan penyelidikan atas hilangnya seorang pasien di pulau tersebut. Pulau yang hanya bisa diakses dari satu tempat ini memang dikhususkan untuk menampung para penjahat atau pun pelaku kriminal berstatus tidak waras. Rumah sakit yang didirikan dari bekas bangunan “perang sipil” pun jadi rumah untuk para pasien yang jumlahnya tidak sedikit ini. Ketika Teddy sampai di rumah sakit tersebut, dirinya sudah disambut dengan berbagai keganjilan dan sambutan yang dingin dari para penjaga, prosedur rumah sakit pun mengharuskan mereka masuk tanpa membawa senjata. Rumah sakit yang didatangi oleh Teddy tampak seperti benteng pertahanan lengkap dengan penjagaan yang ketat, wajar saja karena tempat ini dihuni oleh penjahat-penjahat yang tidak hanya berbahaya tapi juga gila. Hal yang tidak mungkin memang jika seorang bisa hilang begitu saja, Dr. John Cawley (Ben Kingsley) saja menyebut pasien bernama Rachel Solando tersebut seperti bisa menembus tembok. Kata sambutan yang diberikan dokter sekaligus pimpinan di rumah sakit ini, membuat Teddy semakin penasaran dengan misteri hilangnya Rachel. 

Penyelidikan awal Teddy, mempertemukannya dengan sebuah jejak tertulis dari Rachel. Sebuah kertas bertuliskan teka-teki ditemukan di kamar milik Rachel, tapi semua orang di ruangan tersebut tidak mengerti apa maksud dari pesan tersebut, termasuk Teddy. Dokter John beserta stafnya pada awalnya terlihat bekerja sama dengan Teddy, namun seiring waktu berlalu dan penyelidikan juga semakin dalam, mereka seakan enggan buka mulut. Pasien dan staf yang sempat ditanyai oleh Teddy seperti memberikan kesaksian palsu dan menyembunyikan kebenaran. Akses Teddy menuju data-data penting berupa informasi tentang pasien, dokter, dan staf rumah sakit pun terhalangi oleh berbagai macam larangan yang tidak masuk akal. Wewenangnya sebagai marshal tampak tidak berguna dan ruang geraknya untuk memecahkan kasus ini kian sempit. Ditambah ada dorongan personal yang menghantuinya selama berada di rumah sakit ini, sang istri yang sebenarnya sudah meninggal selalu muncul menyuruhnya untuk melakukan sesuatu. Pikiran Teddy juga sering “kembali” ke masa lalu, memberinya ingatan kelam pada saat dia menjadi tentara perang dunia kedua. Tekanan mental yang semakin menusuk dan tingkat stress yang memuncak, membuat Teddy harus melakukan apa saja agar kasusnya selesai. Badai besar pun datang, akses ke dunia luar terputus, Teddy memutuskan untuk mencari sendiri bukti, petunjuk, apapun itu yang kiranya bisa mengarahkan dia kepada keberadaan Rachel Solando. Apakah Teddy berhasil menemukan Rachel?

Clint Eastwood melakukannya lewat Mystic River, begitu pula dengan Ben Affleck yang sukses menggarap Gone Baby Gone. Kali ini giliran Martin Scorsese untuk ikut serta mengadaptasi novel karangan Dennis Lehane, mengubahnya menjadi sebuah suguhan sinema yang menghipnotis dan kurang lebih mendekati sebuah karya masterpiece. Cerita yang jenius dari Dennis yang selalu bisa menghadirkan kejutan-kejutan cerdas, ikut tertular juga ke Shutter Island yang seharusnya sudah rilis dari tahun lalu ini. Di tangan seorang Scorsese yang brilian, rangkaian kata-kata magis ini menjadi semakin luar biasa ketika tiba di sebuah layar lebar dan bercerita lewat balutan drama dan thriller psikologis. Scorsese sukses menggiring kita masuk ke dalam dunianya yang kelam dengan aroma ghotic yang kental bercampur dengan visual-visual mencengangkan yang mewakili isi kepala Teddy. Menelusuri Shutter Island tak beda dengan terjebak di sebuah labirin ciptaan sang sutradara yang sukses memboyong 4 Oscar untuk The Departed ini.

Scorsese sukses menempatkan kita seperti tikus yang mencari jalan demi sebuah keju di lorong-lorong labirin yang lengkap dengan dinding-dinding buntu dan juga jebakan yang dijamin membuat anda harus mengulang langkah dari awal (seperti bermain ular tangga saja). Atmosfir misterius yang mewarnai film ini dengan ritme yang terbilang lambat di awal, tidak serta merta menjadikan film karya sutradara yang karyanya paling ditunggu ini menjadi “kurungan” yang membosankan. Scorsese justru membiarkan kita larut dalam rasa penasaran yang dalam, mengijinkan kita untuk mengisi otak ini dengan pertanyaan-pertanyaan. Sama halnya dengan Teddy, kita akan ikut serta diajak kebingungan dengan cara Scorsese membangun plotnya, yang tentu saja mengasyikkan untuk diikuti. Percayalah jika anda sudah lebih dahulu tahu ending film ini, berbakat meramal, atau hanya pintar dalam menebak, itu semua tidak mengurai kenikmatan menonton film ini (gw yang sudah tahu ke arah mana film ini akan berakhir, total masih puas dengan cara Scorsese men-direct dan keseluruhan kemasan film ini). Tentu saja, jika kita sudah tahu bagaimana endingnya, kejutannya akan sedikit berkurang (atau mungkin pakai cara ini: cobalah untuk menipu pikiran anda, agar lupa kalau anda tahu twist di akhir film).

Leonardo DiCaprio melakonkan Teddy Daniels dengan cemerlang (beruntung gw masih lelaki sejati, kalau tidak bisa saja gw jatuh cinta dengan Leo di film ini). Aktor yang mulai terkenal lewat perannya dalam Romeo+Juliet ini, bisa tampil prima dan sangat meyakinkan di setiap adegannya. Tak salah memang Scorsese memboyong “anak” kesayangannya yang nantinya juga bermain di film Nolan berjudul “Inception” ini, lewat arahan ajaib Scorsese, Leo makin bisa tampil memikat sebagai seorang marshal yang “tertekan” oleh pikiran dan orang-orang di sekitarnya. Permainan aktingnya membuat para penonton akan kebingungan sendiri, apakah dia masih waras atau sudah ikut-ikutan gila? (mungkin penontonnya juga gila). Pemain lain seperti Mark Ruffalo, Ben Kingsley, dan yang lainnya juga turut menyumbangkan peran yang tak kalah apiknya dengan tokoh utama. Elemen akting jelas sudah sangat mendukung film ini menjadi tontonan yang mengaduk emosi sekaligus mengundang simpati. Musik yang mengerang-ngerang juga turut membangun mood yang pas ketika untuk pertama kalinya kita diperkenalkan dengan pulau terisolasi ini. Irama gelap yang dihantarkan sukses menemani penonton duduk tenang, terhipnotis selama kurang lebih 2 jam. Selamat datang di Shutter Island, nikmati kunjungan anda, enjoy!

Rating: 4.5/5