Bocak kuwi wis digowo neng alam liyo ~ Pak Masrum

“Menari di Atas Angin” merupakan film terbaru bertema drama cinta arahan sutradara wanita bernama Miea Kusuma, film yang rencana syutingnya di luar kota Jakarta ini akan dibintangi oleh dua bintang utama Migi Parahita dan Diaz Ardiawan. Dalam rangka persiapan syuting, berangkatlah tim produksi film yang terdiri dari sang sutradara sendiri bersama dua pemainnya dan Manager Produksi (Brama Sutasara) serta tim “di belakang layar” ( Poppy Sovia dan Cungkring) yang ditugaskan untuk meliput segala aktifitas pra produksi ini. Lewat perjalanan panjang dan melelahkan dengan menggunakan kereta api, sampailah mereka di Yogyakarta, kota yang dipilih sebagai lokasi syuting. Belum apa-apa salah satu pemainnya yaitu Migi, tiba-tiba sakit, di perjalanan menuju penginapan pun mereka dikejutkan dengan seseorang yang menggedor-gedor kaca mobil dan anehnya berteriak-teriak tentang “Wongso” yang tidak tahu apa artinya, diketahui belakangan kata “Wongso” ini ternyata berkaitan dengan nama ayah Migi. Tanpa berpikir panjang lagi, Migi dan kawan-kawan tidak peduli dan meneruskan perjalanan mereka. Sampai akhirnya mereka tiba di dusun Segoroyoso, sebuah desa yang salah satu rumahnya akan menjadi tempat mereka menginap.

Ketika seharusnya Poppy, Cungkring, dan Sadha (Asisten Sutradara) lelap tidur di kamar mereka masing-masing, mereka justru terbangun karena Migi mengaku mendengar suara tangisan perempuan di luar rumah. Sadha dan Cungkring pun dengan terpaksa di tengah malam, memberanikan diri memeriksa keluar. Keanehan pun menghampiri mereka, dari gamelan yang bersuara tanpa ada orang yang memainkan sampai mendengar tangisan perempuan menangis dan melihat sosok yang sekelebat melewati mereka. Keesokan harinya tidak seorang pun membicarakan kejadian semalam, semua fokus bekerja. Tapi makin lama tim produksi ini mulai mengalami kejadian-kejadian aneh yang tidak masuk di akal dan satu-persatu dari mereka juga mulai memperlihatkan sifat aslinya. Puncaknya ketika Migi yang sebelumnya dikira sedang sakit ternyata “kerasukan”. Maka dipanggil seorang paranormal bernama Pak Masrum untuk “menyembuhkan” Migi. Pada akhirnya Migi memang bisa disembuhkan tapi tiba-tiba hilang begitu saja dari kamarnya, padahal Sadha sempat berjaga di depan pintu. Lewat penerawangan Pak Masrum, diketahui Migi ternyata sudah “diculik” ke dunia “mereka”. Apakah Poppy dan kawan-kawan berhasil menjemput dan membawa Migi pulang?

Berapa banyak produksi film horor lokal setiap tahunnya? tentu saja banyak jumlahnya, pertanyaan berikutnya berapa banyak yang bisa dikategorikan horor berkualitas? (sedikit tertawa) sedikit saja yang bisa dibilang “horor banget” bahkan setiap tahun mungkin hanya satu atau dua film yang bisa benar-benar menakuti penonton tanah air. Kenapa? karena sisanya bermutasi dari horor menjadi komedi “murahan” atau tiketnya berakhir di “tempat sampah”. Sebagian lagi terjebak dengan mitos “kalau mau bikin horor yang laku yah harus disisipi wanita-wanita seksi yang tak malu telanjang di film”, alhasil bukannya menjerit melihat hantu yang tiba-tiba muncul dilayar bioskop, gw justru *sensor melihat sajian serba “nongol” yang seliweran di film horor semi porno ini. Kesampingkan dulu horor-horor tersebut ke keranjang sampah, mari berbicara horor yang efisien dan efektif dalam menteror bulu kuduk penonton dan membuat mereka ketakutan sampai dirumah. “Jelangkung” adalah salah satu horor lokal yang sampai sekarang (menurut kacamata gw) bisa dikatakan membanggakan, dari film ini lah mulai muncul film-film horor modern yang masih perpatokan pada standart film Rizal Mantovani tersebut. Sayangnya semua film tampaknya keasyikan mengekor apa yang sudah dibuat “Jelangkung” dan gagal ketika harus berimprovisasi membuat sesuatu yang berbeda.

Predikat “gagal” memang tidak serta merta melekat ke semua film horor Indonesia yang muncul setiap tahun, diantara abu-abu kekecewaan, toh kita masih menemukan berlian-berlian penuh darah yang apabila dibersihkan maka terlihat kilauannya. Apalagi ketika atmosfir kengerian yang bisa dirasakan ketika menonton film-film horor zaman dahulu bisa hadir kembali di film-film horor saat ini, itu merupakan hal yang langka dan patut dirayakan dengan jeritan semaksimal-mungkin. Bagaimana dengan “Keramat” besutan sutradara muda Monty Tiwa ini? silahkan katakan saya “lullaby” (loe-le-bay) tapi ini merupakan pencampaian film horor tanah air yang bisa dikatakan patut dibanggakan. Walau dinilai tidak original dalam soal mengadaptasi gaya “mockumentary” yang sedang tren di film-film horor luar negeri dengan munculnya [REC] dan Paranormal Activity, tapi kenyataannya film ini bisa dengan apik melebur genre horor “found footage” dengan elemen-elemen asli Indonesia. “Keramat” hanya terlambat ketika penonton kita sudah lebih mengenal “Micah & Katie” atau horor asal Spanyol tersebut, bagi gw lebih baik terlambat daripada tidak sama sekali, dan terbukti film ini jelas-jelas sudah mengalirkan “darah segar” ke perfilman horor Indonesia.

Memang sedikit terganggu ketika kita dihadapkan pada kenyataan bahwa film horor besutan sutradara “Wakil Rakyat” ini membawa pesan-pesan lingkungan untuk dijadikan “pita pembungkus”, tapi bukan berarti gw jadi kecewa dengan keseluruhan filmnya karena misi positip yang diemban sang sutradara kedalam filmnya. Karena film ini masih punya beberapa nilai plus yang menjadikan film ini istimewa ketimbang kekurangan kecilnya yang menyandingkan horor dengan hal-hal berbau “pecinta alam”. Salah satu yang menonjol adalah bagaimana Monty Tiwa dengan mengejutkan dan tidak terduga bisa mengesekusi film ini dengan sangat-sangat matang, pengambilan gambarnya –lewat sudut pandang Cungkring dengan kameranya– jelas sudah berhasil mengajak kita berbaur bersama Poppy dan kawan-kawan dalam menghadapi gangguan alam gaib dan berjibaku dengan penghuni tak terlihat mata dalam upayanya menemukan Migi.

Kalau boleh jujur, film ini sukses membuat gw sendiri merinding selama film bergulir meneror dengan cara-cara yang unik dan berbeda selama 89 menit durasinya. “Penampakan” yang disiapkan oleh Monty juga dinilai sangat efektif dan tidak terlalu berlebihan, atmosfir kengerian yang gw rindukan hadir di film ini. Teror yang sudah melekat dengan baik ini dipercantik dengan akting-akting maksimal dari para pemainnya yang notabennya kurang terkanal (disitulah poin plus film ini), termasuk Miea dengan lakon orang yang keras dan suka marah-marah, sukses membuat gw jengkel sendiri. Poppy berhasil membuat gw ketakutan ketika dia terus menangis dan menjerit. Migi dengan mimik wajah yang misterius tak perlu ditanyakan lagi, gadis mungil ini sukses meng-KO-kan keberanian gw. Monty tak muluk-muluk dengan filmnya kali ini memang sukses membuat gw “menutup mata” dengan beberapa adegan yang bisa gw bilang sangat menyeramkan. Sepertinya sudah cukup gw berbasa-basi disini, ada baiknya kalian menonton sendiri salah satu film horor Indonesia terbaik ini. Enjoy!

Rating: 3.5/5