“Praktek dukun ilmu hitam masih dijalani di negara kita. Tercatat 18 ribu kasus praktek dukun hitam masih marak tersebar di kepulauan nusantara.”

Pulau Pengantin, itulah tujuan liburan Tiara (Tamara Bleszynski) dan kekasihnya Lilo (Kieran Sidhu ), yang juga mengajak keponakannya Mandy (Navy Rizky Tavania). Tiara sengaja mengajak keponakannya, supaya dia bisa melupakan dukanya setelah ditinggal kematian Ibunya dua tahun yang lalu. Mandy pun mengajak serta teman-temannya ke pulau yang diketahui tidak berpenghuni ini. Mitosnya dahulu pulau pengantin ini berpenduduk, tapi ada suatu kejadian tragis yang menimpa mereka yang tinggal di pulau yang jauh dari peradaban tersebut. Semua penduduk tewas terbunuh oleh seorang dukun ilmu hitam yang melakukan balas dendam atas kematian calon pengantinnya. Air terjun yang berada di pulau ini dan menjadi tujuan utama Tiara dan kawan-kawan sebenarnya adalah tempat dimana si calon pengantin tewas, oleh karena itu sekarang tempat tersebut dinamakan “Air Terjun Pengantin”.

Tim hura-hura yang dipimpin Tiara ini pun sampai di pulau yang mereka tuju, setelah perjalanan yang cukup panjang dengan dua perahu. Tanpa berpikir macam-macam, mengingat pulau ini punya sejarah yang menakutkan, Mandy dan teman-teman langsung masuk ke dalam pulau. Sebelum mencapai tempat dimana air terjun berada, mereka lebih dahulu menemukan sebuah pantai. Setelah asyik bersenang-senang di pantai, mereka melanjutkan perjalanan ke air terjun yang konon apabila seseorang meminta sesuatu disana pasti akan dikabulkan. Di tengah perjalanan, salah satu dari mereka memutuskan untuk kembali ke perahu. Selagi Tiara dan kawan-kawan asyik menikmati pemandangan air terjun, temannya yang kembali ke perahu justru berhadapan dengan malaikat maut. Tampaknya Tiara dan yang lain tidak menyadari jika mereka tidak sendiri di pulau ini, karena seseorang yang punya niat jahat sedang mengamati mereka dari kejauhan. Waktu untuk bersenang-senang sebentar lagi akan habis dan sosok bernama “kematian” akan menjemput satu-persatu dari mereka.

Film ini punya cerita yang klise? tentu saja saya “meng-iyakan”, karena tema-tema film slasher biasanya selalu mengusung cerita yang sama seperti apa yang dilakukan tim hura-hura di film ini. Awal film biasanya dimulai dengan sekelompok orang yang punya rencana liburan atau ke suatu tempat, dimana disana mereka justru bertemu atau harus berhadapan dengan “maut”. Film pun diisi oleh berbagai macam aksi para protagonis untuk menyelamatkan diri. Film yang dibesut oleh Rizal Mantovani ini juga memulai dengan sesuatu yang tidak lagi berbeda, tim hura-hura memutuskan untuk berlibur di pulau yang sunyi dan berakhir dengan satu-persatu dari mereka harus menyelamatkan diri dari “orang sakit” yang tinggal di tempat tersebut. Sayangnya film berjudul Internasional “Waterfall Bride” atau “Air Terjun Pengantin” ini seperti kulit yang lupa akan kacang (bukan sebaliknya kacang lupa pada kulitnya). Kenapa dikatakan demikian? karena apa yang disajikan film yang rilis pada Desember tahun lalu ini jelas hanya mengeksploitasi penampilan luarnya saja, terutama parade pemain wanitanya yang tampaknya menjadi nilai jual utama film ini. Cerita yang klise tidak jadi soal bagi saya, asalkan saja sebuah film slasher itu punya isi cerita yang berbeda dan lebih menarik lagi jika diakhiri dengan sebuah twist yang mungkin saja membuat jantung ini berhenti berdetak.

Namun film yang ceritanya ditulis oleh Alim Sudio ini punya sajian yang berbeda, menu spesial yang tidak bisa didapatkan di film-film slasher lain. Alih-alih menghadirkan adegan demi adegan yang menjejalkan adrenalin penonton dengan ketegangan, film ini justru asyik memberi “ketegangan” lain. Sekitar 45 menit pertama, film terus saja diisi adegan-adegan tidak penting (jika tidak ingin dikatakan teramat bodoh). Semua adegan itu hanya menonjolkan kemolekan tubuh para pemain yang didominasi oleh wanita-wanita cantik. Terutama Tamara Bleszynski yang sepertinya menjadi sasaran empuk kamera. Adegan Tiara berjemur di perahu pada awal film, jelas-jelas sangat teramat tidak berguna sama sekali, kenapa? karena adegan berbikini-ria ini terus saja mengulang-ulang pengambilan gambarnya, memutar anglenya sedemikian rupa, sampai jadilah sebuah adegan yang mirip sekali video klip entah band mesum mana. Parahnya lagi video klip ini punya versi extended-nya dengan setting yang berbeda yaitu sebuah pantai. Kali ini semua pemain wanita “dipaksa” hanya memakai bikini (namanya juga dipantai) dan sekali lagi menjadi hidangan renyah bagi kamera untuk terus melahap setiap jengkal bagian tubuh mulus pemain yang salah-satunya dilakonkan oleh Tyas Mirasih.

Kapan adegan potong-memotong-nya om Rizal? tenang dulu dong, setelah asyik bermain dengan “kebodohan” dan membuat “tegang”, khususnya penonton pria (gw nga tegang nih berarti nga normal yah…huaaaaa), barulah film ini kembali ke “habitatnya”, dengan bintang utama seorang dukun bertopeng petruk (apa pinokio yah?). Okay! Rizal memang menghadirkan adegan-adegan yang menurutnya cukup sadis, seperti kepala dibacok, tombak yang tembus di kepala dan lain-lain. Tapi seperti yang sudah diprediksi dari awal dan setelah sebelumnya melihat trailer fim ini, Rizal ternyata memang tidak mampu mengesekusi adegan-adegannya dengan baik, malah terbilang hanya “numpang lewat”, yah bagi Rizal sepertinya yang penting ada adegan kepala yang sedikit terbelah dan darah secukupnya. Film ini tak sedikitpun menampilkan momen juara, tak meninggalkan kesan apapun. Formula yang diracik sedemikian asal-asalan ini semakin bernilai merah darah (maksudnya jelek mampus) ketika deretan pemainnya tidak satupun menyelamatkan film ini dari hancur-lebur-babak-belur-pecahkan-saja-gelasnya.

Ketika seharusnya kita diberi kesempatan untuk mengenal para karakternya dan dibuat simpati dengan mereka saat diambang kematian, film ini tidak melakukan hal tersebut. Yang ada justru perkenalan ukuran bra si “A” sekian dan si “B” segini. Jadi jangan salahkan saya, jika berharap mereka semua mati oleh si pinokio (gw masih bingung manggil dukun ini apa) ataupun dengan kebodohan mereka sendiri. Karena toh saya tidak diberi kesempatan sepersekian detik pun untuk bersimpatik-se-iklasnya dengan Tiara atau siapapun di film ini. Alasannya saya tidak simpati makin diperkuat dengan akting Tamara dan kawan-kawan yang tidak jauh buruk dengan filmnya. Mereka memang pintar akting berteriak, tapi sama sekali tidak ada penjiwaan. Salah satu adegan memperlihatkan si aktris wanita sedang disiksa oleh si dukun, tapi bukannya teriak yang menegaskan jika dia kesakitan atau membawa kita ke suasana tegang, si aktris ini justru berteriak-teriak secukupnya (padahal tangannya dipaku, jarinya dipotong, tapi dia teriak seperti sedang keenakan diperkosa si dukun). Secara keseluruhan Rizal telah gagal dalam menghadirkan film slasher yang menakutkan, menghibur pun tidak. “Slasher” hanya sebuah pernak-pernik omong kosong, sebuah hidangan pahit dengan bumbu seadanya. Air Terjun yang hanya menjual “pemandangan manis” bukan “permainan kematian”.