Jangan sembarangan masuk ada perempuan mati diperkosa di gerbong kereta ~ Penjaga Stasiun

Setelah sukses dibuat “cedera otak” oleh delapan belas plus yang punya seribu masalah dan plot tumpang tindih bulan lalu, kali ini lewat sutradara yang sama (siapa lagi kalau bukan Nayato Fio Nuala, walau disini dia hanya memakai nama singkat Nayato saja) kita akan diajak kembali mengarungi “dunia” kreatifitas-nya yang lain daripada yang lain (tentu saja, karena hanya dia yang bisa membuat film unik seperti ini). Bukan lagi cerita cinta picisan anak muda berusia tanggung penuh problematika hidup, Nayato membawa alternatif tontonan lain berupa horor. Tema semacam ini bukan hal yang baru bagi sutradara yang punya banyak “nama panggilan” ini. Bahkan bisa dibilang genre horor adalah makanan sehari-hari dia, jam terbangnya yang tinggi sebagai sutradara horor konon menurut cerita didapat dari pengalamannya menggarap beberapa film horor, seperti Hantu Jeruk Purut, Kereta Hantu Manggarai, Ada Hantu di Sekolah dan film-film horor lain yang memakai nama tempat atau tertera embel-embel “hantu” di judulnya. Wah banyak juga yah filmnya, tentu saja, Nayato dan “kawan-kawan” punya sederet karya yang menjadikannya sutradara yang cukup produktif (ah masa sih, iya donk ini kan true story). Tahun ini saja setelah 18+ dan Kain Kafan Perawan yang akan gw review ini, jejeran judul sudah siap mengantri menunggu jadwal tayang, sebut saja Belum Cukup Umur (apakah ini sekuel 18+??), Te[rekam] (film asal spanyol itu pasti kalah), dan Affair (katanya sih ini film slasher). Okay! Pas sekali gw nonton di malam jumat kliwon. 

Begini ceritanya, alkisah Rasty (Adina Rasti) dan kelima temannya Smitha, Debby, Marchel, Harry dan Dhana berencana untuk membuat sebuah film dokumenter tentang stasiun kereta berhantu. Ide brilian ini muncul setelah sebelumnya secara kebetulan Rasty menemukan kejanggalan dalam hasil video klip yang sedang dieditnya. Karena dipicu rasa penasaran dan juga prospek yang menguntung dari film dokumenter ini ketika nantinya dijual ke stasiun tv, maka jadilah mereka semua kembali ke stasiun kereta api angker tersebut untuk kedua kalinya. Namun malang nasib anak-anak muda penuh semangat ini, alih-alih berhasil menangkap fenomena gaib yang untung dijual, justru merekalah yang ditangkap oleh “penghuni” gerbong-gerbong gelap nan suram ini. Hantu-hantu super-seram (gw sampe menundukkan kepala, tapi bukan karena takut, tapi sedang membaca sms di handphone) berdatangan menghampiri mereka satu-persatu, Rasty dan kawan-kawan pun hanya bisa berteriak panik lalu berlarian kocar-kacir kesana kemari. Salah-satu dari mereka pun “kerasukan” dan mulai memangsa sisa manusia yang masih bernafas. Semua ditemukan tewas di stasiun kereta api tersebut, kecuali Rasty yang beruntung masih bisa hidup walau terluka parah.

Feli (Ratu Felisha) mendapat kabar jika adiknya sedang berada di rumah sakit, gadis yang punya pekerjaan sebagai fotographer ini ternyata kakak dari Rasty. Feli pun bergegas ke rumah sakit bersama temannya Sarah. Di rumah sakit sang kakak mendapati adiknya masih tak sadarkan diri, dokter pun menyatakan kasus adiknya adalah fenomena yang aneh. Polisi yang menangani kasus pembunuhan ini juga memberitahukan kepada Feli, kematian teman-teman Rasty merupakan kasus yang aneh bagi mereka. Ketika Feli terlihat panik dengan keadaan adiknya, Sarah justru asyik memotret-motret sekeliling rumah sakit. Sampailah ia di ruang mayat, disana dia pun diganggu setelah dengan berani membidikkan kameranya ke arah mayat perempuan. Entah apa kaitannya dan hubungan yang mengikat takdir antara Rasty dan Feli, serta Sarah, Hantu penghuni gerbong secara mengejutkan mengikuti sampai rumah sakit ini. Feli dan Sarah mulai diganggu dengan penampakan-penampakan makhluk buruk rupa dengan rambut panjang tergerai indah. Tidak hanya kedua teman baik tersebut yang “datangi”, seorang suster juga tak luput dari teror hantu gerbong kereta api ini. Teror menakutkan ini juga membuntuti Feli dan Sarah sampai ke rumah mereka, sang hantu sekarang giat menampakan dirinya, meraba-raba tubuh molek mereka dari belakang, atau hanya sekedar membuat perlengkapan dapur berupa piring-piring hingga tabung gas berterbangan. Apa yang akan terjadi selanjutnya?

Nayato sekali lagi menunjukkan keahliannya dalam mengemas cerita yang luar biasa asal buat. Durasi yang cukup pendek, sekitar 80 menit, hanya diisi plot-plot klise dan dangkal ciri khas sutradara yang filmnya “pernah” mendapat penghargaan FFI ini (sayangnya dia menolak piala bergengsi tersebut, apa ditolak oleh semua orang ya? cieeeee prikitiw). Kali ini pun film hanya di dominasi oleh adegan-adegan horor yang justru tidak membuat bulu kuduk ini merinding tetapi depresi (wah kambuh lagi deh…otak gw bocor). Kenapa depresi karena Nayato terus mengulang adegan-adegannya, entah ada berapa kali Nayato menyajikan urutan sang hantu muncul dibelakang (dengan muka penuh bubur basi, serius sepertinya dia mati dilempar tukang bubur karena belum bayar) lalu secara insting para pemainnya akan menoleh ke belakang dimana si hantu sudah menghilang, adegan pun ditutup dengan teriakan ala kadarnya (tidak ada improvisasi dan menghayati peran, takut yah diwakilkan dengan teriakan, itu juga karena perintah sutradara dengan berteriak “action…teriaaaaak”). Intinya seperti ini ketika ada bunyi “brecek..brecek…brecek” (tanda si setan becek datang) ditemani dengan suara-suara desahan melengking, Feli atau siapapun korban akan langsung teriak “aaaaarrrrgggg” (gw juga akan ikut teriak sumpah serapah) ketika setan yang muncul di belakang mereka datang dan menghilang.

Tak puas dengan adegan-adegan penuh kengerian (gw sekali lagi menundukkan kepala, bukan lagi karena takut, tapi men-cek twitter), dengan obral cerita dan plot klise yang sukses membuat otak gw cedera untuk sekian kalinya. Nayato seperti biasa, membungkus filmnya dengan tone “dark” (keren banget tuh kayanya) arrrgh!!! bukan atmosfir gelap layaknya film wolfman kemarin, tetapi hampir semua adegan di-set dalam ruangan remang-remang dan terkadang gelap total. Ruangan gelap ini pun dimaksimalkan dengan brilian oleh Nayato dengan menampilkan setan yang muncul dengan senter (ingat kan cara kita menakuti-nakuti keponakan kita yang kecil-kecil dengan menerangi wajah kita dengan senter). Nayato tak lupa mengemas gambar-gambarnya dengan pengambilan angle yang selalu saja dari sudut atas, sepertinya dia terinspirasi foto-foto ABG yang ada di friendster (ih sekarang kan zaman Facebook dan Twitter, ketinggalan jaman banget deh..aw..aw), entahlah untuk menangkap sisi dramatisasi yang berlebihan atau hanya meneropong “aurat” para pemainnya saja.

Tenang saja, film ini tak akan membuat cedera berat karena plot memusingkan seperti delapan belas plus, tapi hanya cedera kecil akibat ceritanya yang dangkal bukan main. Selipan adegan sadis/gore pun sama sekali tidak menyelamatkan film ini (percayalah anda akan tertawa melihat  cara para pemain mati satu persatu). Walau dengan cerita yang ringan dan durasi yang terbilang sebentar, tetap saja menonton film ini kita akan merasa seperti mengulang kembali trilogi LOTR, tentu saja lengkap dengan extended versionnya. Ditambah dengan sangat “annoying”-nya musik yang mengiringi film ini. Musik-musik dengan sentuhan rock yang seharusnya bisa bersahabat membangun mood dan ketegangan dalam film horor, sama sekali tidak berkerja dengan baik di film ini. Musiknya sekedar asal tempel tanpa harus singkron dengan apa yang sedang disajikan, bahkan sepertinya hampir seluruh adegan berisik dengan musiknya. Apalagi ketika datang waktunya untuk “setan becek” muncul, musiknya kian giat dalam upayanya merusak indera pendengaran penonton (gw sampe loncat, tapi bukan karena kaget, tapi sekali lagi handphone ini bergetar…aaahhh). Sudahlah batas mood gw untuk menulis review ini sudah menunjukan angka 0%, saatnya meninggalkan meja dan melanjutkan aktivitas lainnya. Well secara keseluruhan Kain Kafan Perawan pantas untuk menerima predikat “GATOT” (alias Gagal TOTal) dari saya, baik dari segi horor maupun dari kualitas hiburan bioskop. Not enjoy!