Why? Don’t we make ya laugh? Aren’t we fuckin’ funny? You best come up with an answer, cos I’m gonna come back here and check on you and your momma and if you ain’t got a reason why you hate clowns, I’m gonna kill your whole fucking family. ~ Captain Spaulding

Pagi yang cerah, segar, diwarnai kicauan burung tidak lagi berlaku bagi keluarga Firefly. Suara Sheriff John Quincy Wydell (William Forsythe) membangunkan mereka yang kala itu sedang tertidur nyenyak. Mother Firefly (Leslie Easterbrook) dan keluarga dikejutkan dengan sepasukan polisi yang sudah mengepung kediaman Firefly, siap dengan senjata diarahkan kepada mereka. Polisi texas yang dipimpin sherif Wydell tersebut, pagi itu sedang melaksanakan tugasnya untuk menangkap seluruh klan Firefly dengan sandi operasi “Search and Destroy”. Klan keluarga “serial killer” yang bertanggung jawab atas 75 pembunuhan ini akhirnya bisa ditemukan setelah bertahun-tahun menjadi “most wanted”. Baku tembak pun tak terelakkan diantara kedua pihak, keluarga pembunuh yang terkenal “gemar” menculik dan membunuh ini tidak segan-segan membalas tembakan dari para polisi. Otis, Baby, Rufus, dan Mother firefly menyadari kalau mereka tidak punya kesempatan selamat jika terus bertahan di tempat tersebut, selain kalah jumlah, mereka sebentar lagi akan kehabisan peluru. Desingan peluru pun berhenti sejenak, polisi mulai memasuki rumah yang sudah penuh dengan lubang peluru ini. Sedangkan keluarga firefly sedang terburu-buru untuk kabur sebelum polisi menemukan mereka. 

Sayangnya, Rufus terkena tembakan terlebih dahulu dan tewas di tempat. Baby (Sheri Moon Zombie) dan Otis (Bill Moseley) berhasil melarikan diri melewati ruang bawah tanah yang penuh dengan “tamu” keluarga tersebut. Polisi hanya berhasil menangkap induk iblis yang sebelumnya berniat untuk melakukan bunuh diri. Mother Firefly pun digiring masuk ke mobil polisi. Sebenarnya masih ada satu anggota keluarga lagi yang hilang, Tiny entah dimana setelah pada malam sebelumnya keluar rumah. Dalam keadaan bingung dan tidak tahu harus melakukan apa, Baby akhirnya menghubungi “pelindung” keluarga mereka. Captain Spaulding (Sid Haig) yang tak lain adalah ayah Baby, sepakat untuk bertemu dengan anaknya dan juga Otis di sebuah motel. Sesampainya di motel, Otis dan Baby “bermain” sebentar dengan sekelompok band country. Sambil menunggu Spaulding datang, Otis menyiksa mereka dan membunuh salah-satu dari mereka. Di lain tempat, Sherif sedang berusaha menginterogasi Mother Firefly, dari mulutnya pun terungkap jika dia orang yang membunuh kakak Sherif Wydell. Kenyataan pahit ini pun makin membutakan mata sang sherif sebagai penegak keadilan. Baginya memburu anggota firefly yang lain termasuk Spaulding adalah personal dan misi balas dendam.

Dua tahun setelah debut filmnya “House of 1000 Corpses”, Rob Zombie kembali melahirkan film kedua yang masih mengangkat kisah keluarga sadis dan psycho dari film pertama. “The Devil’s Rejects” yang bisa dikatakan sebuah sekuel ini, mendatangkan kembali karakter terkenalnya Captain Spaulding dan keluarganya yang “tidak normal”. Jika pada film pertama, Rob Zombie seperti sedang melakukan eksperimen pada filmnya, dengan menambahkan elemen ini-itu dan sangat mengekploitasi sisi kesadisannya. Kali ini sutradara yang juga terkenal sebagai musisi metal tersebut justru mengurangi sisi sadis yang terlalu mengumbar gore dan nudity. Film ini masih memperlihatkan unsur-unsur kekerasan yang sudah jadi ciri film-film Rob, namun bedanya masih lebih “sopan” ketimbang film pertamanya. Sebagai gantinya, suami dari Sheri Moon Zombie tersebut –yang juga bermain di film ini sebagai Baby– menambahkan cerita yang lebih menarik dan lebih pintar, sebuah elemen penting yang sayangnya tidak ada di film debutnya.

Rob Zombie benar-benar meramu film horror-psychotic ini dengan rapih, kematangannya dalam bercerita jauh lebih baik dari “House of 1000 Corpses”. Film ini punya plot yang kuat dan Rob berhasil mengesekusinya dengan sangat baik. Menghilangkan unsur “gore” tidak serta merta mengurangi sisi keasyikan menonton film ini, justru sekarang kita jauh bisa bersenang-senang dengan level cerita yang lebih berkembang. Tidak lagi berpikir film ini terlalu sadis atau sangat aneh, karena sutradara yang kelak membuat Halloween 1 dan 2 ini menciptakan film ini dengan racikan yang luar biasa “bersahabat”. Rob Zombie sepertinya belajar banyak dari kesalahannya di film pertama, dan mengupas habis gaya yang terlalu “kartun” dari film dan karakternya. Terlihat dari Captain Spaulding yang tidak lagi penuh dengan make-up, para “serial killer” ini sekarang terlihat lebih “manusia”. Otis dan klannya dibentuk senyata mungkin, bukan iblis yang tidak bisa mati, Rob Zombie menciptakan mereka bisa merasakan kesakitan dan ketakutan. Warna dan tone film ini pun ikut teracuni, jika sebelumnya Rob senang dengan warna-warna yang kontras (kadang menyakitkan mata). Sekarang dia mengemas film ini dengan tone yang alami dan warna-warna yang soft agar kesan “western” dalam film ini makin terasa kental.

Rob Zombie tidak hanya pintar mengubah gaya lamanya, namun dengan cerdik dapat memanipulasi pikiran kita. Lewat plot yang apik, film yang dipenuhi dialog sumpah serapah ini secara mengejutkan akan membuat kita justru merasa simpatik pada keluarga Firefly. Didukung permainan akting yang sangat mendukung alur cerita, tahap demi bertahap Otis, Baby dan Spaulding bersamaan dengan bergulirnya film dari menit ke menitnya bisa menyebarkan “kharisma” dan chemistry yang kuat. Rob tidak hanya membuat ikatan antara ketiganya seperti “ikatan mati” namun juga dapat menyalurkan hubungan batin tersebut kepada penontonnya. Semakin lama kita menjadi saksi aksi pelarian mereka, kita justru akan semakin menginginkan mereka untuk terus “bebas”. Peran pembunuh berubah 180 derajat ketika karakter yang sebelumnya kejam, sadis, bengis, apapun itu (jika ingin melihat “dosa besar” yang Firefly lakukan, silahkan lihat House of 1000 Corpses) sekarang menjadi pihak yang diburu. Kondisi ini sekarang membuat keluarga yang pada film pertama “berteman” dengan doctor satan ini jadi karakter protagonis yang mengundang simpati. Pihak polisi yang dipimpin Sherif Wydell justru jadi pihak yang dicaci maki karena berubah menjadi karakter antagonis.

Overall, Rob Zombie telah menghantarkan sebuah tontonan yang menarik dari segi cerita maupun horor dari film berdurasi 107 menit ini. Para pemainnya pun bermain fantastis dan meyakinkan dalam memerankan perannya masing-masing, walaupun mereka bukan termasuk aktor kelas “A” sekalipun. Sid Haig yang melakonkan badut gila si kapten Spaulding dan kawan-kawan dapat maksimal mendukung plot yang ada. Alhasil film yang juga ditulis oleh Rob Zombie ini jadi sebuah kisah horor dengan atmosfir tahun 70an yang sangat enjoyable dan fun untuk ditonton. Rob Zombie ternyata memang bisa membuat film horor dan “The Devil’s Rejects” adalah film terbaiknya sampai saat ini. Tak berlebihan jika film yang punya ending sangat-sangat “memorable” ini (damn, I love the ending) dikatakan sebagai salah-satu film “cult” dan tentu saja one of my favorite movie all time (udah berapa kali re-watch, still amaze me). Rob please bikin film seperti ini lagi. Enjoy!!

Rating 4/5