You better make sure I’m dead… oder ich reiss Dir Dein scheiss Herz raus du Wichser! ~ Nadia

Bower (Ben Foster) menemukan dirinya terbangun dalam sebuah kapsul tidur –lengkap dengan alat bantu pernapasan– dan tidak mengetahui apa yang sedang dia lakukan di tempat itu, bahkan dia tidak ingat siapa dirinya serta dimana dia berada. Sambil mengumpulkan tenaga dan mencoba mengingat apa yang sedang terjadi, Bower berjalan tertatih-tatih mencari petunjuk yang bisa merangsang daya ingatnya kembali. Namun yang ditemukannya hanyalah sebuah foto perempuan yang tidak dia ketahui. Ketika semua tampak buntu, Payton (Dennis Quaid) terbangun juga dari tidur panjangnya. Bower pun memperkenalkan dirinya kepada pria yang diyakininya sebagai atasannya tersebut. Sama halnya dengan Bower, pria berpangkat letnan itu pun tidak ingat apa-apa. Dengan berlalunya waktu, ingatan mereka mulai sedikit demi sedikit tergali. Mereka ternyata adalah bagian dari kru pesawat Elysium, tapi jika mereka memang masih didalam pesawat tersebut, kemana kru-kru yang lain?

Seorang diantara mereka ternyata sudah terlebih dahulu terbangun, tetapi keberadaannya lagi-lagi tidak diketahui. Payton mencoba menghubungi para kru yang lain, namun tidak ada respon sama sekali yang menandakan mereka masih hidup. Untuk menjawab semua tanda tanya yang menghantui Payton dan Bower, mereka pun memutuskan untuk menjelajahi pesawat ini. Satu-satunya cara adalah lewat saluran udara karena pintu utama menuju keluar tidak berfungsi akibat listrik yang mati. Tidak mau terkurung lebih lama lagi, Bower pun mulai merangkak di lorong sempit yang dipenuhi dengan kabel-kabel, sedangkan Payton memandunya lewat radio. Ketika Bower sedang mencari jalan keluar, dia menemukan mayat yang ternyata adalah salah satu dari kru. Setelah berhasil keluar dari lorong gelap nan sempit tersebut, Bower mulai menelusuri koridor-koridor panjang yang gelap, berharap bisa menemukan seseorang. Ternyata doanya terkabul, dia dan Payton tidak sendirian, karena dia menemukan seorang wanita sedang berkeliaran di koridor tersebut. Sayangnya, Bower tidak hanya menemukan “survivor” lain di pesawat, tetapi juga hal menakutkan yang akan menjadi mimpi buruk sebenarnya. Apa yang yang terjadi dengan Elysium? Kemana tujuan pesawat ini? Bumi?

Pandorum, diartikan sebagai “gangguan” kejiwaan diakibatkan karena terlalu lama tertidur di ruang angkasa, efeknya tidak hanya paranoid tetapi juga halusinasi kronis dan kecenderungan untuk membunuh. Kira-kira begitulah rangkuman dari obrolan Payton dan Bower tentang pandorum, sebuah dongeng yang menjadi momok menakutkan bagi kru pesawat luar angkasa. Berbicara tentang filmnya, dengan ekspektasi yang bisa dibilang rendah ternyata film ini justru memberikan sebuah kejutan yang tidak disangka-sangka. Film besutan Christian Alvart –sutradara kelahiran Jerman–  ini di luar dugaan tampil baik sebagai film yang mengusung tema fiksi ilmiah, tentu saja dengan balutan horornya. Film ini ternyata cermat dalam menjaga kejutannya, coba lirik poster dan cuplikan filmnya dalam trailer yang terlihat biasa dan seperti tidak menawarkan apa-apa. Namun siapa sangka film ini punya lebih banyak “hadiah” yang tersembunyi dengan rapih diantara koridor-koridor gelap tersebut.

Film yang dibintangi oleh Dennis Quaid sebagai Letnan Payton ini terkemas dengan cerita yang sangat menarik, setiap esekusinya berhasil mengurung rasa penasaran dengan baik. Seperti halnya Bower, kita juga dijejalkan dengan pertanyaan demi pertanyaan tentang apa yang sesungguhnya terjadi dengan Elysium, kemana krunya, dan apakah mereka “manusia” sendirian di tempat tersebut. Ketika tanda tanya itu perlahan terjawab, kita juga akan dipaksa untuk menikmati “hadiah” yang telah disiapkan. Kejutan-kejutan yang tersembunyi dari awal film, kengerian yang sebenarnya di balik misteri hilangnya puluhan ribu penumpang. Kengerian tersebut digiring masuk oleh mahkluk-mahkluk penyebar teror yang telah siap di setiap sudut untuk memangsa rasa penasaran dan menyantap ketakutan kita. Film ini tak akan membiarkan kita untuk berhenti sejenak menikmati keindahan bintang-bintang (bukan karena memang tidak ada pemandangan indah dan jelas tidak ada bintang-bintang disini), tapi kita akan terus terbawa aliran deras adrenalin lewat adegan penuh dengan pernak-pernik ketegangan.

Suguhan apik dari plot dan horor yang ditawarkan film ini, dipercantik dengan setting pesawat luar angkasa yang sungguh mengagumkan. Suasana koridor yang dingin, gelap, tetapi juga sangat “fiksi ilmiah sekali” ini betul-betul mendukung mood dan memanjakan mata penontonnya untuk terus “setia” menyimak film ini dari menit ke menitnya. Ruangan demi ruangan di Elysium diciptakan dengan detil yang sudah jelas tidak asal buat, tidak juga berlebihan, namun sudah cukup untuk membuat kita betah menjelajahi setiap sudut pesawat ini. Ben Foster bermain cukup menyita perhatian disini sebagai Bower, bahkan dia lebih mendominasi dari peran lawan mainnya Dennis Quaid. Selama film bergulir, Foster dapat menjaga aktingnya dengan baik, memandu kita para penontonnya untuk menelusuri setiap jengkal misteri yang ada. Christian Alvart, telah menyajikan tontonan yang sangat menghibur sekaligus memberi alternatif genre sci-fi yang berbeda, dengan sentuhan horor didalamnya. Walau sayangnya, ketika mendekati akhir, film ini makin kehilangan pondasi “kejutan”nya dan dengan mudah gerakan-gerakan twist-nya dapat dengan mudah tertebak. Tapi kekurangan yang ada sama sekali tidak menjatuhkan film ini menjadi sebuah sajian yang buruk, it’s still a good movie. Enjoy!

Rating: 3.5/5

You know what, I have a message for your dad! Tell him that Angel says “Fuck you!” ~ Laurie Strode

Setelah berhasil melarikan diri dari mimpi buruk, Laurie Strode (Scout Taylor-Compton) sekarang bisa kembali melanjutkan hidupnya. Satu tahun telah berlalu sejak kejadian menakutkan yang menimpanya, ketika harus bertaruh nyawa dengan seorang psikopat dan pembunuh bernama “Michael Myers”. Kini Laurie menetap satu rumah bersama keluarga Brackett, sahabatnya Annie Brackett dan Lee Brackett –ayahnya yang juga seorang sheriff setempat– di rumah tersebut, Laurie mencoba melupakan masa lalunya. Tetapi bayangan akan sosok bertopeng tersebut selalu saja masih muncul dan terus menghantui kemanapun Laurie melangkah. Halusinasi dan mimpi buruk sudah menjadi santap sehari-hari Laurie, semua itu mengakibatkan kondisi kejiwaannya semakin tidak stabil. Efeknya Laurie jadi suka depresi dan melampiaskan emosi ke orang-orang disekitarnya, termasuk Annie sahabatnya. Ketakutan Laurie memang beralasan, walau telah dinyatakan tewas, mayat Michael Myers sampai saat ini belum ditemukan. Halloween yang sebentar lagi tiba, makin menguatkan ketakutan Laurie, merangsang traumanya akan kembalinya sang pembunuh.

Disaat Haddonfield dicekam oleh masa lalu yang menakutkan, Dokter Loomis –mantan terapis Michael sewaktu kecil– justru memanfaatkan kejadian pahit ini untuk kepentingannya sendiri. Michael Myers kembali dijadikan objek pengeruk uang lewat sebuah buku yang ditulis oleh Dokter Loomis. Dia pun berencana untuk kembali ke Haddonfield dalam rangka mempromosikan bukunya. Di lain pihak sosok pria bertubuh tinggi besar misterius sedang melangkahkan kakinya menuju Haddonfield, melakukan pembunuhan-pembunuhan sadis di sepanjang perjalanannya. Sedangkan Laurie mulai menampakkan gejala halusinasi yang semakin parah ketika malam Halloween semakin mendekat. Laurie berjuang melawan dirinya sendiri yang semakin memperlihatkan tingkah pola seorang psikopat. Ketika buku tentang Myers terbit, misteri yang selama ini menyelimuti Laurie pun tersibak, siapa dia dan apa hubungannya dengan Michael Myers semakin jelas. Akankah kejadian di malam Halloween setahun yang lalu akan terulang lagi? Akankah Laurie, Loomis, dan Myers akan kembali “reuni”?

Tidak perlu lagi menjelaskan kenapa seorang Michael Myers bisa seenaknya membunuh, membacok, memotong kepala dengan sebuah pisau besar yamg merupakan mainan kesukaannya itu. Jika kembali melirik film pertamanya, maka disitu sudah jelas diungkapkan kelahiran seorang Myers dengan jiwa psikopatnya. Myers yang sejak kecil sudah punya tanda-tanda “kelainan” dengan membunuh seekor kucing dengan tenangnya. Kali ini Rob Zombie melanjutkan kisah manis perjalanan Myers lewat “Halloween 2”. Tak perlu basa-basi menjelaskan satu-persatu karakternya atau kembali menceritakan masa kecil Myers. Rob Zombie justru dengan leluasa dapat fokus pada “comeback”nya sang icon horor. Jika dalam film pertama, sutradara yang juga musisi ini sudah menjelaskan panjang lebar soal “the birth of” Myers dan jiwa psikopatnya. Di sekuelnya ini –yang juga seri ke sepuluh dari rangkaian film Halloween– Rob Zombie kembali makin menekankan bahwasanya Myers memang hanya seorang psikopat, bertubuh manusia tapi berjiwa iblis. Myers bukanlah hantu yang bangkit dari kubur untuk melakukan balas dendam.

Lewat visual-visual yang mengambil sudut pandang seorang pembunuh, dimana ibunya muncul dengan seekor kuda putih, kita akan menjadi semakin yakin dengan kegilaan yang dialami Myers. Jika anda bersimpati terhadap Myers, mungkin anda sama gilanya dengan orang yang menulis review ini. Well, film yang juga menampilkan Sheri Moon Zombie ini masih mengajak kita untuk bermain dengan darah dan juga adegan-adegan sadis lewat aksi brutal Michael dalam “mengurus” korban-korbannya. Sama dengan filmnya terdahulu, Rob Zombie sepertinya tahu betul bagaimana mengesekusi adegan-adegan sadis tersebut untuk tampil tidak berlebihan, alhasil masih bisa dinikmati, menghibur dan terlihat “sopan”. Walau begitu, Tidak seperti film pertamanya yang dibuat tahun 2007, adegan-adegan sadis di film lanjutannya ini seperti kehilangan nyawanya. Myers tidak menawarkan sesuatu yang baru, semua aksi bunuh-membunuhnya sepertinya hanya mengulang apa yang pernah dilakukannya terdahulu. Sutradara yang pernah membesut “The Devil’s Reject” ini juga seperti kehilangan arah, di awal film ini memang menawarkan ketegangan yang memacu keringat dingin. Namun makin bergulir ke tengah, film ini justru mengarah menjadi tontonan yang cukup membosankan.

Beruntung, film yang punya singkatan “H2” ini tidak terus terjebak dengan cerita yang bertele-tele dan membosankan dengan melibatkan “kegilaan” Laurie dan “kebodohan” Loomis. Myers kembali mengambil kendali, Zombie kembali terbangun, film ini pun selamat dan tidak menjadi film yang makin buruk. Endingnya sedikit mengingatkan gw dengan apa yang terjadi di bagian akhir “The Devil’s Reject”. Walau tidak se-istimewa film kedua Rob Zombie itu dan tidak sebaik Halloween pertama, film ini setidaknya masih bisa menceritakan kisah Michael Myers dengan cukup baik. Status prestisius Myers sebagai icon horor masih bisa dijaga dengan baik oleh Zombie. Film ini tidak sampai mempermalukan sang pria bertopeng karet tersebut, nasibnya lebih baik dari rekan “seperguruan”nya Jason Voorhees yang tampil buruk lewat film remake yang juga terburuk “Friday The 13th” yang muncul lebih dahulu di awal tahun 2009. Enjoy!

Rating: 3/5