Sekolah SMA Manggar pagi itu dihebohkan dengan ulah “tiga berandal”, Arai, Ikal, dan Jimbron. “Tiga berandal” begitulah Pak Mustar (Landung Simatupang), seorang kepala sekolah yang terkenal keras pada murid-muridnya, menyebut mereka bertiga. Ketiganya sering membuat onar, tidak terkecuali dengan pagi itu. Proses belajar-mengajar pun terganggu karena ulah mereka. Kehebohan berlanjut dengan aksi kejar-kejaran layaknya di film action, Pak Mustar yang sudah tua itu harus pula mengejar anak-anak yang notabennya masih enerjik. Arai dan yang lainnya memang pantas untuk lari, karena entah apa yang akan dilakukan oleh sang kepala sekolah “killer” itu kalau sampai berhasil menangkap mereka. Maka mereka bertiga pun terus berlari menelusuri seluk beluk Manggar dan bercampur dengan kesibukan orang-orang pada pagi itu. Kenakalan, kecerian, kegembiraan, kesedihan, akan mewarnai masa-masa SMA Arai, Ikal, dan Jimbron. Kisah-kisah penuh petualangan dan pengalaman hidup baru saja dimulai pada pagi yang cerah itu, menjembatani langkah-langkah mereka untuk meraih mimpi. 

Ikal (Vikri Setiawan) diceritakan sudah dewasa, duduk di bangku SMA dan harus pisah dari orang tuanya di Gantung, Belitong Timur. Bersama, Arai dan Jimbron, dua sahabatnya sejak kecil, sekarang mereka tinggal di Manggar dan sekolah disana. Arai adalah sepupu Ikal, mereka dipertemukan pada waktu kecil. Ketika itu, ayah Arai baru saja meninggal dan ia harus hidup sendiri. Ikal dan ayahnya pun menjemput Arai yang tinggal di pedalaman hutan, sejak saat itu Arai tinggal bersama keluarga Ikal. Mereka berdua cepat sekali akur, sejak pertama kali bertemu pun, Ikal sudah takjub dengan sepupunya tersebut. Saat seharusnya Arai sedih, dia bisa menghibur dirinya sendiri dan juga Ikal dengan permainannya. Arai pun masih mengejutkan Ikal dengan cara pikir yang kadang tidak sebanding dengan umur anak ini. Kebaikan dan cara berpikir yang tidak biasa itulah yang membuat Ikal tersadar dan berjanji untuk terus bersama Arai.

Mereka berdua pun bertemu dengan Jimbron secara tidak sengaja, saat menonton film di televisi. Jimbron menghampiri mereka dan ikut menonton, lalu mulai berceloteh tentang kuda. Jimbron memang punya obsesi memiliki kuda, setidaknya bisa memegang dan menaikinya kelak. Jimbron yang berbicara gagap ini juga tidak memili ayah dan Ibu, dia sekarang diasuh oleh seorang Pendeta. Dari pertemuan menonton film inilah, Arai, Ikal, dan Jimbron menjadi tiga sahabat yang tidak bisa dipisahkan. Mengaji bersama dan juga bolos mengaji bersama pula. Kenakalan mereka pun berlanjut hingga SMA. Walau mereka termasuk anak yang paling tidak disiplin di sekolah, tetapi mereka juga adalah murid “garda depan” sekolah itu. Kelebihan anak-anak jenius yang dengan semangat belajarnya masih bisa mengimbangi kenakalannya dengan prestasi tinggi di sekolahnya. Di sekolah ini pun, Arai, Ikal, dan Jimbrom menemukan “jarum dan benang” yang akan mereka rajut sendiri nantinya menjadi sebuah impian. Sekolah ini adalah landasan pacu mereka, titik keberangkatan mereka untuk menggapai mimpi mereka masing-masing.

Melalui seorang guru favorit di sekolah bernama Pak Balia (Nugie), Impian itu dipertemukan. Guru muda yang mengajar sastra tersebut menginspirasi Arai dan Ikal untuk bermimpi kuliah di Perancis. Sedangkan Jimbron terus bermimpi untuk bisa melihat kuda kesayangannya dengan mata kepalanya sendiri. Namun mimpi-mimpi ini tidak begitu saja untuk gampang diraih. Arai, Ikal, dan Jimbron harus siap menghadapi segala rintangan yang sudah menunggu mereka. Rintangan dan cobaan yang tidak hanya datang dari luar tetapi juga hinggap dari dalam diri sendiri. Untuk meraih mimpi mereka, semua harus diperjuangkan, berdampingan dengan proses kedewasaan dan pencarian jati diri masing-masing anak jenius dari Belitong ini. Apakah Arai, Ikal, dan Jimbron berhasil dengan apa yang dicita-citakan, memetik mimpi-mimpi mereka?

Sang Pemimpi ibarat memberikan kita tumpangan untuk kembali ke Pulau Belitong, pulau yang kaya akan cerita inspiratif dan dikaruniai keindahan alam yang luar biasa itu. Di pulau ini, kita akan melepas kerinduan kita untuk terbang bebas dan sekali lagi merasakan petualangan bersama mimpi-mimpi kecil kita. Petualangan-petulangan yang terekam lewat kehidupan masa remaja Ikal, Arai, dan Jimbron yang penuh warna. Film ini tak hanya membuai kita dengan adegan-adegan nan puitis, namun tentu saja akan mengajak kita untuk sedikit merenung akan arti sebuah impian. Riri Riza dengan cerdik meramu formula film pertama dengan tambahan racikan baru yang menyegarkan. Kita masih akan menemui dramatisasi-dramatisasi ala Laskar Pelangi yang terkemas dengan baik, bisa dikatakan jauh lebih baik. Namun terkadang juga terselip adegan-adegan yang sulit untuk dicerna apa arti dan maksudnya. Walau meleset dari sasaran yang sebenarnya ingin disampaikan dari adegan itu, kekurangan-kekurangan seperti itu sepertinya tidak terlalu berpengaruh kepada keseluruhan film. Toh film ini berhasil menambal lubang-lubang itu dengan adegan penuh makna yang selanjutnya menghampiri penonton.

“Tiga berandalan” Manggar, terutama Arai (Ahmad Syaifullah) yang menjadi tokoh sentral di film ini berhasil menyampaikan kepada kita bahwa untuk meraih mimpi itu tidak mudah, penuh perjuangan sana-sini, dan film ini dengan sukses menangkap setiap daya upaya ketiga orang sahabat ini untuk menggapai mimpi mereka. Film ini memang tak lagi se-ceria Laskar Pelangi, dengan cerita yang kali ini lebih fokus dengan jatuh bangunnya Arai, Ikal, dan Jimbron di masa-masa sekolahnya dan pencarian jati diri masing-masing dari mereka. Walau demikian film ini tidak akan terus menerus menjejalkan kita dengan adegan-adegan “sudah jatuh tertimpa tangga pula.” layaknya “you-know-what”. Riri Reza tahu dimana menempatkan adegan demi adegannya agar terlihat baik dan pas, membuat film ini bisa menjadi seasli kehidupan aslinya tapi tidak “lebay” untuk terus dibuat cengeng. Selingan komedi pun sesekali disisipkan sebagai pemancing tawa. Adegan-adegan lucu yang tercipta dari beragam tingkah pola Arai dan teman-teman memang terbukti sukses menyegarkan suasana.

Jadilah saksi bagaimana Arai menaklukan hati seorang gadis yang disukainya bernama Zakiah Nurmala (Maudy Ayunda), teman satu sekolahnya. Tersenyumlah melihat keluguan Jimbron (Azwir Fitrianto) dalam misinya membuat gadis pujaannya Laksmi untuk tersenyum. Tersenyumlah sekali lagi melihat hubungan luar biasa Ikal dengan ayahnya. Nikmatilah alunan musik khas melayu yang dibawakan dengan merdu oleh Bang Zaitun (Jay Widjajanto). Film yang sekali lagi diperankan oleh aktor-aktor asli dari Pulau Belitong ini memang menyajikan sebuah kisah yang lengkap, selain terus memutarkan roda nasib ketiga tokohnya, tak lupa bumbu-bumbu lain ditambahkan untuk meramaikan rasa yang sudah begitu nikmat. Film yang diberi kehormatan untuk menjadi film pembuka Jakarta International Film Festival (JIFFEST) ini memang wajib ditonton bagi penggemar novelnya ataupun yang belum pernah sekalipun membaca karya Andre Hirata tersebut. Sebuah kisah yang benar-benar indah. Enjoy!

——————————
Rating  4/5