Macabre

Setelah lama mendengar tentang keberadaan film ini dari awal tahun dan hanya bisa menatap kosong serta menelan ludah ketika membaca review-review awal filmnya dari berbagai festival internasional. Tetesan air liur dan keringat penantian akhirnya terbayar dengan kepuasan maksimal saat film ini hadir sebagai pembuka INAFFF 2009. Kekecewaan sempat berkecamuk ketika mengetahui film ini hanya terbatas untuk undangan dan bukan untuk kalangan umum, namun tampaknya keberuntungan masih menghampiri pada detik terakhir. Saatnya masuk ke “ruang khayal” dan meninggalkan “ruang tunggu”. 

Macabre (Rumah Dara) mengajak kita berkenalan dengan Adjie dan istrinya bernama Astrid yang sedang mengandung, berlanjut kepada teman-teman mereka, ada Jimi, Alam, dan Eko. Tidak ketinggalan, adik Adjie yaitu Ladya yang tampaknya sangat membenci kakaknya tersebut karena suatu peristiwa di masa lalu. Dari dinginnya malam di kota Bandung, mereka memutuskan untuk kembali pulang ke Jakarta. Hujan deras yang tiba-tiba mengguyur keberangkatan Adjie dan teman-temannya tidak menghentikan niat mereka untuk bisa pulang malam itu juga. Padahal hujan sepertinya memberikan pertanda agar mereka seharusnya tidak pulang malam itu. Tapi lupakan tentang hujan, karena toh mobil yang ditumpangi penghuni Jakarta ini akhirnya berhenti juga.

Macabre Photo1

Seorang wanita secara misterius muncul di depan mobil, basah kuyup dan butuh pertolongan, setelah ditanya ternyata dia habis dirampok. Dituntun oleh rasa iba dan sedikit terpaksa, sang wanita yang diketahui bernama Maya ini akhirnya diajak masuk kedalam mobil. Perjalanan pun diteruskan, namun bukan langsung menuju Jakarta, tetapi mengantarkan Maya terlebih dahulu. Sesampainya di rumah Maya, Adjie dan yang lainnya segera di sambut oleh sepinya sebuah rumah tua yang entah berada dimana. Tak jauh berbeda, didalam pun mereka disambut dengan dingin oleh pemilik rumah. Maya memperkenalkan Ibu Dara, yang tak lain adalah Ibu kandungnya. Anehnya, selain terlihat dingin dan tidak punya emosi, Ibu Dara juga tidak tampak seperti Ibu yang mempunyai anak seumuran Maya, dia tidak terlihat tua.

Sebagai rasa terima kasihnya, Ibu Dara yang lebih cocok sebagai kakak ketimbang orang tua Maya ini, mengajak Adjie, Astrid, Eko, dan yang lainnya untuk makan malam di rumahnya. Mereka pun tidak bisa berkata “tidak” pada ajakan sang tuan rumah. Mengajak Maya kedalam mobil adalah kesalahan pertama yang membawa Adjie dan teman-temannya kepada kesalahan kedua, yaitu berkata “iya” untuk berteduh sebentar dan dijamu makan malam. Mimpi buruk sebentar lagi akan menghampiri satu-persatu dari mereka. Tak lama lagi, para korban malang ini akan mengetahui kalau jamuan makan malam ini adalah suapan terakhir mereka. Umpan yang dipasang sebelum pada akhirnya Ibu Dara dan anak-anaknya Maya, Adam, dan Armand membuka kedok kebaikan, mencambuti bulu-bulu domba palsu yang menutupi kebenaran yang sesungguhnya. Para predator yang haus darah akan memulai perburuannya. Akahkah Adjie dan yang lainnya selamat hidup-hidup? Misteri apa yang sebenarnya menyelimuti Ibu Dara dan anak-anaknya? Bersiaplah untuk mengalami mimpi buruk terbaik anda.

Duo sutradara bertalenta besar Kimo Stamboel dan Timo Tjahjanto atau lebih dikenal dengan Mo Brothers, telah berhasil membesut film yang “thanks to them” memberikan sedikit nafas lega akan sebuah film yang berbeda. Ketika atmosfir genre di perfilman Indonesia didominasi hanya yang “itu-itu” saja, Macabre atau Rumah Dara hadir dengan genre yang tidak poluler di negeri kita, yakni film slasher.

Bagi yang tidak tahu jenis film apakah slasher itu, mungkin jika menyebut judul SAW akan ada gambaran seperti apa genre ini. Mo Brothers seakan tidak peduli filmnya akan laku atau tidak nantinya, karena mereka toh tahu dan yakin, film jenis ini ada penggemarnya dan penonton kita sudah gerah dengan film yang hanya menjual kebodohan, seksualitas, dan horor tong kosong nyaring bunyinya. Dari sudut pandang penggemar film dan pecinta film tanah air, film ini telah menyelamatkan kita dari ketololan abadi yang berasal dari film-film yang tidak lebih dari sampah, jadi Macabre pasti akan punya penonton setianya.

Macabre Photo3

Tidak ada kata sia-sia atau menyesal dengan film berdurasi hampir 100 menit ini. Selepas menonton ini yang tersisa adalah sebuah kepuasan, mulut ini pun tak berhenti memuja keseluruhan isi film, yah tentu saja dengan sedikit kekurangannya juga. Film yang juga memenangkan penghargaan untuk kategori aktris terbaik di Puchon Film Festival di Korea Selatan ini, merupakan sebuah paket slasher yang dikemas sangat menggemaskan dengan darah yang mengalir tak ada hentinya, di balut dengan teror ketika sang Ibu Dara mulai memburu dengan atau tanpa senjata di tangan, dengan “finishing touch” seluruh isi perut dan daging manusia, Macabre adalah hadiah akhir tahun terbaik khususnya untuk penggemar film horor dan perfilman Indonesia pada umumnya.

Film ini memang tidak menonjolkan kelebihannya dari segi cerita, karena apa yang ditawarkan dari cerita hanya layaknya dongeng sebelum tidur, sebelum pada akhirnya kita semua tertidur lelap dan mengalami mimpi buruk lewat adegan-adegan sadis yang cukup membuat ngilu. Penonton dipaksa dengan lembut untuk sesekali berteriak dan menutup mata, ketika Mo Brothers mulai menaikkan intensitas ketegangan di film ini. Perkenalan belasan menit kepada masing-masing karakter dalam film ini dirasa telah cukup, untuk nantinya mempersilahkan para penonton untuk memilih siapa yang seharusnya hidup dan siapa yang harus mati terlebih dahulu. Di lain sisi, kemisteriusan Dara dan keluarganya tetap terjaga dan makin membuat penasaraan dari awal kemunculan mereka sampai film ini bergulir dari adegan demi adegan.

Macabre Photo4

Lewat cerita yang lurus-lurus saja, justru membuat Mo Brothers dapat dengan leluasa mengeksplorasi tingkat kesadisan yang bisa ditampilkan film ini. Terbukti, film ini dengan baik dapat mengirimkan pesan berdarahnya sampai dengan selamat kepada penonton-penontonya yang sedang menanti adegan selanjutnya sambil menutup mata mereka. Walau cukup berbasa-basi diawal, pada kenyataannya film ini tidak berbasa-basi soal menampilkan sosok-sosok jahat yang siap sedia memotong bagian tubuh manusia sepotong demi sepotong. Tatapan dingin nan haus darah Ibu Dara dan anak-anaknya berhasil menyeret kita ke level ketegangan yang makin lama-makin meninggi, layaknya menaiki sebuah rollercoaster, kita diajak naik sampai tingkat yang paling tinggi lalu terjun bebas dengan teriakan penuh kepuasan.

Lupakan makan malam anda, karena potongan-potongan daging manusia telah disiapkan untuk jadi santapan hangat dengan pelepas dahaga dari darah-darah yang mengalir berasal dari sayatan-sayatan halus kulit manusia. Sebuah jamuan yang amat lezat yang ditawarkan oleh Ibu Dara beserta keluarganya yang bisa dibilang sakit dan gila. Mo Brothers pun berhasil mengontrol tirai dengan sangat baik, membuka perlahan dan memperlihatkan sedikit-demi-sedikit kebenaran dibalik tirai tersebut. Bersamaan dengan kendali ketegangan yang juga sangat baik dikontrol oleh dua sutradara muda ini sampai pada akhirnya para predator menjatuhkan mangsanya satu persatu ke kubangan darah.

Macabre Photo5

Lewat akting keseluruhan pemain yang total dalam memerankan perannya masing-masing, film ini menjadi semakin terkemas dengan rapi. Terutama akting sang tokoh Ibu Dara yang diperankan dengan sangat cemerlang oleh Shareefa Daanish. Suara berat dan mimik wajah yang luar biasa seram, menggiring kita untuk tidak melepaskan pandangan mata setiap saat induk iblis ini muncul di layar.

Secara keseluruhan, Macabre adalah tontonan yang memang layak untuk ditonton, tak hanya menyuguhkan cerita dan isi perut yang dikemas dengan rapi dan memanjakan mata lewat warna-warna darah, film ini juga “menidurkan” kita dengan pulas lewat musik-musik yang pas, tak berlebihan dalam memainkan emosi dan mood ketika mata ini tertuju pada layar bioskop.

Macabre adalah obat penenang bagi yang sakit jiwa, jika dosisnya terlalu banyak, maka sang pasien akan menjerit-jerit histeris dan lompat dari bangku penonton. Kitalah pasiennya, kitalah yang sakit jiwa karena telah menonton film yang sakit pula, dan kita bertepuk tangan untuk film ini layaknya sebuah drama shakespeare, apakah bukan sakit itu namanya. Mungkin juga tidak, kita tidak sakit, tapi puas akan apa yang dicapai oleh perfilman tanah air. Lewat Mo Brothers, kita telah disuguhkan dengan tontonan alternatif yang berkualitas dan salut untuk mereka yang telah berjalan di jalur berbeda tersebut sendiri dan berani mengambil resikonya. ENAK KAN!!

——————————-
Rating  4/5