Natural Born Killers

You’ll never understand, Wayne. You and me, we’re not even the same species. I used to be you, then I evolved. From where you’re standing, you’re a man. From where I’m standing, you’re an ape. You’re not even an ape. You’re a media person. Media’s like the weather, only it’s man-made weather. Murder? It’s pure. You’re the one made it impure. You’re buying and selling fear. You say “why?” I say “why bother?” ~ Mickey

Charles Manson, Ted Bundy, John Wayne Gacy, Richard Ramirez mungkin tidak akan terkenal sebagai “pembunuh massal” atau “pembunuh berantai” terkejam dalam sejarah kriminal Amerika Serikat, apabila tidak karena campur tangan media pada saat itu. Berita besar-besaran dan wawancara  tentang para pembunuh ini terus memonopoli televisi dan surat kabar, mengalahkan berita-berita lainnya. Media telah menjadikan Manson dan kawan-kawan bak selebriti. Tujuan apalagi jika bukan karena rating, menjual sebuah kejahatan sebagai alat komersialisasi. Melalui film ini, Oliver Stone sepertinya menyampaikan sindiran kepada pihak media yang terlalu mengekspos para kriminal ini bagaikan seorang pahlawan.

Natural Born Killers, menceritakan kisah cinta dan romantis dua insan yang sedang dimabuk cinta, namun mereka bukanlah pasangan yang normal. Mickey Knox (Woody Harrelson) dan Mallory (Juliette Lewis) adalah duet-pembunuh yang sedang naik daun, diburu oleh pihak berwenang karena kejahatannya yang teramat keji. Bukan hanya 1 atau 2 kasus pembunuhan, pasangan kekasih ini sudah membunuh puluhan orang termasuk seorang polisi. Mickey dan Mallory membunuh secara acak bukan karena uang ataupun balas dendam, namun bermotif “senang-senang” seperti hobi. Media yang begitu mengeksploitasi berita tentang Mickey dan Mallory bukannya membuat mereka dibenci, sebaliknya mereka dipuji layaknya artis film atau rockstar.

Dilatari oleh masa lalu yang kelam, Mickey dan Mallory yang akhirnya menikah tanpa upacara pernikahan yang sah ini, tampaknya memang terlahir sebagai seorang pembunuh. Mickey punya masa kecil yang kurang bahagia, dia melihat sendiri ayahnya bunuh diri di hadapannya. Sedangkan Mallory datang dari keluarga yang tidak harmonis. Ayahnya sering memarahi, menyiksa, dan melakukan pelecehan seksual terhadap anak perempuannya itu. “Stupid Bitch” adalah panggilan sayang Ayahnya kepada Mallory. Sedangkan Ibunya tampak takut kepada suaminya dan lebih memilih diam seribu bahasa.

Mallory pun secara kebetulan berkenalan dengan seorang pengantar daging yang diketahui bernama Mickey. Keduanya saling menyukai dan Mickey memutuskan mengajak Mallory untuk melarikan diri. Berang karena anaknya dibawa kabur bersama dengan mobilnya, Sang Ayah melaporkan kejadian ini ke polisi. Mickey akhirnya ditangkap dan dijebloskan ke penjara. Setelah keluar dari penjara, Mickey kembali untuk mengambil Mallory dan memberi pelajaran kepada Ayah Mallory. Sang Ayah yang sering memperlakukan anaknya dengan kejam itu pun mati terbunuh. Begitu pula dengan Sang Ibu yang juga berdosa karena tidak pernah berbuat apa-apa, mati mengenaskan. Sejak saat itu Mickey dan Mallory memulai aksinya, menulis takdirnya dengan peluru dan darah. Menjelajah Amerika untuk menjadi legenda.

Secara tidak sadar menonton film ini seperti mengikuti kisah asli, potret sebuah karakter yang memang pernah ada dan diadaptasi menjadi sebuah sebuah film dokumenter. Tapi sayangnya ini hanya film imajinasi, cerita fiksi yang diilhami oleh kejayaan media dan “serial killer”. Film buatan tahun 1994 ini berani mengambil tema yang cukup kontroversial namun bisa dikemas dan dieksekusi dengan sangat brilian oleh Oliver Stone. Melihat nama sutradaranya, memang cukup dibuat kaget karena jelas film ini punya style yang berbeda dengan film-filmnya yang lain. Film ini menghadirkan nuansa-nuansa baru dan hasilnya adalah film yang bold sekaligus shocking. Film yang dinobatkan sebagai urutan ke-8 film paling kontroversial yang pernah dibuat, versi majalah Entertainment Weekly ini ditulis oleh Quentin Tarantino. Walau tidak menyutradarai filmnya, gaya QT memang menghiasi film walau tidak secara keseluruhan.

Plot yang sangat menarik tentang dua orang pembunuh berantai yang berubah menjadi icon tekevisi ini, dipercantik dengan sinematografi yang unik. Sudut pengambilan gambar di film ini makin memperjelas kekerasan yang ada di film ini. Untuk membedakan dunia nyata dan isi kepala para pembunuh khususnya Mickey, Oliver juga menambahkan warna-warna khusus pada filmnya. Warna hijau yang menggambarkan kondisi psycho seorang Mickey diselipkan dibeberapa adegan. Film juga diperkaya dengan cuplikan-cuplikan film dan iklan televisi serta animasi yang menempel dimana-mana. Misalnya di sebuah jendela hotel tempat Mickey dan Mallory menginap, bukan pemandangan yang tampak sebagai latar belakang melainkan cuplikan film. Adegan tersebut makin menjelaskan kalau penonton sudah memasuki dunia Mickey dan Mallory yang penuh “kegilaan”.

Dari segi akting, Woody Harrelson dan Juliette Lewis menampilkan akting terbaik mereka. Karakter Mickey dan Mallory jadi semakin kuat, bahkan sepertinya dua tokoh utama adalah pembunuh yang nyata ada. Keduanya juga punya chemistry yang dalam, sebagai dua orang kekasih yang tidak normal, mereka berhasil mencuri simpati penonton untuk akhirnya berpihak pada mereka. Lawan main mereka juga bukan aktor-aktor sembarangan. Sebut saja Robert Downey Jr yang berperan sebagai Wayne Gale, seorang pembawa acara yang akhirnya bisa mewancarai Mickey secara langsung untuk program televisinya. Adegan wawancara yang bisa dibilang sebuah duel antara Mickey versus Gale ini, secara tidak langsung berhasil menyetir penonton kalau media lah pihak antagonis di film ini.

Di film ini juga menghadirkan Tom Sizemore yang berperan sebagai seorang detektif bernama Jack Scagnetti dan Tommy Lee Jones sebagai kepala penjara, keduanya tampil memukau menambah variasi menarik film yang kental dengan adegan kekerasan ini. Film yang juga punya dialog-dialog kasar ini secara keseluruhan tampil bagus membawakan kisah yang totally beda. Drama-kriminal yang sebenernya bisa terjadi di dunia nyata ini  dan memang sudah pernah terjadi, terbalut dengan baik oleh cerita, visual, dan juga akting. Bagi mereka yang suka akan film dengan adegan dipenuhi kekerasan, mungkin ini adalah film yang cocok untuk segera ditonton.  Secara pribadi “I love Mickey & Mallory”. Jadi apakah Mickey & Mallory berhasil mengalahkan kepopuleran “The King” Charles Manson? Enjoy!!

——————————-
Rating  4/5

 

Amelie

Let me help you. Step down. Here we go! The drum major’s widow! She’s worn his coat since the day he died. The horse’s head has lost an ear! That’s the florist laughing. He has crinkly eyes. In the bakery window, lollipops. Smell that! They’re giving out melon slices! Sugarplum, ice cream! We’re passing the park butcher. Ham, 79 francs. Spareribs, 45! Now the cheese shop. Picadors are 12.90. Cabecaus 23.50. A baby’s watching a dog that’s watching the chickens. Now we’re at the kiosk by the metro. I’ll leave you here. Bye! ~Amelie

Film ini benar-benar merangsang sisi kreativitas dalam menolong seseorang, yup! ternyata membantu sesama yang sedang kesusahan bisa dilakukan dengan berbagai cara. Seorang Amelie yang punya daya khayal tinggi ini, mengajarkan kepada kita lewat “gaya imajinatif” bagaimana dia membantu orang di sekitarnya. Masih dalam ruang “tanpa pamrih”nya, Amelie berhasil memperbaiki kehidupan seseorang lewat keunikannya. Jika dia melihat ada sesuatu yang tidak benar, maka dengan cara yang tidak biasa pula dia akan meluruskannya. Film ini benar-benar memberi inspirasi tentang kehidupan dan mengajarkan apa arti “menolong” yang sebenarnya. Toh, sebenarnya jika ada kemauan dan niat tulus, kita bisa menolong siapa saja. Rantai kebaikan itu akan kembali ke kita, menyambung dan mengikat. Jika hari ini kita menolong seseorang, pasti suatu saat akan ada balasannya.

Le fabuleux destin d’Amélie Poulain, menceritakan kehidupan seorang gadis bernama Amelie. Dia  pintar, unik, penuh imajinasi, tapi sayang dia sebenarnya orang yang tertutup. Walau sering membantu orang lain, Amelie sebetulnya juga perlu bantuan. Masa kecilnya dahulu dilalui dengan keceriaan dan juga kesedihan. Karena kesalahan diagnosa ayahnya yang seorang dokter, Amelie yang disangka memiliki kelainan jantung menjadi terasing dari dunia luar. Mulai saat itu, Amelie lebih banyak berada di rumah. Ibunya yang seorang kepala sekolah, mengajarkan putri kecilnya itu segalanya. Amelie pun mulai mempunyai teman khayalan sendiri, dari sinilah daya imajinasi uniknya dibangun. Sayangnya keceriaan masa kecilnya harus terusik dengan peristiwa yang tragis. Ketika Amelie dan Ibunya mengunjungi sebuah gereja, secara tiba-tiba pada saat mereka hendak pulang seorang wanita bunuh diri dari atas gereja dan menimpa sang Ibu. Seketika Ibu Amelie pun meninggal.

Selepas ditinggal oleh Amandine Poulain, sang Ibu, Amelie kini hidup berdua dengan ayahnya Raphaël Poulain. Hari demi hari, bulan demi bulan, dan tahun demi tahun terlewati. Amelie telah beranjak dewasa dan pindah ke sebuah apartemen di pusat kota Paris untuk melanjutkan kehidupannya yang penuh dengan fantasi dan mimpi akan keindahan dan cinta. Amelie segera berkerja di sebuah kafe bernama “Deux Moulins” sebagai seorang pelayan. Di lingkungan inilah, dia menemui karakter-karakter yang juga unik, konflik-konflik baru, dan masalah-masalah yang seakan jadi permainan baginya. Dari seorang pria tua di aparteman yang punya masalah dengan tulangnya atau seorang pria yang “memata-matai” mantan pacarnya di tempat Amelie bekerja sampai seorang pria buta yang selalu ditemui Amelie di jalan. Seorang Amelie segera akan mengganti cangkir-cangkir kosong penuh dengan “permasalahan” tersebut dengan solusi-solusi jitu.

Bagaimana dengan kehidupan pribadi Amelie sendiri? akankah ia terus merasa bertanggung jawab dengan apa yang seharusnya menjadi masalah orang lain. Apakah ia tidak menginginkan sesuatu selain membantu orang-orang terdekatnya termasuk Ayahnya? lalu bagaimana pula dengan pencariannya akan cinta? akankah ia menemukan cintanya tersebut?

Jean-Pierre Jeunet mengemas film ini dengan sangat indah. Perancis selalu punya kejutan yang khas jika menyangkut film-film yang “mind-catching”. Kisah Amelie ternyata tidak hanya bisa membuat anda “berbunga-bunga” karena ceritanya, tapi juga membuat mata anda dimanjakan dengan keindahan film itu sendiri. Dari awal film, kisah super-unik ini sudah menawarkan warna-warna yang sungguh melebarkan pupil di mata. Adrenalin memuncak bukan karena adegan action, tapi rasa senang yang ditimbulkan oleh indahnya adegan demi adegan film ini. Ibarat sebuah lukisan, sang sutradara dapat dengan jeli memilih dan menambahkan warna-warna khas pada kanvas bergeraknya.

Dunia Amelie pun dibawa hidup oleh cinematografinya yang luar biasa sama indahnya dengan warna film ini. Pergerakan-pergerakan kamera di film ini memang pantas di acungi jempol dan pantas jika film ini pun masuk nominasi Oscar untuk Best Cinematography pada 2002 lalu. Adegan Amelie melakukan hobinya melempar batu di sungai pun jadi menarik karena pergerakan kamera yang totally unik ini. Film ini pun menambah sedikit spesial efek untuk menciptakan dramatisasi “feeling” si karakter utama dan adegan seperti Amelie yang mencair benar-bener memvisualisasikan perasaan Amelie dengan baik. Sederhana namun cerdas dalam mewakilkan perasaan seseorang, karena setiap orang pasti pernah merasakan hal yang sama. Elemen-elemen seperti warna, cinematografi, dan spesial efek benar-benar telah membantu dengan sangat luar biasa dalam pembangunan mood dan karakter di film ini.

Beralih ke karakter utama yaitu Amelie, wanita cantik bernama Audrey Tautou betul-betul sudah menampilkan akting yang amazing!! Aktingnya disini bisa dibilang tanpa cacat dan membuat siapa yang melihatnya pasti akan jatuh cinta. Dengan mimik dan gerak-gerik yang khas, Audrey dapat mempotretkan dirinya dengan nyata sebagai seorang Amelie. Hingga mungkin penonton bisa lupa jika karakter Amelie ini hanyalah sebuah fiksi di sebuah film. Damn gw sendiri pun tak bisa melupakan Amelie sampai menulis review ini. Selain Audrey, film ini tak hanya milik dia seorang, semua aktor dan aktris disini semua dapat memerankan perannya dengan baik untuk menjadikan film ini sebuah tontonan yang sempurna. Tak terkecuali gadis kecil yang memerankan Amelie kecil, aktingnya cukup “adorable” disini.

Film ini memang indah sekaligus unik, seunik tokoh Amelie. Dengan cerita yang tidak berbelit-berbelit namun tetap menawarkan kesederhanaan dalam menceritakan sebuah kisah hidup. Eksekusi yang baik dari sang sutradara dalam menuturkan cerita menghasilkan sebuah jalan cerita yang natural dan tidak keluar jalur dari plot yang ada. Keseluruhan film ini memang layaknya mendengarkan dongeng sebelum tidur, dunia fantasi yang dimiliki Amelie digambarkan tidak realistis dan terkadang kekanak-kanakan. Namun itu semua dibuat bukan semata-mata tanpa latar belakang yang tidak jelas. Film ini memang film yang menceritakan tentang fantasi dan imajinasi si tokoh utama jadi wajar jika filmnya dibuat sedemikian rupa tidak nyata serta banyak hal yang dibuat kebetulan. Kekanak-kanakan yang dimunculkan film ini juga bisa dihubungkan dengan dunia Amelie yang memang sudah seperti itu dari kecil, penuh dengan teman imajiner dan amat “childish”.

Kisah Amelie ini sudah berhasil menjadi tontonan yang tidak membosankan, diawali dan ditutup dengan sempurna. Adegan demi adegannya tidak ada yang sia-sia, menghasilkan sebuah mahakarya dari Jean-Pierre Jeunet sang sutradara. Scene favorit gw adalah ketika Amelie kecil menyadari jika ia telah ditipu oleh tetangganya dan ia melakukan “balas dendam”. Sialnya, adegan pintar tersebut seperti terpotret di otak gw dan ketika mengingatnya gw akan tersenyum. Tonton film ini untuk merasakan keindahan kota Perancis lewat seluk-beluk kehidupan orang-orangnya dan kekuatan imajinasi Amelie. Enjoy!!! Coffee Please Amelie!!!

——————————-
Rating  4.5/5